Kawasan pesisir timur Sumatera, tidak asing dikenal sebagai kawasan yang ramai akan aktivitas perdagangan masa lampau. Beberapa titik dapat kita temukan kini tumbuh menjadi sebentuk kota besar, wajah metropolitan, dan cermin simbol aktivitas masyarakat modern. Eksistensinya sebagai kota dengan pusat aktivitas ekonomi maupun politik hampir tidak berubah sebenarnya, hanya saja wajah kota sekarang menampilkan satu pergeseran budaya tertentu, sebagai dampak pengaruh periode kolonial yang berlangsung.
Dalam studi literatur historis maupun arkeologis, kawasan pesisir timur Sumatera cukup masyhur dikenal sebagai kawasan pelayaran sejak masa pra-kolonial. Letaknya strategis karena berada di jalur aktivitas dagang penting yang dilewati oleh pedagang lintas pulau dan bangsa. Sebagian kawasan pesisir timur yang berada di sisi utara bahkan terletak di kawasan lalu lintas perdagangan Selat Malaka. Dan yang cukup penting, kota-kota pelabuhan yang tumbuh di kawasan pesisir tersebut bukan hanya menjadi lokasi pusat aktivitas perdagangan dan pelayaran, tetapi juga menjadi masyarakat yang tumbuh dengan perkembangan tradisi dan budaya maritim.
Satu wilayah di kawasan pesisir timur Sumatera yang dapat kita lihat adalah wilayah bekas Kesultanan Deli. Kini kita mengenalnya Medan, Ibukota provinsi Sumatera Utara. Pusat kotanya kini agak sedikit menjorok kedalam bila dibandingkan dengan letak Istana Kesultanan Deli sebelumnya. Sejak masa Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (1873-1924), istana Kesultanan Deli kembali ke Padang Datar (pusat kota Medan sekarang), lokasi yang sebelumnya juga sempat menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Deli masa Tuanku Panglima Perunggit, raja kedua Kesultanan Deli (1669-1698). Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah memindahkan pusat kota dengan mendirikan Istana Maimun, Masjid Raya Al-Masun, dan Kantor Kerapatan yang berfungsi sebagai Mahkamah Keadilan Kesultanan Deli. Perpindahan kembali Kesultanan Deli dari Labuhan Deli ke Padang Datar dipengaruhi oleh orientasi strategi ekonomi yang difokuskan pada perkebunan tembakau Deli.
Namun satu tinggalan penting Kesultanan Deli yang bangunannya masih bertahan hingga kini dapat kita jumpai di Kawasan Labuhan, lokasi awal Kesultanan Deli. Dari pusat Kota Medan ke arah Pelabuhan Belawan di kawasan pantai timur, akan tampak bangunan Masjid Al-Osmani, masjid tertua di Kota Medan. Masjid Al-Osmani terletak di tepi Sungai Deli dan berdiri tepat di depan Istana Kesultanan Deli, kini berdiri Sekolah Yayasan Perguruan Islam (YASPI) Labuhan Deli. Ketika sudah dekat lokasi, akan terasa suasana aktivitas bongkat muat peti kemas, dan akan tampak pula lalu-lalang kendaraan-kendaraan besar, ciri bahwa kita memasuki kawasan pelabuhan.
Lokasi Masjid Al-Osmani tentunya mencerminkan Kesultanan Deli yang memiliki corak maritim. Uka Tjandrasasmita dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia (2000) menjelaskan bahwa kedatangan orang-orang muslim itu mengikuti jalan pelayaran dan perdagangan, sehingga kota-kota yang tumbuh seiring dengan proses Islamisasi terletak di kawasan pesisir. Uraian ini juga telah menjadi proses yang menyatu dalam sejarah Indonesia modern. Dalam literatur lain misal apa yang disebut oleh Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium (2014). Bahwa proses sejarah masyarakat Indonesia berawal dari “Emporium” yaitu kota pelabuhan sebagai pusat aktivitas perdagangan, hingga kemudian juga berfungsi sebagai pusat otoritas politik setempat yang dinamakan “Imperium”.
Bagi Uka Tjandrasasmita, kota-kota Islam di Indonesia merupakan corak kota-kota pesisir. Mereka berfungsi sebagai pusat pelayaran dan perdagangan sekaligus juga sebagai pusat kekuasaan politik. Hal ini akan tampak bukan hanya pada Kesultanan Deli, tetapi juga kawasan Kesultanan Islam lain di wilayah-wilayah pesisir di kepulauan Indonesia.
Masjid Al-Osmani didirikan pada tahun 1854 oleh Sultan ketujuh Kesultanan Deli Sultan Osman Perkasa Alam. Ia memerintah dalam periode waktu yang cukup singkat tahun 1850-1858, menggantikan sultan sebelumnya yaitu Sultan Alamuddin Mengendar Alam (1805-1850). Al-Osmani dibangun dengan bahan baku kayu pilihan dan pada masa Sultan Mahmud Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (1858-1873) dibangun kembali secara permanen dengan bahan material bangunan modern. Bangunan Masjid Al-Osmani yang bertahan hingga kini menampilkan ciri khas arsitektur perpaduan dari model seni dan dekorasi Cina, India, Eropa, Timur Tengah, dan Melayu. Pembangunan Masjid Al-Osmani pada masa sultan kedelapan tersebut dipimpin oleh arsitek asal Jerman G. D. Langereis.
Masjid Al-Osmani
Masjid Al-Osmani secara administratif kini berlokasi di Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan. Lokasi ini merupakan letak pusat pemerintahan istana Kesultanan Deli sejak kepemimpinan Tuanku Panglima Pasutan, raja keempat Kesultanan Deli (1728-1761). Kawasan yang juga dikenal dengan sebutan Labuhan Deli ini, merupakan kota pusat pemerintahan paling lama yang ditempati Kesultanan Deli. kawasan ini begitu signifikan membentuk kejayaan Kesultanan Deli baik secara politik maupun ekonomi, yang terlibat dalam perdagangan maritim melalui dermaga serta tempat-tempat bersandar kapal milik masyarakat yang disebut ‘tangkahan’. Seperti pada uraian artikel Labuhan Deli sebagai Pusat Pemerintahan Kesultanan Deli Abad XVIII (2017).
Menariknya, jika ditinjau dalam ciri khas morfologi sistem tata kota Islam secara umum maupun secara khusus di Indonesia, Masjid Al-Osmani mengemban peran penting bagi Kesultanan Deli bukan hanya sebagai bangunan tempat ibadah. Menurut artikel serupa diatas, Masjid Al-Osmani juga merangkap fungsi sosial sebagai tempat pertemuan masyarakat dan fungsi ekonomi sebagai pasar. Dimana konsep kota-kota Kesultanan Islam biasanya menaruh tempat pertemuan masyarakat itu di alun-alun dan pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan itu di pasar. Pasar di Masjid Al-Osmani diselenggarakan setiap hari Jum’at sebelum dan sesudah menunaikan Sholat Jum’at, sehingga pasar tersebut juga biasa disebut ‘pekan’, karena digelar seminggu sekali.
Bangunan Masjid Al-Osmani akan tampak jelas dan cukup mencolok diantara bangunan-bangunan lain disekitarnya. Tampak pula nuansa melayu pada kesan pertama dengan warna kuning dan hijau serta ornamen luar pada bangunan. Dalam beberapa literatur masjid ini memang disebut kental dengan karakter unsur Melayu Deli. Pada sisi barat, utara, dan selatan, tampak pula kompleks makam para pembesar Kesultanan Deli, salah satunya adalah makam pendiri masjid itu sendiri Sultan Osman Perkasa Alam.
Arsitektur bangunan masjid disebut mencerminkan perpaduan akulturasi budaya baik dari Melayu Deli, Timur Tengah, Cina, India, maupun Eropa. Warna kuning dan hijau yang mendominasi warna pada bangunan masjid ditambah ornamen luar berwarna putih yang diambil dari motif tumbuhan pucuk rebung mencerminkan ciri khas Melayu Deli. Motif ini diambil dari bentuk pucuk bambu yang baru tumbuh yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu Deli untuk santapan sayur, sebab mudah didapat. Motif ini bagi tradisi masyarakat Melayu Deli melambangkan kesuburan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia.
Pengaruh arsitektur Timur Tengah tampak pada lengkungan atap dan pintu mihrab serta pada ornamen di sekitar mihrab tersebut. Pada bagian atas mihrab dimuat kaligrafi bertulis Surat Al-Baqarah ayat 144 dilengkapi dengan ornamen bermotif floris. Ornamen pada mihrab ini mencirikan ornamen Melayu Deli yang menggambarkan motif bunga cengkeh, kelopak empat, dan kuntum setaman. Seperti yang disebut oleh Rendy Prayogi dalam Analisis Ornamen pada Bangunan Masjid Al-Osmani Medan (2020).
Sedangkan pada ornamen pintu, dinding, dan jendela mencerminkan pengaruh seni arsitektur Cina. Terutama terlihat pada motif pintu masjid, yang menampilkan motif Bunga Cina atau Bunga Susun Kelapa seperti yang kerap kali terlihat pada motif hiasan pintu dan jendela klenteng. Ornamen dinding dibuat dengan cat minyak bermotif floralis yang distilir dan naturalis. Sedangkan ornamen kaca jendela dibuat dengan teknik lukis menggambarkan motif serupa.
Bentuk kubah sendiri dibuat dengan bentuk octagonal atau segi delapan berwarna hitam. Kubah inilah yang mencirikan pengaruh India. Dibagian bawah yang mengelilingi kubah, dilengkapi dengan hiasan motif geometris berbentuk bunga matahari. Rendy Prayogi dalam artikel serupa Analisis Bentuk Kubah dan Akulturasi Budaya pada Bangunan Masjid Al-Osmani Medan (2021) menguraikan pula pengaruh Eropa yang tercermin pada bentuk bangunan atau relief masjid. Ciri ini terlihat pada lengkungan tiang-tiang masjid yang disebut dengan lengkungan tapal kuda memiliki kemiripan dengan bentuk relief tiang Masjid Cordoba di Spanyol.
Masjid Al-Osmani tentunya merupakan bangunan bersejarah yang dapat berbicara banyak hal. Ia merupakan masjid tertua di Medan yang menampilkan dominasi nuansa Melayu Deli sekaligus perpaduan pengaruh arsitektur Cina, India, Timur Tengah, dan Eropa. Bangunan yang masih berdiri di kawasan Labuhan ini juga menandai jejak gairah tradisi dan budaya maritim Kesultanan Deli di kawasan pesisir. Sebab hal ini juga mencerminkan ciri perkembangan kota-kota Islam di Indonesia seiring proses Islamisasi melalui aktivitas pelayaran perdagangan.