“……..Disana terdapat galian emas. Juga disana terdapat sebuah kawasan yang dipanggil Fansur yang mana kafur yang terbaik datang dari situ…….” (Rihlatus Sirafi, terjemahan Arsyad Mokhtar).
Upaya menggali relevansi catatan literatur muslim tentang komoditas kafur dengan penelitian ekskavasi Situs Bongal perlahan menemukan titik temu. Kafur Fansur merupakan komoditas kafur terbaik perdagangan Samudra Hindia. Ia dimanfaatkan getahnya sebagai bahan pembuatan produk aromatika yang meliputi wewangian dan dunia medis.
Guna menemukan kesimpulan yang semakin kuat bahwa Situs Bongal merupakan Fansur yang disebut dalam literatur muslim, ekspedisi penelusuran pohon kayu kafur di Bukit Bongal dilakukan. Pohon kayu kafur diketahui masih dapat ditemukan di Bongal, meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas.
Penelusuran ini berdasarkan penuturan informasi masyarakat Jago-Jago, dimana pohon kayu kafur tersebut berada di atas bukit Bongal. Hampir semua masyarakat Desa Jago-Jago mengetahui informasi yang sama tersebut. Sehingga pada hari Rabu, 16 Februari 2022 dilakukan penelusuran oleh tim ekspedisi bersama warga setempat yaitu Musrin Siregar dan Nehe Sigulo (Gulo) sebagai pemilik lahan yang masih terdapat pohon kayu kafurnya.
Medan perjalanan cukup menguras tenaga, sebab kami harus menaiki tanjakan panjang hingga mencapai titik landai kemudian menurun ke balik Bukit Bongal. Hingga kemudian sampai ke lokasi kebun Pak Gulo dan berjumpa dengan dua pohon kayu kafur yang diyakini merupakan sisa terakhir pohon tersebut di Bukit Bongal. Sebab kini, lahan di hampir seluruh Bukit Bongal ditanami pohon karet.
Setidaknya sejak tahun 1980-an, sejak Pak Gulo membuka lahan disana, pohon kafur dijumpai dalam jumlah melimpah di Bukit Bongal. Hampir seluruh kawasan bukit dapat dijumpai pohon kafur. Namun pada tahun-tahun yang sama pula, ketersediaan pohon kafur secara perlahan semakin menipis, sebab pada tahun 1980-an itu, pohon kafur banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan rumah dan kapal.
“Pohon ini banyak ditebang untuk dijadikan tiang tiang rumah dan juga bagian belakang kapal. Banyak orang datang dari Jago-Jago dan Sibolga membeli pohon kafur ini”, ujar Pak Gulo.
Batang-batang pohon tersebut diambil melalui muara sungai yang bersambung dengan Sungai Aek Lobu dan keluar menuju Teluk Pandan. Aktivitas tersebut ramai dilakukan hingga lokasi pengambilan batang pohon kafur disebut oleh masyarakat setempat sebagai Muara Kuala Kayu Kapur.
“Pada aliran sungai Aek Lobu di Teluk Pandan memang dikenal oleh Masyarakat Jago-Jago dan Kampung Nias terdapat tempat yang dinamakan Muara Kuala Kayu Kapur, dan itu sudah dikenal sejak lama”, jelas Pak Regar.
Pohon kayu kafur memiliki lebar diameter 2 hingga 9 meter. Ranting dan dahannya berada di puncak pohon setinggi 15-20 meter. Sedangkan untuk menebangnya diperlukan waktu 12 jam atau lebih dengan menggunakan gergaji mesin. Disekeliling kebun Pak Gulo pun masih didapati beberapa bongkol pohon kayu kafur sisa aktivitas penebangan.
Masyarakat setempat memang tidak memanfaatkan pohon ini untuk diambil getahnya dan menjadi bahan pembuatan wewangian serta dunia medis. Walaupun mereka pun mengetahui bau wangi dan getah yang keluar dari batang pohon ketika ditebang, namun tingkat ketahanan batang pohon lebih menarik untuk dimanfaatkan. Selain itu, penggunaan produk hasil pengolahan getah kafur mungkin juga tidak lagi diminati di pasaran saat ini. Meskipun begitu, salah satu masyarakat Jago-Jago menuturkan bahwa menurut cerita dua generasi diatasnya, mereka masih mengambil getah kafur untuk dimanfaatkan.
“Menurut cerita, kakek saya dulu masih memafaatkan getah pohon kapur, mengambilnya dengan cara menyayat pohon kemudian mencongkelnya ketika getah sudah mengeras”.
Untuk dua pohon kayu kafur yang tersisa, Pak Gulo sendiri beberapa kali sudah sempat menerima tawaran untuk dibeli, namun dirinya mengaku tidak ingin melepas atau menjualnya.
Selain menemukan kafur, kami juga menemuka komoditas aromatika lainnya selama perjalanan. Kami menemuka pohon gaharu dengan lubang-lubang bekas pengeboran pada batangnya. Selain itu, tak jauh dari posisi pohon kayu kafur, sekitar 20 meter kami menemukan getah pohon damar yang sudah membeku.
Kafur adalah getah pohon yang tumbuh di Fansur, sebuah kawasan di pesisir barat Sumatera. Catatan Islam klasik dengan detail menyebutkan bahwa pohon kafur berukuran sangat besar. Daunnya rindang, bahkan dapat menaungi 100 orang.
Kafur sebagai salah satu komoditas aromatika dalam perdagangan internasional dapat diidentifikasi melalui catatan pelayaran dan sumber literatur Islam klasik. Ibnu Khurdadzbih dalam kitabnya Al-Masalik wa Al-Mamalik menyebut Di gunung-gunung Zabaj terdapat pohon kafur. Satu pohon dapat menaungi lebih kurang seratus orang. Jika pohon tersebut dilubangi, akan mengalir getahnya.
Al-Mas’udi dalam dalam kitabnya Akhbar Az-Zaman, menyebut negeri mereka tersambung dengan tanah kafur. Kafur yaitu pohon besar yang satu pohonnya bisa menaungi seratus orang atau lebih. Jika pohon itu dilubangi maka akan mengalir air yang bisa mengisi beberapa gentong. Lalu kemudian menjadi air kafur.
Sedangkan Kitab Ajaib Al-Hindi yang ditulis Buzurg bin Syahriyar menyebutkan jika kapal-kapal yang membawa kafur tidak akan bisa menyembunyikannya dari petugas penarik pajak pelabuhan, karena bau kafur sudah tercium dari jarak yang cukup jauh.
Sedangkan untuk deskripsi harga komoditas kafur dijelaskan oleh Abu Zaid As-Sirafi dalam bukunya Rihlah As-Sirafi, yang menyebutkan jika Cina menghargai satu man kafur sebanyak lima puluh fakwaj. Satu fakwaj sama dengan seribu fulus. Jadi total harga satu man kafur yaitu sebanyak 50000 fulus. Jika satu fulus sama dengan Rp3.050 maka satu man kafur berharga sama dengan Rp152.500.000. Satu man sama dengan 773,5 gram. Jadi satu gram kafur ini dihargai sebanyak Rp197.283.
Sementara sumber lain menyebutkan jika dua mitsqal kafur potongan besar dan kecil terjual sebanyak 3000 dirham, yang berarti satu mitsqal kafur sama dengan 1500 dirham. Satu dirham sama dengan Rp73.500, jadi 1 mitsqal kafur dihargai sebanyak Rp110.250.000. Satu mitsqal sama dengan 4,25 gram. Jadi satu gram kafur ini dihargai sebanyak Rp25.941.176.
Sejauh penelusuran ditambah sejumlah informasi masyarakat setempat, keberadaan komoditas kafur fansur ini semakin mendekati relevansinya dengan catatan pelayar muslim. Namun tentu perlu identifikasi lebih lanjut melibatkan selaku peneliti kehutanan yang juga termasuk kedalam tim peneliti ekskavasi tahun ini untuk memastikan keberadaan komoditas kafur tersebut.