Sumatra sebagai entitas khas masyarakat dan sumber daya alam, menghadirkan unsur kesejarahan dan kebudayaan maritim yang kompleks. Posisi geografisnya yang strategis sebagai pintu gerbang memasuki kawasan kepulauan Nusantara, membuat Pulau Sumatra melekat bukan hanya dalam penulisan sejarah Indonesia, melainkan juga dalam konteks global.
Latar historis Sumatra terbentang menyentuh dimensi geografis, antropologis, ekonomi, politik, dan sosial. Lebih khusus dalam konteks kemaritiman, sejarah dan kebudayaan maritim Sumatra turut menjadi bagian penting dalam pembentukan peradaban global maupun regional melalui persentuhan tradisi/pengetahuan dalam jejaring rute pelayaran dan perniagaan maritim.
Salah satu kajian penting mengenai sejarah dan kebudayaan maritim Sumatra ialah lanskap kebudayaannya. Asnan (2018) dalam artikelnya Lanskap Budaya Maritim Sumatera menjelaskan persoalan ini untuk menghadirkan pemahaman menyeluruh mengenai sistem budaya bahari/maritim Pulau Sumatra.
Berdasarkan pendekatan Maritime Cultural Landscape Christer Westerdahl, lanskap kebudayaan maritim meliputi aspek-aspek di antaranya lingkungan maritim, pusat-pusat budaya maritim, rute pelayaran, warisan budaya maritim, toponimi, serta hubungan antara pesisir dan pedalaman.
Aspek lingkungan merupakan salah satu aspek yang memengaruhi perkembangan dan dinamika kebudayaan maritim pulau Sumatra baik aktivitas maritim maupun pemanfaatan lingkungan laut.
Pulau Sumatra berdasarkan lokasi geografisnya menempati kawasan laut yang sangat luas dan strategis, dengan kawasan pesisir yang terbagi antara kawasan maritim antara pesisir barat dan timurnya. Kawasan laut di sekitar pulau Sumatra merupakan kawasan Indo-Pacific, yaitu kawasan laut yang terdiri dari dua samudra utama, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Selain itu, Pulau Sumatra juga menjadi bagian dari sebuah kepulauan dengan keberadaan lintasan perairan dan dilingkupi pulau-pulau kecil di sekitarnya. Arah pergerakan angin monsoon juga berperan dalam membentuk dinamika kebudayaan maritim pulau Sumatra. Oleh karena itu, pulau Sumatra dalam lintasan global menjadi pintu gerbang bagi aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim dari barat menuju ke Asia Tenggara dan Asia Timur.
Berdasarkan keuntungan kondisi lingkungan maritim tersebut, pulau Sumatra tumbuh dengan pusat-pusat budaya maritim baik di kawasan pesisir barat maupun pesisir timurnya. Pusat-pusat budaya maritim Sumatra sebagian besar terletak di kawasan pesisir timurnya.
Berdasarkan catatan Pires, pusat-pusat budaya maritim Sumatra hingga pertengahan milenium kedua berada di kawasan pesisir timur. Dari 29 terras dan reinos, sebanyak 20 di antaranya berada di kawasan pesisir timur. Kawasan ini dinilai memiliki keuntungan dari keberadaan Selat Malaka, perairan Selat Bangka dan Selat Karimata.
Asnan sendiri mengelompokkan pusat-pusat budaya maritim berdasarkan kelompok masyarakat maritim yang terdiri dari Sriwijaya (mencakup Palembang, Jambi, dan Muara Takus), Barus di pesisir barat Sumatra Utara, Bata (Bataa), Aru (Daruu), dan Arqat di pesisir timur Sumatra Utara, serta Minangkabau, Samudra Pasai, Bengkulu, dan Medan. Meskipun begitu, pengelompokkan ini mungkin saja akan dapat ditemukan lebih banyak lagi berdasarkan kronologi waktu dan sebaran kelompok masyarakat maritim.
Keberadaan pusat-pusat budaya maritim lantas melangsungkan pembentukan koneksi jalur pelayaran. Hal ini merupakan salah satu aspek utama dalam lanskap kebudayaan maritim Pulau Sumatra.
Sumatra dengan sumber daya lingkungan serta aktivitas masyarakat pendukungnya memiliki jalur pelayaran yang meliputi skala lokal, regional maupun global. Beberapa jalur pelayaran tersebut di antaranya ialah rute Selat Malaka, rute Selat Bangka, rute Selat Sunda, dan rute Samudera Hindia. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan Sumatra memiliki jalur pelayaran lain yang lebih banyak.
Kajian toponimi terhadap sejumlah kawasan maritim khususnya kota-kota pelabuhan di pulau Sumatra umumnya masih jarang dilakukan. Kajian toponimi sejauh ini masih terbatas dan bersifat fragmentaris pada suatu kawasan tertentu.
Padahal kajian toponimi merupakan salah satu aspek yang penting untuk memahami pengetahuan sejarah masyarakat maritim terhadap wilayahnya. Sebab pengetahuan sejarah tersebut akan menghasilkan banyak pengetahuan tentang tradisi dan kebudayaan seperti lingkungan alam, hubungan dengan daerah atau negeri lain, serta aktivitas maritim.
Aspek lainnya dalam lanskap kebudayaan maritim ialah bagaimana hubungan pesisir dengan daerah pedalaman berlangsung. Hubungan pesisir dan pedalaman pulau Sumatra ditopang oleh keberadaan sungai-sungai besar dan panjang yang terhubung hingga ke hulu.
Keberadaan sungai yang menghubungkan pedalaman dengan pesisir merupakan aspek mikro-transportasi dalam zona geografi transportasi, yang mengungkapkan tipe-tipe alat transportasi maupun sistem transportasi bagi masing-masing kawasan maritim.
Kajian Asnan merupakan salah satu kajian lanskap kebudayaan maritim tentang pulau Sumatra dalam perspektif makro. Kajian ini memberikan penjelasan umum mengenai kajian lanskap kebudayaan maritim yang semestinya menjadi dorongan bagi kajian serupa dengan lingkup spasial yang lebih kecil (perspektif mikro).
Hal ini yang juga disarankan oleh Asnan dalam mengakhiri tulisannya bahwa kajian lanskap kebudayaan maritim penting dilakukan berdasarkan masing-masing etnis yang ada di Sumatra. Hal ini dikarenakan Sumatra terdiri dari berbagai lingkungan budaya yang dinamis sebagai suatu entitas dengan ragam budaya maritim.