Tim Sultanate Institute melakukan ekspedisi ke kawasan bersejarah di sepanjang aliran Sungai Kampar, Riau. Di Kawasan ini tim menyusuri aliran Sungai Kampar dan mengunjungi lokasi Rumah Adat Lontiok hingga lokasi percandian Muara Takus di tepi Sungai Kampar.
Sungai Kampar merupakan sungai yang terletak di wilayah administrasi Provinsi Riau. Sungai ini memiliki ukuran yang panjang yang menghubungkan kawasan pesisir timur dan barat Sumatera. Sebab sungai ini berhulu di kawasan Bukit Barisan, Sumatera Barat dan bermuara di Selat Malaka di pesisir timur pulau.
Sungai Kampar juga diduga menyimpan jejak historis yang belum banyak dieksplorasi. Sejumlah titik lokasi di aliran sungainya diyakini menyimpan jejak peradaban masyarakat terawal, yang hingga kini kita kenal dengan peradaban sungai.
Kawasan di daerah aliran Sungai Kampar ini dikenal dengan sebutan Minanga Kampua. Yakni sebuah kawasan bersejarah yang eksis sejak abad ke-7 M dan disebut-sebut merupakan latar belakang identitas kebudayaan masyarakat Riau.
Nama Minanga Kampua sendiri berasal dari aksara dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 M yang kini disimpan di Museum Nasional. Prasasti beraksara Melayu Kuno ini menyebut suatu daerah bernama Minanga Tamvan tempat Dapunta Hyang yang dikenal pendiri Sriwijaya bertolak membawa para prajuritnya.
Sejumlah sejarawan maupun peneliti berbeda pendapat mengenai lokasi Minanga Tamvan ini. Beberapa meyakini lokasi Minanga Tamvan berada di hulu Sungai Kampar tepatnya dipertemuan dua sungai, yakni Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Sedangkan sebagian yang lain meyakini Minanga Tamvan ialah nama asal dari ‘Minangkabau’, yang berlokasi di wilayah pegunungan di hulu Sungai Batanghari.
Kesimpulan lain juga muncul yang berkesimpulan lokasi Minanga Tamvan berada di hulu Batang Kuantan, atau juga di Sungai Komering purba, dan kawasan di hilir Sungai Barumun, Sumatera Utara yang disebut dengan Binanga.
Masyarakat setempat sendiri meyakini kebenaran pendapat yang pertama, yang menempatkan lokasi Minanga Tamvan di pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Masyarakat setempat kemudian menyebutnya sebagai ‘Minanga Kampua’.
Sumber informasi masyarakat setempat menuturkan, sering ditemukan benda-benda artefaktual di kawasan aliran Sungai Kampar. Temuan-temuan berupa keramik ditemukan di daerah Bukit Labuan atau Bukit Pelabuhan di Wilayah Kuok dan di daerah Batubasurat Kecamatan XIII Koto Kampar, berjarak sekitar 10 KM dari Candi Muara Takus.
Mereka menambahkan, sejumlah temuan-temuan artefaktual di kawasan Sungai Kampar disimpan oleh masyarakat setempat. Pada Bulan Syawal, masyarakat Kampar biasanya saling menampilkan benda-benda kuno temuan artefaktualnya.
Rumah Adat Lontiok
Tim Sultanate Institute berkesempatan untuk menyinggahi rumah adat masyarakat Kampar di wilayah Kuok, Kabupaten Kampar, Riau. Rumah ini disebut pula sebagai ‘Rumah Lontiok’, yang dalam bahasa Indonesia bermakna lentik, sebab bentuk arsitektur bagian atapnya berbentuk lengkungan yang melentik.
Meskipun begitu, masyarakat setempat juga menamai rumah ini dengan ‘Rumah Lancang atau Pencalang’. Nama ini juga diambil dari bentuk arsitektur bagian atap rumah yang menyerupai perahu lancang.
Jika diamati dari arsitektur bangunan, Rumah Lontiok atau juga Rumah Lancang ini termasuk dalam tipologi Rumah Adat Melayu dan Rumah Gadang di Minangkabau, Sumatera Barat. Tipologi rumah ini dibangun dengan konsep rumah panggung, beratapkan melengkung, dan menampilkan dekorasi khas melayu pada dinding-dinding kayunya.
Masyarakat setempat menuturkan, lokasi komplek Rumah Adat Lontiok ini mengandung arti historis yang sangat dekat dengan perjalanan sejarah Indonesia. Rumah dengan keindahan motif dekorasi melayu ini memiliki ikatan erat dengan Buya Hamka. Di rumah-rumah inilah jejak perjalanan hidup Buya Hamka terekam.
Rumah Lontiok sering menjadi lokasi persinggahan Buya Hamka sewaktu berada di Riau. Bahkan juga pertemuan-pertemuan dengan masyarakat setempat. Saking dekatnya, anak-anak disana bahkan sering mendapat nama baru dari Buya Hamka.
Masyarakat setempat semakin menambah rasa penasaran akan jejak historis komplek ‘Rumah Lontiok’ ini. Tiba-tiba, tim Sulatanate disodorkan sejumlah dokumen sejarah berupa surat kabar dan majalah-majalah Partai Masyumi. Surat kabar dan majalah tersebut berisi karangan-karangan pemikiran para tokoh Masyumi tahun 1950-an.
Tak disangka, dokumen sejarah itu memberi petunjuk tentang hubungan komplek rumah adat masyarakat Kampar ini dengan peristiwa politik tahun 1958. Rumah Lontiok ternyata memiliki ikatan historis dengan gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Bagaimana tidak, rumah adat masyarakat Kampar ini merupakan saksi bisu berlangsungnya peristiwa politik bersejarah itu. Pak Kechik, penjaga sekaligus budayawan setempat bercerita bahwa lokasi ini adalah lokasi basis gerakan PRRI di Riau, sekaligus titik kantong perlawanan fisik PRRI.
Pada peristiwa PRRI tahun 1958-1961, Riau merupakan salah satu basis wilayah PRRI. Sejumlah daerah menjadi pos penjagaan maupun pertahanan PRRI kala berhadapan dengan kelompok militer pemerintah pusat. Rumah Lontiok memiliki ikatan historis yang kuat dengan peristiwa tersebut sebagai daerah basis pertahanan PRRI. Tentunya, kini Rumah Lontiok menjadi monumen penting peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sumber historis sejarah Indonesia.
Candi Muara Takus
Candi Muara Takus terletak di tepi aliran Sungai Kampar Kanan. Secara administratif candi ini juga berada di Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau.
Lokasi percandian berjarak sekitar 116 KM dari Ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru, dengan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan darat. Sedangkan dari Ibukota Kabupaten Kampar, Bangkinang, Candi Muara Takus berjarak sekitar 58 KM dengan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan darat.
Komplek percandian ini dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter dengan tinggi tembok sekitar 80 cm. Terdapat empat bangunan candi yang menempati lokasi ini. Candi-candi tersebut ialah Candi Mahligai, Candi Tua, Candi Bungsu, dan Candi Palangka.
Pondasi Candi Mahligai berukuran 9,44 m X 10,6 m dan membentuk 28 sisi, sedangkan bangunan tengahnya merupakan bangunan menara dengan 36 sisi yang membentuknya. Atap bangunan menara Candi Mahligai diduga merupakan stupa, yang menunjukkan bahwa Candi ini merupakan Candi Budha.
Di sisi timur Candi Mahligai, terdapat candi yang disebut dengan Candi Palangka. Candi ini berukuran 5,10 m X 5,7 m dan memiliki tinggi sekitar 2 m. Sedangkan di sisi barat Candi Mahligai terdapat candi yang dinamakan dengan Candi Bungsu berukuran 13,20 m X 16,20 m.
Kemudian di sisi utara Candi Bungsu, berdiri Candi Tua yang merupakan bangunan terbesar di komplek percandian ini. Pondasi bangunan candi berukuran 31,65 m X 20,20 m dengan sisi yang berjumlah 36 sisi. Candi ini juga memiliki tangga yang berada di sisi barat dan timurnya.
Sejumlah arkeolog menyimpulkan bahwa candi ini merupakan bangunan agama Budha. Kesimpulan ini utamanya ditunjukkan dengan bentuk stupa pada Candi Mahligai, yang merupakan bangunan suci tempat peribadatan Agama Budha. Namun usia candi ini masih belum dapat dipastikan. Kalangan arkeolog maupun sejarawan masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut.
Komplek Candi Muara Takus telah ditemukan sejak masa kolonial. Sejumlah peneliti telah melakukan penelitian terhadap komplek percandian ini. Yang paling awal ialah Groeneveld, yang melakukan penelitian pada tahun 1880. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Verbeek dan Van Delden satu tahun setelahnya pada tahun 1881. Selain itu terdapat pula penelitian dari Schnitger, yang melakukan penggalian pada tahun 1935 dan dipublikasikan dalam Forgotten Kingdoms in Sumatra.
Tentunya membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih dalam kawasan aliran Sungai Kampar ini. Kawasan yang diyakini sebagai lokasi Minanga dalam Prasasti kedukan Bukit ini diyakini memiliki gejala-gejala arkeologis maupun historis yang patut ditelusuri. Sehingga mencapat keterangan lebih rinci mengenai jejak kebudayaan Sungai Kampar.