Mendahului ekskavasi lanjutan Situs Bongal, tim ekspedisi Sultanate Institute yang diwakili Riyanto Nur Cahyo dibentuk melibatkan peneliti Mapesa Yoesri Ramli dan Arkeolog Islam Deddy Satria. Tim ekspedisi diterjunkan guna melakukan eksplorasi lebih jauh kawasan Situs Bongal. Nantinya, selain membantu penentuan titik galian ekskavasi bersama Balai Arkeologi Sumatra Utara (Balar Sumut), eksplorasi ini menjadi data pelengkap pengambilan kesimpulan Situs Bongal berdasarkan konteks sejarah yang meliputinya.
Selama kurang lebih dua pekan, hampir seluruh kawasan Situs Bongal berhasil dijelajahi. Setidaknya, ketiganya berhasil mengumpulkan 85 titik lokasi penting yang memperkuat kesimpulan adanya tinggalan budaya dan aktivitas manusia masa lampau di Situs Bongal. Dengan medan jelajah yang beragam, tim ekspedisi mengeksplor Bukit Bongal mulai dari penyusuran lembah bukit, aliran anak sungai sebagai aliran sumber air bersih dari puncak bukit, kemudian punggung dan ujung bukit.
Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan sejak 25 Januari hingga 12 Februari 2022, gambaran awal Situs Bongal didapat melalui pemetaan zonasi kawasan yang meliputi tiga level. Level pertama adalah kawasan lembah Situs Bongal. Sebuah dataran yang dekat dengan hutan nipah di pinggiran Sungai Lumut atau Pinangsori. Kawasan dengan tanah gambut tebal ini diduga merupakan pusat aktivitas manusia, sebab beragam artefak ditemukan seperti struktur kayu nibung, fragmen kayu kapal lengkap dengan tali ijuknya, keramik, tembikar, dan kaca. Tim menduga pula, bahwa kawasan yang kini ditumbuhi hutan nipah merupakan bibir pantai atau garis perairan sekaligus titik aktivitas terluar Situs Bongal.
Level kedua merupakan kawasan teras-teras bukit dan tanah datar. Pada level ini ditemukan struktur batuan yang tersusun, dimana dugaan sementara mengarah pada makam atau struktur bangunan. Sedangkan level ketiga merupakan kawasan dengan lapisan curam yang berbahaya, akses yang sulit dijangkau, dan tidak layak menjadi tempat hunian atau pemukiman.
Sungai Lumut (penuturan masyarakat Jago-Jago kini) yang juga dikenal dengan nama Sungai Pinangsori (berdasarkan penyebutan dalam catatan William Marsden), merupakan tempat bertemunya air sungai dengan air laut atau kuala dengan ukuran yang lebar. Termasuk kawasan hutan nipah pada kedua sisi sungai dahulu termasuk aliran sungai ini. Mulut sungai dahulu diperkirakan berjarak hampir 2 km, dibatasi oleh ujung Dusun II di titik selatan mulut sungai dan ujung Kampung Seberang (pemukiman di seberang Dusun I Jago-Jago) sebagai titik utara mulut sungai.
Kawasan perairan ini memang bukan satu-satunya kuala di Pesisir Barat Sumatra Utara, dan tidak pula sebesar Sungai Batangtoru yang berada di selatannya, namun kawasan ini kuala yang terlindung oleh teluk, yaitu Teluk Tapian Nauli. Berdasarkan kondisi geografis tersebut, perairan ini memiliki kondisi air yang tenang dan lebar, cukup untuk tempat kapal-kapal bersandar, sehingga tepat menjadi pilihan persinggahan kapal dalam lintasan rute pelayaran.
Pemetaan dan zonasi kawasan Situs Bongal mengarahkan tim ekspedisi merekonstruksi kawasan tersebut sebagai sebuah pelabuhan kuno sekaligus tempat hunian atau pemukiman. Beberapa ciri dan karakter terdapatnya pelabuhan dan pemukiman kuno disimpulkan melalui temuan artefak baik temuan hasil ekskavasi pertama, temuan permukaan, temuan masyarakat setempat, hingga kondisi alam Situs Bongal.
Temuan penting yang menandai adanya jejak pemukiman adalah struktur kayu nibung. Temuan ini ditemukan dalam galian tambang masyarakat, dimana hal ini menunjukkan sebuah karakter struktur bangunan pemukiman pinggir laut. Kemudian fragmen kayu kapal lengkap dengan tali ijuk mendukung dugaan bahwa Bongal merupakan tempat bersandarnya kapal-kapal. kemudian temuan artefak lainnya menunjukkan jejak tinggalan budaya aktivitas manusia didalamnya, seperti koin-koin berinskripsi masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ragam keramik Dinasti Tang, Tembikar Islam berglasir, pecahan kaca, botol-botol kaca medis, alat-alat tembaga kuningan diduga peralatan medis dan manik-manik.
Kondisi alam yang menunjukkan begitu melimpahnya sumber air memperkuat kesimpulan pemukiman kuno di Situs Bongal. Penyusuran aliran anak sungai menemukan bahwa sumber air berasal dari bukit Bongal dan bermuara hingga ke sekitar tumbuhan nipah. Di bagian atas bukit Bongal, nampak keberadaan air terjun bertingkat sumber aliran anak sungai. Hal menarik yang ditemukan adalah, aliran air dari Bukit Bongal yang mengalir melalui aliran anak sungai bukan bersumber dari tampungan air di titik lokasi tertinggi, melainkan berasal dari celah batu, tanah, dan pepohonan.
Deddy Satria, Arkeolog Islam menjelaskan hasil pengamatannya berdasarkan eksplorasi kawasan yang dilakukan. Ia mengungkapkan “Observasi, pengamatan yang telah kami lakukan memberikan pemahaman yang lumayan lebih meyakinkan tentang Bongal sejak 1400 tahun yang lalu atau lebih dari itu. Setidaknya dua pemahaman utama didapat, pertama Kawasan Bongal purba sebagai satu teluk, kedua Kawasan Bongal purba sebagai pemukiman atau lokasi hunian kuno”.
Ekspedisi yang dilakukan sejak tanggal 29 Januari hingga 6 Februari 2022 ini setidaknya membuktikan sekaligus memperkuat kesimpulan awal Situs Bongal merupakan kota pelabuhan yang eksis pada abad 7-10 Masehi. Dimana kajian mengenai kawasan Pesisir Barat Sumatra ini membawa kita untuk memahami konteks sejarahnya yang termasuk kedalam kajian kawasan Samudra Hindia. Bahwa Situs Bongal merupakan kawasan pelabuhan dan pemukiman yang terkoneksi dengan rute pelayaran Samudra Hindia, yang menghubungkan pelayaran dari Asia Barat atau Timur Tengah pusat pemerintahan Islam Daulah Umayyah dan Abbasiyah, ke Asia Selatan, hingga ke Timur Jauh (Cina). Hal ini relevan dengan catatan pelayaran muslim dan sumber literatur lainnya tentang pelayaran Samudra Hindia, yang menyebut nama Fansur sebagai kawasan tempat persinggahan kapal di Hindia Timur.