Sultanate Institute ikuti studi konservasi yang diselenggarakan oleh Balai Konservasi Borobudur pada Rabu-Kamis, 9-10 November 2022.
Studi dalam rangka Pelatihan dan Pengenalan Instrumen Laboratorium ini bertujuan untuk mengenalkan standar analisis, penyediaan, dan pengolahan bahan-bahan konservasi kepada masyarakat terutama praktisi bidang konservasi benda-benda artefaktual dan cagar budaya.
Sultanate Institute dalam rangka upaya konservasi juga telah melakukan kerjasama dengan Balai Konservasi Borobudur. Kerjasama ini dilakukan dalam rangka pendampingan konservasi terhadap koleksi artefak Museum Abad Satu Hijriyah, yaitu fragmen kayu kapal temuan Situs Bongal.
Selain itu, kerjasama studi konservasi juga dilakukan dalam rangka melakukan identifikasi kandungan logam pada koleksi artefak Museum Abad Satu Hijriyah. Berdasarkan hasil identifikasi, koleksi artefak logam Museum Abad Satu Hijriyah ini termasuk koleksi langka, yang menunjukkan adanya kandungan iridium dalam logam tersebut.
Kandungan ini langka dan sulit ditemukan dalam campuran kandungan artefak logam pada umumnya, sebab kandungan ini merupakan unsur yang didapat dari meteor.
Dalam rangka studi konservasi, Balai Konservasi Borobudur bahkan mengunjungi kantor Sultanate Institute pada akhir September lalu. Dalam kunjungan ini Balai Konservasi Borobudur memeriksa proses konservasi fragmen kayu kapal Museum Abad Satu Hijriyah. Selain itu peneliti Balai Konservasi Borobudur juga meninjau kemunculan rayap yang juga akan menjadi sampel dalam kegiatan penelitiannya.
Pelatihan Pengenalan Instrumen Laboratorium
Koordinator penyelenggara kegiatan, Nahar Cahyandaru mengatakan kegiatan ini penting sebagai upaya untuk meningkatkan standar kualitas konservasi. Dalam rangka itulah, diperlukan partisipasi lembaga-lembaga yang berfokus pada kerja-kerja konservasi.
Lembaga-lembaga ini harapannya juga dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia di Balai Konservasi Borobudur. Sebab fasilitas laboratorium konservasi sejatinya memang tak hanya bertujuan untuk kepentingan internal, melainkan untuk penyelamatan cagar budaya di seluruh Indonesia.
“Tahun depan, lembaga ini (Balai Konservasi Borobudur) akan berganti nama menjadi Balai Konservasi Cagar Budaya Indonesia. Oleh karena itu, tanggung jawab kami nantinya tidak hanya sebatas Candi Borobudur semata, tapi lebih luas daripada itu. Sehingga partisipasi lembaga-lembaga dan para peneliti dibidang konservasi akan sangat penting. Saya berharap nantinya penangangan konservasi tiap-tiap benda cagar budaya di masing-masing daerah seperti yang dilakukan museum pemerintah maupun swasta dapat melakukannya dengan standar internasional,” ucap Nahar.
Dalam proses pelatihan, para peserta difokuskan unyuk mengenal cara kerja beberapa alat laboratorium yang telah terprogram sempurna. Di antaranya ialah “Frezze Dryer”. Alat ini digunakan untuk membantu usaha penanganan artefak kayu, tembikar atau keramik, kertas, kain dan benda organik lainnya.
Secara teknis, artefak dari bahan kayu dan benda organik lain biasanya banyak ditemukan dalam kondisi yang basah dengan kadar air sangat tinggi. Padahal kandungan air dalam benda artefaktual organik akan sangat mempercepat proses pelapukan yang berakibat pada rusaknya benda tersebut.
Alat ini bekerja dengan cara membekukan kadar air didalam benda yang hendak dikonservasi. Kadar air kemudian dihilangkan dengan teknik sublimasi. Teknik ini selain aman tidak menyebabkan kerusakan sedikitpun terhadap artefak, juga dapat mempersingkat waktu pengerjaan.
“Alat ini bisa membatu proses konservasi artefak kayu, keramik, kertas dan kain dengan resiko yang relatif sangat rendah dan prosesnya lebih cepat. Bisa diselesaikan dalam waktu tak lebih dari 1 pekan. Bandingkan jika kita menggunakan metode biasa yang dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan, jadi kalau dihitung-hitung jadinya lebih ekonomis. Tetapi memang kelemahannya masih belum bisa digunakan untuk artefak yang berukuran besar karena terbatas pada dimensi alat,” ujar konservator ahli Balai Konservasi Borobudur tersebut.
Beberapa instrumen laboratorium lain yang diperkenalkan adalah CPC, HPLC, TG-MS dan TG-GC/MS. Alat-alat ini umumnya digunakan untuk analisis kandungan senyawa dalam ekstrak larutan kimia. Alat ini dapat diaplikasikan dalam berbagai usaha analisis yang terkait dengan penelitian bahan-bahan organik, untuk digunakan sebagai larutan konservasi alami.
Sebagai contoh apabila seorang konservator ingin melakukan perawatan terhadap koleksi logam, maka dapat dipilih secara tepat larutan organik apa yang harus dipakai.
“Ini bisa kita gunakan untuk analisa kandungan kimia pada suatu larutan kimia. Cocok untuk para peneliti yang ingin mengetahui senyawa kimia dalam minyak atsiri. Seperti yang dilakukan Sultanate Institute dalam penelitian kandungan kafur barus (kafur fansuri). Jadi nanti bisa mengetahui senyawa apa saja yang ada didalamnya, apakah benar-benar aman untuk diminum dan bisa dijadikan bahan obat-obatan untuk berbagai penyakit. Jika terbukti benar, ini sangat baik sekali untuk dunia farmasi kedepan,” tambah Nahar dalam presentasinya di laboratorium Balai Konservasi Borobudur.
Kegiatan Pelatihan dan Pengenalan Instrumen ini juga berkaitan dengan usaha perawatan situs Candi Borobudur, yang telah ditetapkan sebagai warisan kebudayaan dunia. Candi Borobudur juga merupakan destinasi wisata super eksklusif milik Indonesia, sehingga harus diimbangi dengan laboratorium konservasi yang memiliki standar tertinggi.
Pelatihan dilaksanakan di ruang sidang II dan ruang laboratorium kompleks perkantoran Balai Konservasi Borobudur, Magelang. Dihadiri oleh beberapa lembaga di antaranya perwakilan dari Museum Nasional, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Museum Benteng Vredeberg Yogyakarta, Museum Abad Satu Hijriyah (Sultanate Institute), serta para akdemisi berbasis studi kimia asal perguruan tinggi di sekitar wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, seperti UGM, UNDIP, dan Universitas Muhammadiyah Magelang.