Sultanate Institute melanjutkan kerjasama penelitian Situs Bongal bersama BRIN Kantor Arkeologi Sumatra Utara. Penelitian kali ini melibatkan juga Museum Abad 1 Hijriyah, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA), peneliti ahli utama Pusat Riset Arkeometri BRIN, dan peneliti kehutanan dari BPSI Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kuok. Penelitian ini dapat terwujud melalui dukungan PT. Media Literasi Nesia beserta Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Ekskavasi yang dilakukan sejak tanggal 14 hingga 28 Februari 2022 terhitung merupakan penelitian tahun kedua Situs Bongal. Berdasarkan rancangan penelitian BRIN Kantor Arkeologi Sumatra Utara, ekskavasi tahun ini setidaknya memiliki dua tujuan. Pertama, bertujuan untuk mengetahui luasan kawasan Situs Bongal dari pemanfaatan aktivitas manusia pada masa lampau. Kedua, untuk mengetahui konteks sejarah temuan arkeologis atau artefak yang sebagian besar berhubungan dengan aktivitas maritim kawasan Pesisir Barat Sumatera.
Selain kedua tujuan tersebut, penelitian Situs Bongal juga dimaksudkan dalam rangkan melakukan relevansi berdasarkan sumber catatan pelayar muslim klasik tentang “Fansur”. Upaya relevansi dibuktikan selain melalui identifikasi ragam temuan artefak, juga melalui penguasaan kondisi geografis dan pemetaan kawasan, serta identifikasi produk hasil hutan yaitu produk aromatika Kafur yang banyak disebutkan dalam catatan para pelayar muslim tersebut.
Sulaiman At-Tajir dan Abu Zayd As-Sirafi menyebut komoditas kafur terbaik adalah yang berasal dari Fansur. Seperti dikutip sebagai berikut, “……..Disana terdapat galian emas. Juga disana terdapat sebuah kawasan yang dipanggil Fansur yang mana kafur yang terbaik datang dari situ…….” (Rihlatus Sirafi, terjemahan oleh Arsyad Mokhtar, 2020).
Pada periode yang lebih lanjut, catatan perjalanan Marco Polo abad ke-13 menjelaskan hal serupa. Fansur dikenal untuk menyebut suatu kawasan dimana Kafur Fansuri tumbuh dan merupakan produk kafur terbaik yang jauh lebih berharga dari kawasan lain. “…….here grows the best canfara Fansuri, which is much more valued than any other……...“ (Travels of Marco Polo with Copious Notes, Edinburgh).
Diketahui Fansur merupakan penyebutan bagi para pelayar muslim untuk menunjuk sebuah kawasan pemukiman pesisir yang terhubung dengan rute pelayaran-perdagangan Samudera Hindia sejak abad 7 M. Fansur tampil sebagai sebuah pelabuhan singgah bagi aktivitas kapal pada masa itu. Catatan para pelayar muslim dapat membantu kita melakukan identifikasi letak geografis Fansur. Dimana penelusuran melalui catatan para pelayar muslim tersebut menuntun kita untuk menunjuk sebuah kawasan di Pesisir Barat Pulau Sumatera.
Keterangan geografis Fansur dalam catatan pelayar muslim terletak di wilayah timur kawasan Samudera Hindia. Kawasan ini masyhur disebut dengan sebutan “Hindia Timur”. Kawasan ini dikenal sebagai penghasil produk aromatika yang berasal dari hasil hutannya, yang dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan obat dalam dunia medis dan dapat dimanfaatkan pula sebagai produk wewangian. Pada periode selanjutnya produk-produk ini lebih dikenal sebagai sebuah produk dengan sebutan “rempah”. Selain itu, kawasan Hindia Timur juga dikenal sebagai ‘Bumi Emas’ oleh para pelayar muslim. Hal ini didasarkan pada kekayaan kandungan hasil alamnya yang melimpah berupa logam mulia.
Seperti yang dikutip dalam Rihlatus Sirafi karangan Sulaiman At-Tajir dan Abu Zayd As-Sirafi. Catatan tersebut menerangkan bahwa Fansur berada di Pulau Ramuni. Berdasarkan keterangan penerjemah, Pulau Ramuni adalah sebutan bagi Pulau Sumatera oleh para pelayar muslim abad pertengahan. Didalamnya terdapat banyak raja, memiliki luas delapan atau Sembilan ratus farsakh. Disebutkan bahwa disana terdapat galian emas, dan terdapat kawasan yang disebut Fansur yang mana kafur yang terbaik datang dari sana. Penyebutan sekaligus menunjuk kawasan Fansur sebagai penghasil produk aromatika terbaik ‘kafur’.
Identifikasi geografis Fansur juga disebut oleh Buzurq bin Syahriar, dimana di sekitar kawasan tersebut terdapat satu pulau di laut luar bernama Pulau Nian. Catatan kartografi atau gambaran peta menunjuk pulau tersebut sebagai Pulau Nias, terletak di sebelah barat Teluk Tapian Nauli dan menjorok ke arah lautan Samudera Hindia. Keduanya berjarak sekitar seratus farsakh (‘Aja’ib Al-Hind, terjemahan Arsyad Mokhtar).
Ketiganya (Sulaiman At-Tajir dan Abu Zayd As-Sirafi dalam kitabnya Rihlatus Sirafi dan Buzurq bin Syahriar dalam kitabnya Aja’ib Al-Hind) mengidentifikasi lebih lanjut tentang penyebutan ‘Bumi Emas’ dan komoditas kafur yang identik dengan kawasan Hindia Timur khususnya Fansur. Buzurq seringkali menyebut ‘Nahkoda Negeri Emas’ dan ‘Raja-Raja Negeri Emas’ dalam catatannya. Hal ini setidaknya sebagai penanda sebuah kawasan dengan kandungan emas yang melimpah dan termasuk dalam rute perjalanan kapal masa itu.
Jika menilik cerita yang dituturkan Buzurq mengenai ‘Negeri Emas’, indikasi letak geografis tersebut cenderung mengarah pada satu kawasan yang letaknya diantara Sarandib dan Cina. Berdasarkan keterangan penerjemah, ‘Negeri Emas’ tersebut menunjuk pada kawasan Hindia Timur atau yang kini dikenal dengan kawasan Asia Tenggara. Salah satu penyebutan yang spesifik disebutkan Buzurq dalam catatannya adalah cerita tentang Pulau Nian (Nias) yang berjarak 100 farsakh dari Fansur. Disebutkan bahwa penduduknya banyak membeli tembaga kuningan dan menyimpannya layaknya barang yang sama berharganya dengan emas bagi orang-orang Arab. Sedangkan emas bagi mereka seperti orang-orang Arab memperlakukan tembaga kuningan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai dan harga yang lebih tinggi daripada emas. Keterangan serupa dapat ditemukan dalam Rihlatus Sirafi.
Keterangan mengenai ‘Negeri Emas’ juga disebutkan oleh Sulaiman At-Tajir dan Abu Zayd As-Sirafi. Lebih spesifik lagi keduanya menunjuk kawasan ‘Negeri Emas’ dengan satu pulau dimana terdapat galian emas. Pulau tersebut dikenal dengan sebutan Pulau Ramni atau Ramuni (Pulau Sumatera). Pulau tersebut akan ditemui ketika para nahkoda kapal telah melewati Sarandib (Sri Lanka). Pulau Ramni disebut memiliki luas delapan hingga sembilan ratus farsakh dan terdapat banyak raja di dalamnya. Keduanya juga menceritakan kisah Maharaja di satu kawasan yang disebut dengan Bandar Zabaj dimana Maharaja tersebut memiliki istana diatas telaga dengan kelimpahan air laut dan air tawar. Sang Maharaja menggunakan emas untuk mengukur pasang surut air telaga tersebut.
Data geologi dan geomorfologis memperkuat relevansi penyebutan-penyebutan dalam catatan pelayaran muslim dengan Situs Bongal sebagai pemukiman dan pelabuhan Fansur. Peta geologi menunjukkan bahwa Situs Bongal memiliki kandungan alam berupa aurum, yaitu bahan material yang menunjukkan adanya kandungan emas. Melalui peta geologi, kita juga dapat menyaksikan garis aliran anak sungai (aliran air) di Situs Bongal. Hal ini persis seperti apa yang ditemukan oleh tim ekspedisi Sultanate Institute dalam ekspedisi pemetaan kawasan Bukit Situs Bongal selama kurang lebih tiga pekan.
Berdasarkan hasil ekpedisi tersebut, Situs Bongal memiliki aliran air yang cukup melimpah yang berasal dari bukit dan bermuara hingga ke arah kawasan hutan nipah di pinggir sungai lumut. Di bagian atas bukit Bongal, nampak keberadaan air terjun bertingkat sebagai sumber aliran anak sungai. Hal menarik yang ditemukan adalah, aliran air dari Bukit Bongal yang mengalir melalui aliran anak sungai tersebut bukan bersumber dari tampungan air di titik lokasi tertinggi, melainkan berasal dari celah batu, tanah, dan pepohonan.
Selain itu, bermula dari indikasi awal hasil ekspedisi pemetaan kawasan, diperkirakan bahwa Sungai Pinangsori (kini disebut sebagai Sungai Lumut) memiliki lebar yang lebih besar dibandingkan dengan yang nampak kini. Jika dipetakan, mulut sungai diperkirakan berjarak hingga hampir 2 km. Indikasi ini kemudian diperkuat dengan data peta geologi yang menampilkan bentuk kawasan Situs Bongal 1400 tahun yang lalu. Peta tersebut menunjukkan bahwa Sungai Pinangsori memiliki lebar sekitar 1 km. Hal ini semakin mendukung kesimpulan terkait kondisi geomorfologis Situs Bongal sebagai kawasan pelabuhan yang cocok untuk sandaran kapal-kapal yang singgah. Perairannya tenang, memiliki lebar dan kedalaman yang cukup, berada di kawasan teluk yang terhalang dari ombak besar sebab keberadaan pulau-pulau di sisi baratnya sebagai penghalang ombak Samudera Hindia.
Latar belakang historis keterlibatan Hindia Timur dalam jaringan pelayaran dan perdagangan sejak abad 7 M hingga kemunculan kolonialisme Eropa memang merupakan kajian yang begitu menarik dalam khazanah penulisan baik sejarah maupun arkeologi. Di Sumatera sendiri, temuan arkeologis di kawasan pesisir timurnya telah lebih dulu tampil sebagai bukti historis yang memperkuat sumber catatan dan dokumen sejarahnya. Hal ini dibuktikan berdasarkan sejumlah penelitian baik arkeologi maupun sejarah tentang kawasan Pesisir Timur Sumatera.
Sedangkan Situs Bongal tampil sebagai kawasan di Pesisir Barat Sumatera yang cukup memberikan kebaruan dalam khazanah penelitian sejarah dan arkeologi. Temuan arkeologis atau artefak di Pesisir Barat Sumatera ini dapat mengungkap bukti historis sekaligus memperkuatan dokumen sumber catatan sejarahnya, yang dapat ditemukan dalam catatan Cina, Eropa, dan Arab. Oleh karena itu, Situs Bongal tentunya merupakan penelitian yang tidak lepas dari konteks historis aktivitas jaringan pelayaran dan perdagangan Samudera Hindia.
Penelitian riset arkeologi kami dimulai dengan pembahasan penentuan titik penggalian ekskavasi bersama-sama dengan para arkeolog dari BRIN Kantor Arkeologi Sumatera Utara. Malam itu pembahasan cukup serius, semua berupaya seakurat mungkin menentukan lokasi titik penggalian agar selaras dengan tujuan ekskavasi tahap kedua. Penentuan juga mengacu pada hasil ekspedisi kawasan atau hasil survey dari tim Sultanate Institute. Deddy Satria, arkeolog yang mewakili tim Sultanate Institute tersebut menjelaskan poin-poin penting hasil ekspedisi, sekaligus memberikan usulan titik mana saja yang dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan lokasi titik penggalian.
Hasil pembahasan didapati sebanyak lima lokasi titik penggalian. Terdiri dari dua titik di dekat Dusun dua Desa Jago-Jago (TP 6 dan 7), satu titik di sekitar tempat galian warga setempat (TP 8), dan dua titik di dekat Dusun empat Desa Jago-Jago (TP 9 dan 10). Hasil ini didapat melalui pertimbangan ekspedisi kawasan dalam rangka menentukan luas kawasan Situs Bongal dari hulu sampai hilir, sehingga mampu menambah signifikansi temuan artefak yang mewakili adanya jejak budaya masa lampau di Situs Bongal. Rencana ekskavasi tehap kedua juga dilengkapi dengan peninjauan arkeologi bawah air pada titik perairan yang dimungkinkan merupakan tempat bersandarnya kapal.
Perjalanan pada ekskavasi kedua ini berbeda dengan yang pertama. Kami tidak lagi menemui medan berlumpur setinggi 30-50 cm melewati hutan nipah di tepi Sungai Lumut, hanya saja kami perlu berjalan sedikit lebih jauh untuk sampai di titik-titik ekskavasi. Jika perjalanan menuju titik ekskavasi pertama (tahun 2021) dilakukan melewati sungai dengan menggunakan kuto-kuto, kali ini perjalanan melewati jalur darat menyusuri pemukiman dusun warga Desa Jago-Jago di sepanjang pinggir pantai Teluk Tapian Nauli. Cuaca sangat terik untuk aktivitas lapangan di sepanjang hari dan berlangsung hampir setiap hari hingga ekskavasi selesai.
Sekitar tiga hari pertama, permulaan ekskavasi berlangsung dalam proses pembukaan kotak. Kedalaman galian baru mencapai hitungan kurang dari 100 cm. Ketika awal memasuki kedalaman lebih dari 100 cm, temuan berupa ekofak yaitu biji-bijian dan ragam resin mulai ditemukan. Sedangkan temuan berupa artefak nampak di capaian kedalaman 200 cm. Seperti pada ekskavasi pertama di tahun 2021, tanah di titik penggalian ekskavasi memiliki kandungan air yang cukup melimpah, sebab memang struktur kawasan merupakan lahan basah.
Hampir kelima titik ekskavasi tahun 2022 memiliki ketinggian yang sama. Jika dipetakan, lokasi titik penggalian berada di teras paling bawah dari Bukit Bongal. Lokasinya menjorok ke arah tepian sungai. Hanya satu titik di tahun ini terdapat titik penggalian di teras kedua atau lereng bukit, posisinya lebih tinggi dari semua titik penggalian lainnya. Titik penggalian ini pun (TP 11 dan 12) baru mulai dibuka dipertengahan proses ekskavasi. Penggalian dilakukan karena temuan permukaan menunjukkan suatu struktur batuan di kontur tanah yang landai menyerupai satu bentuk hasil binaan atau buatan manusia. Indikasi awal struktur tersebut menunjuk pada makam Islam dilihat dari orientasi bentuknya yang menghadap kiblat.
Ragam temuan artefak ditemukan sebagian besar di TP 8. Didapati artefak Kaca Timur Tengah, keramik Cina, tembikar berglasir Timur Tengah, struktur kayu, fragmen kayu dan tali ijuk, serta lempengan tembaga kuningan berinskripsi Arab. Di TP 6 dan 7 ditemukan pecahan keramik Cina masa Dinasti Tang (Changsa). Kemudian di TP 11 dan 12 ditemukan gerabah yang berisi ragam manik-manik. Temuan artefak yang semakin kompleks di Situs Bongal ini menunjukkan bukti yang cukup jelas mengenai jejak interaksi kawasan Situs Bongal (Fansur) dengan dunia Islam, dimana ragam artefak sebagian besar berasal dari dunia Islam.
Kemudian tepat di hari terakhir proses ekskavasi, rombongan tim peneliti melakukan peninjauan arkeologi bawah air di Teluk Pandan. Titik ini dipilih sebagai lokasi yang layak ditinjau atau dilakukan survey sebab indikasi awal diduga perairan ini adalah tempat kapal-kapal bersandar. Berdasarkan tinjauan awal, Teluk Pandan memiliki kedalaman yang cukup untuk aktivitas kapal dengan ukuran besar didukung dengan kondisi perairan yang tenang.