Historiografi maritim Indonesia maupun Asia Tenggara mengenal pesisir timur Sumatra sebagai lalu lintas pergerakan manusia yang membawa pertukaran ide, gagasan, pengetahuan serta komoditas dagang antar wilayah.
Selat Malaka dikenal sebagai jalur penghubung utama perniagaan maritim yang melibatkan Asia Tenggara kepulauan dan daratan, Asia Timur serta para pedagang yang datang dari arah barat seperti Asia Barat dan Asia Selatan.
Salah satu rujukan paling populer di kalangan sejarawan maupun akademik sosial, ekonomi, dan kebudayaan adalah dua jilid karya Anthony Reid yang berjudul Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Asia Tenggara dalam Kurun NIaga 1450-1680.
Dalam bukunya tersebut, Reid mengatakan bahwa abad 15-17 M merupakan puncak aktivitas perniagaan maritim masyarakat Asia Tenggara. Pada masa ini terjadi ledakan kegiatan komersial dan pertumbuhan kota-kota pelabuhan, yang mempengaruhi perubahan politik, sosial, dan ekonomi di Asia Tenggara.
Pesisir timur Sumatra merupakan bagian tak terpisahkan dari puncak aktivitas niaga atau age of commerce ini. Pesisir timur Sumatra turut menjadi lokasi-lokasi singgah maupun tujuan kapal dagang, yang membawa serta pergerakan manusia dan interaksi kebudayaan.
Sejak awal milenium pertama perairan di Selat Malaka telah diidentifikasi sebagai rute maritim Asia Tenggara. Sebuah teks China (Sejarah Dinasti Han) disebut telah mendeskripsikan interaksi kapal yang menghubungkan Asia Tenggara sejak abad pertama masehi.
Geoff Wade (2013) dalam artikelnya Maritime Routes Between Indochina and Nusantara to the 18th Century menjelaskan, perairan Selat Malaka merupakan lokasi singgah rute perjalanan trans-semenanjung, yaitu apa yang disebut dengan Pizong atau Pulau Pisang menurut identifikasi sejumlah ahli.
Pada kurun waktu setelahnya perairan Selat Malaka serta pesisir timur Sumatra semakin dikenal sebagai lintasan ramai perniagaan maritim dengan kota-kota pelabuhan di bawah otoritas kerajaan.
Palembang serta sejumlah pelabuhan lain di bawah otoritas Sriwijaya dan Champa mulai abad ke-7 M berkembang menjadi pelabuhan-pelabuhan utama di Asia Tenggara. Mereka menghubungkan rute perniagaan maritim antara Asia Barat dan Asia Timur.
Hubungan ini terus berlangsung hingga berabad-abad setelahnya di mana memasuki abad ke-7 M hingga abad ke-14 M para pelaut Arab dan Persia banyak memberikan keterangan rinci mengenai hubungan rute maritim Samudra Hindia dengan Asia Tenggara.
An Early Age of Commerce
Wade (2009) dalam artikelnya yang lain An Early Age of Commerce in Southeast Asia 900-1300 CE menelusuri akar perubahan dan kemunculan kurun niaga Asia Tenggara atau puncak perniagaan maritim Asia Tenggara yang dikemukakan Reid.
Berangkat dari tesis Reid yang mengatakan puncak perniagaan maritim yang diikuti dengan koneksi perdagangan kota-kota pelabuhan serta perubahan sosial, ekonomi, dan politik, Wade mengemukakan bahwa akar aktivitas perdagangan dan pelayaran Asia Tenggara telah berlangsung beberapa abad sebelumnya pada tahun 900-1300, yang ia sebut sebagai an early age of commerce of Southeast Asia.
Jan Christie (1998) dalam artikelnya Javanese Markets and the Asian Sea Trade Boom of the Tenth to the Thirteenth Centuries A.D. menyebut abad 10-13 M merupakan era ledakan perdagangan yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Samudra Hindia dan Laut Cina.
Intensitas pertukaran dagang ini didahului oleh ledakan perdagangan yang terjadi di kawasan barat maritim Asia Tenggara, dalam hal ini adalah perairan Samudra Hindia. Pertumbuhan jejaring maritim Samudra Hindia sejak abad ke-7 M seiring dengan pembentukan rute perniagaan di Asia Tenggara.
Di sini Wade menggaris bawahi pengaruh faktor eksternal terhadap apa yang disebut dengan ledakan perdagangan pada abad 10-15 M di Asia Tenggara. Faktor eksternal ini adalah pertumbuhan aktivitas perniagaan di China, perkembangan maritim Samudra Hindia, dan koneksi perdagangan Tamil.
China pada masa Dinasti Song dan Yuan memberlakukan kebijakan-kebijakan perdagangan luar negeri untuk meningkatkan perekonomian. Pada masa ini kebijakan ekonomi China menghasilkan pertukaran dagang luar negeri yang pesat.
Mereka mampu mengundang para pedagang luar negeri dan mengirimkan para pedagangnya dalam misi pertukaran dagang yang lebih luas. Pertumbuhan aktivitas perdagangan ini mempengaruhi pula perkembangan kota-kota pelabuhan di Cina yang semakin ramai.
Selain China, puncak aktivitas perdagangan Asia Tenggara juga dipengaruhi oleh perkembangan aktivitas pelayaran dan perdagangan Samudra Hindia. Pengaruh peradaban Islam merupakan faktor dominan terhadap berkembangnya kosmopolitanisme Samudra Hindia.
Seperti yang disebut Wink, sejak abad ke-7 M hingga abad ke-11 M, Samudra Hindia dijuluki sebagai “Arab Mediterranean”. Keadaan ini membentuk koneksi perdagangan yang kuat antara Dunia Islam dengan Asia Tenggara.
Teks Cina abad 10 juga menunjukkan bukti koneksi erat antara dunia Islam dengan Tiongkok. Hal ini merefleksikan rute pelayaran jarak jauh yang luar biasa yang menghubungkan dunia Islam dan Cina sekaligus menghubungkan pula dengan India Selatan dan Asia Tenggara.
Jejak koneksi Dunia Islam dan Asia Tenggara juga dapat ditelusuri berdasarkan teks-teks Arab abad 9-16 M. Teks-teks karya geografer muslim ini banyak mengungkap secara rinci kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara yang dikunjungi para pelayar/pedagang muslim.
Diaspora pedagang muslim di Cina meliputi Hainan, Guangdong, dan Fujian pada akhir abad 10 sampai abad 12 M. Paruh kedua abad ke-11 M pedagang muslim kembali ramai singgah di Cina, salah satunya ialah Quanzhou yang tumbuh menjadi lokasi pusat kegiatan Islam di China yang ditandai dengan berdirinya masjid-masjid bersejarah.
Rute perdagangan yang menghubungkan Dunia Islam melalui Teluk Persia dijelaskan oleh Hourani. Para pedagang muslim berangkat dari Teluk Persia kemudian menyusuri perairan Samudra Hindia melalui India, Asia Tenggara, hingga sampai di China.
Koneksitas yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Samudra Hindia dan Cina dilandasi pula oleh keberadaan anak benua India. Kawasan ini merupakan salah satu faktor kunci dalam koneksi Timur Tengah, Asia Tenggara, dan China.
Komunitas pedagang Tamil telah eksis di Cina Selatan pada abad ke-6 M dan membesar pada abad ke-8 M. Namun Tamil menjadi pemain baru dalam perdangan maritim Asia pada abad ke-10 M. Hal ini ditandai dengan hubungan Chola dan China yang berkembang pada masa itu.
Perubahan Sosial, Ekonomi, dan Politik Selama Periode Awal Perdagangan Maritim (900-1300)
Wade menuturkan, periode an early age of commerce ditandai dengan bentuk-bentuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di Asia Tenggara. Perubahan yang terjadi dalam rentang Waktu abad 10-13 M tersebut dilatar belakangi oleh pertumbuhan kota-kota Pelabuhan baru di Cina dan perkembangan perdagangan di Samudra Hindia.
Wade juga menggarisbawahi dampak besar dari revolusi ekonomi Dinasti Song di Cina, perubahan sosial di Cina Selatan, pengaruh perdagangan Islam di Samudra Hindia, Asia Tenggara dan Cina Selatan, serta peran jejaring pedagang Tamil dan Cina terhadap komunitas masyarakat di Asia Tenggara. Bentuk-bentuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di atas dapat ditunjukkan oleh bukti-bukti interaksi pedagangan seperti berikut:
- Pusat-pusat pemerintahan berpindah lebih dekat ke kawasan maritim (pesisir) dalam rangka meningkatkan keuntungan dan dalam rangka mengontrol perdagangan maritim.
- Kemunculan kota-kota pelabuhan baru sebagai
- Migrasi dan perluasan penduduk.
- Pertumbuhan jejaring maritim antar masyarakat.
- Persebaran agama.
- Peningkatan monetisasi.
- Perkembangan industri keramik.
- Perkembangan industri tekstil.
- Permintaan komoditas rempah.
- Persaingan dagang.
- Pola konsumsi baru.
- Kemunculan kongsi-kongsi dagang.
Selain itu, Wade juga mengungkapkan berdasarkan bukti-bukti yang ia temukan, bahwa sebagian besar perdagangan maritim yang ditransaksikan melalui Asia Tenggara dan masuk ke pelabuhan-pelabuhan di Cina selatan selama kurun waktu abad ke-10 hingga abad ke-13 pada dasarnya sebenarnya berada di tangan kaum muslim.
Beberapa dekade akhir abad ke-13 sampai beberapa dekade awal abad ke-14 merupakan periode stagnasi perdagangan maritim Asia Tenggara. Era kemunduran jejaring perdagangan maritim di Asia Tenggara ini dipengaruhi oleh transisi kekuasaan baik yang tejadi di Dunia Islam (akhir masa Daulah Abbasiyah) maupun di Cina (akhir masa Dinasti Yuan).
Kemunculan Dinasti Ming di awal abad ke-15 dengan kebijakan dan dukungan negara terhadap pelayaran membangkitkan Kembali perdagangan Asia Tenggara, yang kemudian menumbuhkan periode perdagangan Asia Tenggara seperti yang dibahas oleh Reid pada abad 15-17 M.