Ketika kita memikirkan arkeologi, kita sering membayangkan penggalian reruntuhan kuno di abad ke-19 atau ke-20, atau masa yang terhitung ribuan tahun lalu. Namun, semangat inti dari arkeologi pada dasarnya adalah keinginan untuk memahami masa lalu melalui studi sistematis terhadap sisa-sisa fisik, memiliki akar yang jauh lebih dalam.
Jauh sebelum arkeologi menjadi disiplin formal, seorang ilmuwan Muslim dari abad ke-12 dan ke-13 M, yaitu Abd al-Latif al-Baghdadi (1162–1231 M), telah meletakkan dasar bagi apa yang kini kita kenal sebagai bioarkeologi melalui metode observasi empiris yang revolusioner.
Abd al-Latif al-Baghdadi adalah seorang polimatik, ia menguasai bidang kedokteran, filsafat, tata bahasa, serta ilmu alam. Karyanya yang paling terkenal yang relevan dengan arkeologi adalah catatan perjalanannya di Mesir, berjudul “Al-Ifādah wa-l-I’tibār” (Kitab Catatan tentang Mesir). Dalam karya inilah ia mendemonstrasikan metode ilmiah yang jauh melampaui zamannya.
Bencana Kelaparan yang Menjadi Laboratorium
Titik balik dalam kontribusi ilmiah Al-Baghdadi tercatat saat ia berada di Kairo, Mesir, sekitar tahun 597 H (1200 M). Pada masa itu, terjadi bencana kelaparan hebat yang menyebabkan kematian massal di seluruh wilayah.
Bagi Al-Baghdadi, seorang dokter dan pengamat alam yang teliti, tragedi ini secara tidak sengaja menyediakan “laboratorium” yang mengerikan namun tak ternilai. Di dekat Kairo, ia mengamati tumpukan besar kerangka manusia, korban-korban kelaparan yang tidak terkubur dengan layak.
Alih-alih hanya mencatat kengeriannya, Al-Baghdadi melakukan apa yang akan dilakukan oleh seorang bioarkeolog modern: dia mengamati, menganalisis, dan membandingkan sisa-sisa kerangka tersebut.
Observasi Empiris Melawan Teks Kuno
Kontribusi terbesar Al-Baghdadi adalah keberaniannya untuk lebih memercayai bukti fisik (observasi langsung) daripada otoritas teks kuno yang telah mapan selama lebih dari seribu tahun.
Pada masanya, standar emas untuk pengetahuan medis dan anatomi adalah karya-karya Galenus (Galen), seorang dokter Yunani dari abad ke-2 M. Karya Galen dianggap tidak terbantahkan, dan para dokter selama berabad-abad hanya mempelajari dan mengutip teks-teksnya tanpa verifikasi.
Namun, ketika Al-Baghdadi memeriksa ribuan tulang belulang di Mesir, ia menemukan kesalahan fatal dalam teks Galen:
“Apa yang telah kami lihat dengan mata kepala kami sendiri dalam pengamatan kerangka-kerangka ini sepenuhnya membantah apa yang dikatakan Galen.”
Penemuan spesifiknya yang paling terkenal adalah tentang tulang rahang bawah (mandibula). Galen, yang kemungkinan besar mendasarkan anatominya pada diseksi hewan (seperti kera), menyatakan bahwa rahang bawah manusia terdiri dari dua bagian tulang yang menyatu di dagu.
Al-Baghdadi, setelah memeriksa ribuan tengkorak manusia korban kelaparan, dengan tegas membantahnya. Dia menulis:
“Semua ahli anatomi [kuno] setuju bahwa tulang rahang bawah terdiri dari dua bagian. Namun, pengamatan indrawi [empiris] menunjukkan bahwa tulang rahang bawah, pada kenyataannya, adalah satu tulang utuh, tanpa sambungan atau jahitan [di tengahnya].”
Mengapa Ini adalah Metode Bioarkeologi?
Apa yang dilakukan Al-Baghdadi adalah esensi dari bioarkeologi (studi tentang sisa-sisa manusia dalam konteks arkeologi) dan merupakan suatu metode ilmiah modern yang ditandai dengan 1) Mengutamakan Bukti Primer, memperlakukan sisa-sisa manusia (kerangka) sebagai sumber data primer yang lebih andal daripada teks kuno (data sekunder); 2) Analisis Osteologis, bahwa tidak hanya melihat, tetapi secara sistematis menganalisis struktur tulang (osteologi) untuk memahami anatomi, dan 3) Verifikasi Empiris, secara sadar menggunakan bukti fisik untuk menguji dan memverifikasi (atau dalam kasus ini, membantah) hipotesis yang ada (klaim Galen).
Meskipun Abd al-Latif al-Baghdadi tidak pernah menyebut dirinya seorang “arkeolog”, tindakannya di Mesir pada tahun 1200 M adalah salah satu contoh paling awal dan paling jelas dalam sejarah tentang penerapan metode ilmiah dan observasi osteologis untuk memahami sisa-sisa manusia.
Ia menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah harus dicari melalui pengamatan dunia nyata yang kritis, sebuah prinsip yang menjadi fondasi bagi bioarkeologi dan semua ilmu pengetahuan modern.
			















