Pada tanggal 30 September – 2 Oktober 2019 Tim Sultanate Institute melakukan perjalanan panjang dalam misi mengungkap sejarah masuknya Islam ke Tanah Jawa dengan mengunjungi langsung situs-situs peninggalan dakwah Islam yang berada di Kabupaten Demak, Kudus dan Jepara. Rangkaian perjalanan ini disebut dengan “Ekspedisi Al Quran”.
Ekspedisi Demak, Jepara, dan Kudus merupakan rangkaian ekspedisi pertama dan ekspedisi penting bagi Sultanate Institute. Sebab ekspedisi ini membuka jalan Sultanate Institute untuk melakukan ekspedisi ke kawasan Kesultanan Islam lainnya. Penelusuran jejak Islamisasi Jawa dalam ekspedisi ini kemudian menghasilkan rangkaian ekspedisi lain di kawasan Sumatra yaitu jejak sejarah Kesultanan Sumutra Pasai (Samudra Pasai), Aceh Darussalam, Lamuri, dan Malaka. Keterkaitan rangkaian ekspedisi di Jawa dan Sumatra tak lain merupakan upaya penjelajahan jejak sejarah Kesultanan Islam. Proses panjang dakwah Islam berinteraksi dengan identitas kebudayaan lokal kemudian Islam mampu mewarisi identitas kebudayaan dominan masyarakat Indonesia.
Keseluruhan rangkaian ekspedisi tersebut menelurkan fokus kajian Sultanate Institute dalam beberapa tahun ini pada kerjasama penelitian Situs Bongal Pesisir Barat Sumatra bersama Balai Arkeologi Sumatra Utara.
Kompleks Makam Sunan Kalijaga
Senin pagi 30 September 2019 Tim Sultanate Institute mengunjungi Desa Kadilangu, yaitu sebuah desa tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga. Desa ini berjarak lebih kurang dua kilometer dari Pusat Kota Demak. Seperti diketahui, Sunan Kalijaga atau Raden Said adalah anggota Walisongo yang paling banyak dikenal bagi masyarakat Jawa. Perjalanan dakwahnya sangat luas yaitu mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon bahkan hingga wilayah kepulauan Melayu. Wilayah desa Kadilangu dulunya merupakan kawasan tanah Perdikan yang diberikan oleh Sultan Demak. Konsep tanah perdikan sendiri adalah sebuah tanah yang diberikan kepada seseorang atau sebuah lembaga dan tanah tersebut dibebaskan dari pungutan pajak.
Makam Sunan Kalijaga berada di dalam sebuah bangunan tungkup berdinding tembok berukuran besar dengan ukiran kayu. Pilar tungkup dilapisi keramik dengan hiasan ornamen limasan di bagian atas dan bawah. Dinding di antara pilar dihiasi ukiran kligrafi, sedangkan ukiran pada jendela dilengkapi teralis besi. Di luar tembok tungkup terdapat beberapa jirat makam Mpu Supo adik ipar Sunan Kalijaga dan putranya, Djaka Sura. Di sebelah dinding tungkup ada makam Panembahan Pengulu, cucu Sunan Kalijaga. Selain itu, ada sembilan blok dengan 175 makam, termasuk Panembahan Hadi, Ratu Retno Pembayun, Ratu Panenggak, Raden Abdurrachman. Ada pula makam abdi kinasihnya, yaitu Kyai dan Nyai Derik; makam Dewi Roso Wulan, adiknya; dan makam Raden Tumenggung Wilotikto, ayahandanya. Masih dalam satu kompleks makam, ada juga Masjid Kadilangu. Masjid ini merupakan peninggalan Sunan Kalijaga yang dibangun beliau pada masa tuanya yaitu kurang lebih pada tahun 1532 M.
Masjid Agung Demak
Penelusuran jejak sejarah selanjutnya adalah Masjid Agung Demak. Masjid ini adalah salah satu peninggalan terpenting dari sejarah eksistensi Kesultanan Demak Bintoro sebagai kerajaan Islam pertama yang berdiri di Tanah Jawa.
Tidak begitu disangka, kedatangan Tim Sultanate Institute ternyata mendapatkan sambutan yang hangat dari Ketua Takmir Masjid Agung Demak, KH Abdullah Syifa. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan, kamipun dipertemukan dengan salah satu Sejarawan Kabupaten Demak yang paling kharismatik yaitu Hamid Akasah. Kesamaan latar belakang kami sebagai pemerhati sejarah membuat perkenalan dan perbincangan kami bengitu hangat, ringan dan mengalir.
Dari Hamid Akasah kami banyak mendapatkan sumber-sumber informasi yang mengkonfirmasi apa-apa yang tertulis dalam berbagai literatur mengenai sejarah Kesultanan Demak Bintoro, Silsilah keluarga Sultan, hingga informasi tentang siapa-siapa saja yang dimakamkan dalam kompleks pemakaman Masjid Agung.
Dimulai dari sejarah berdirinya Kesultanan Demak Bintoro. Kerajaan Islam ini didirikan oleh Raden Fatah pada abad XV M atau tepatnya pada tahun 1482 M. Beliau adalah anak dari Raja Majapahit Brawijaya V dan santri dari Syekh Ali Rahmatullah atau yang sering dikenal sebagai Sunan Ampel.
Selanjutnya berkenaan dengan bangunan Masjid Agung. Secara fisik, Masjid Agung Demak berdiri diatas lahan seluas ±7500 m2 yang terbagi dalam tiga bangunan pokok, yaitu Bagian Induk Masjid yang luasnya 91 m2, bagian serambi 620m2 dan sisanya untuk bagian lain seperti halaman, tempat wudhu dan sarana pendukung lainnya.
Masjid ini didirikan justru lebih awal dari Kesultanan Demak Bintoro, tepatnya pada tahun 1466 M. Seiring dengan meluasnya pengaruh Raden Fatah dan berkembangnya wilayah tersebut menjadi Kadipaten Demak Bintoro, maka atas prakarsa Walisongo kemudian didirikan sebuah bangunan Masjid yang cukup luas dan berhasil bertahan hingga sekarang.
Secara fungsi, ketika Kesultanan Demak masih berdiri, selain untuk kegiatan peribadatan. Masjid Agung juga difungsikan untuk kegiatan belajar mengajar para santri. Disisi lain Masjid ini juga digunaan sebagai tempat musyawarah para para wali, musyawarah pejabat Kesultanan Demak hingga menggelar sidang pengadilan. Bisa dibilang masjid Agung Demak pada masanya adalah sebagai pusat aktivitas pemerintahan.
Terakhir adalah kompleks pemakan raja-raja Kesultanan Demak. Kompleks ini berada tepat dibelakang Masjid Agung. Disana terdapat makam orang-orang terpenting dalam Kesultanan Demak. Tiga diantaranya adalah Makam Raden Abdul Fattah Al-Akbar Sayyidin Panotogomo, Sultan Demak I), Raden Patiunus (Pangeran Sabrang Lor, Raja Demak II), dan Dewi Murthosimah permaisuri Raden Patah. Selain itu juga terdapat makam Sultan Demak III yaitu Sultan Trenggono yang posisinya berada di belakang tiga makam utama dan ditempatkan pada sebuah cungkup khusus. Adapun bentuk nisannya, memiliki bentuk yang hampur serupa dengan tanda khas bulatan pada bagian tengah.
Pantai Moro Demak
Di penghujung hari, Tim Ekspedisi Sultanate Institute melanjutkan perjalanan menuju pantai Moro Demak. Pantai ini berjarak lebih kurang 14 km dari pusat Kota Demak. Pada masa kesultanan (abad XV – XVI M), daerah ini digunakan sebagai pelabuhan menuju Kesultanan Demak. Hingga kini wilayah ini masih aktif digunakan sebagai pelabuhan dan galangan kapal bagi nelayan lokal. Dari pengamatan yang dilakukan, maka tak heran jika dahulu kesultanan Demak dapat dengan cepat mengembangkan sebuah kawasa, hal ini tidak lain karena visi kuat dari Sultan Fatah yang melihat peluang besar apabila wilayahnya dapat terintegrasi dengan jalur perdagangan laut pada masa itu.
Kompleks Makam Ratu Kalinyamat
Hari kedua dalam rangkaian ekspedisi ini Tim Sultanate Institute bergerak menuju Kabupaten Jepara. Tujuan utamanya adalah mengunjungi kompleks Makam Ratu Kalinyamat yang berada didaerah Mantingan.
Sesampainya di kompleks pemakaman kita akan disambut dengan gapura yang bertuliskan kalimat syahadat. Pada kompleks pemakaman utama terdapat 4 makam; diantaranya adalah Makam Ratu Kalinyamat, Suaminya Sunan Hadlirin, Istri kedua Sunan Hadlirin dan anak angkatnya. Jika diperhatikan, karakter batu nisan yang berada di makam ini sejenis dengan yang berada di kompleks pemakaman Masjid Agung Demak dan Sunan Kalijaga.
Disamping pemakaman ini berdiri Masjid Mantingan. Masjid ini didirikan Ratu Kalinyamat pada tahun 1559. Arsitekturnya unik, merupakan perpaduan antara budaya Jawa dan China.
Gaya arsitektur China ini diperoleh dari Ayah Angkat Sunan Hadlirin, seorang Muslim asal China. Sosok ini diyakini masyarakat sebagai orang yang mewariskan ilmu ukir yang menjadi keahlian masyarakat Jepara.
Ratu Kalinyamat adalah seorang tokoh pemimpin perempuan kharismatik yang muncul ditengah-tengah proses keruntuhan Kesultanan Demak akibat perang saudara. Nama Aslinya adalah Retno Kencana, beliau adalah anak dari Sultan Trenggana (Sultan Demak III). Suaminya adalah pangeran Hadlirin yang berasal dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Setelah perang berakhir, kekuasaan Demak sebagian besar beralih dibawah Kesultanan Pajang, namun untuk wilayah pesisir mereka tetap mendirikan pemerintahan independen dibawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat yang berkedudukan di Jepara.
Pada kurun waktu tahun 1550 -1570 M Ratu Kalinyamat berhasil menjadikan Jepara yang tadinya porak poranda karena perang saudara menjadi sebuah wilayah yang makmur dengan menggenjot hasil bumi dari daerah penyangga hingga membangun jaringan perdagangan laut dari wilayah Aceh sampai Maluku.
Selama kepemimpinannya, sosok Ratu Kalinyamat dikenal dengan ketegasannya untuk bersikap antipati terhadap Portugis yang dianggap sebagai penjajah. Dua kali dirinya tercatat pernah mengirim pasukan laut untuk mengusir Portugis yang berkedudukan di Malaka, yaitu pada tahun 1551 dan 1573 M.
Masjid Al-Aqsha Kudus
Hari terakhir dalam ekspedisi Tim Sultanate Institute ditujukan untuk mengunjungi Kabupaten Kudus. Di kota ini terapat Masjid Al Aqsha yang berkaitan dengan eksistensi dakwah Sunan Kudus yang bernama asli Ja’far Shodiq.
Nama Masjid ini memang sengaja diambil dari nama Masjidil Aqsha yang bedara di Palestina. Hal tersebut lantaran Sunan Kudus masih memiliki darah Palestina dari Ayahnya.
Gaya arsitektur masjid inipun tergolong sangat unik,terutama menara adzannya yang sangat dipengaruhi ragam bentuk arsitekutr Hindu. Adapun tujuannya tak lain adalah untuk menarik minat masyarakat sekitar yang dahulunya masih beragama Hindu untuk mau sekedar menyinggahi masjid dan mendengarkan dakwah dari Sunan Kudus.
Usaha inipun akhirnya membuahkan hasil, dimana masyarakat disana dalam waktu singkat berbodong-bondong mau untuk menerima Islam, bahkan nama desa tempat dakwah Sunan Kudus yang sebelumnya bernama “Tajug” kemudian diganti dengan nama Al Quds. Dikemudian hari untuk menyesuaikan ejaan lokal, maka wilayah ini disebut dengan nama Kudus.
Demikianlah rangkaian perjalanan ekspedisi Tim Sultanate Institute di sepanjang pesisir Jawa Tengah. Dari tempat-tempat inilah dakwah Islam dirintis dan dalam waktu tak sampai 200 tahun hampir 85% penduduk Jawa telah menerima Islam sebagi agama yang diyakini. MasyaAllah.