Situs Bongal merupakan situs cagar budaya yang secara administratif terletak di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Sedangkan secara geografis Situs Bongal menempati ruang pesisir di sisi barat Pulau Sumatra di sebuah teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli (Teluk Tapanuli).
Teluk Tapanuli (Tapian Nauli) merupakan wilayah perairan pusat aktivitas kemaritiman Nusantara di pesisir barat Sumatra yang telah aktif sejak masa yang lampau. Teluk ini juga merupakan suatu perairan yang dikenal indah dan ramai aktivitas perdagangan.
H.L. Osthoff dalam dokumennya atas perintah Pemerintah Hindia Belanda Tahun 1834-1838 tentang Deskripsi Perairan-Perairan Sepanjang Pantai Barat Sumatera, Antara Padang dan Tapanoely menyebut, “De baai Tapanolij is eene der schoonste in de wereld en de haven voozeker eene der beste in Indie” (Teluk Tapanuli adalah salah satu dari teluk yang indah di dunia dan bandarnya tentu saja salah satu yang terbaik di Hindia Timur).
Sampai saat ini aktivitas pelayaran Teluk Tapanuli direpresentasikan oleh keberadaan pelabuhan Sibolga, yang terletak di Kota Sibolga, Provinsi Sumatra Utara. Selain itu, kesejarahan dan jejak warisan budaya maritim di pesisir barat Sumatra juga direpresentasikan dengan temuan data-data arkeologi di Barus.
Berdasarkan kesinambungan sejarah dan budaya maritim di atas, memahami masyarakat pendukung budaya setempat merupakan salah satu aspek penting dalam rekonstruksi budaya. Masyarakat setempat hingga saat ini masih mewarisi aktivitas dan budaya maritim sebagai masyarakat pesisir.
Tak terkecuali penduduk Desa Jago-jago, lokasi tempat Situs Bongal berada. Selain memanfaatkan lahan dengan membuka perkebunan, penduduk Desa Jago-jago juga masih sangat terkait dengan potensi geografisnya di kawasan pesisir, sehingga mereka juga aktif memanfaatkan wilayah perairannya dengan melaut/aktivitas penangkapan ikan.
Penduduk Desa Jago-jago merupakan bagian dari sebaran Orang Pesisir atau Urang Pasisi dengan Kebudayaan Adat Sumando yang terbentuk melalui pertemuan beragam etnis pendatang di pesisir barat Tapian Nauli. Di samping masyarakat pesisir, sebagian penduduk Desa Jago-jago juga terdiri dari kelompok masyarakat Nias yang datang dan menetap di sana.
Penduduk Desa Jago-jago merupakan masyarakat setempat yang memiliki kaitan serta terlibat dalam pelestarian warisan budaya Situs Bongal. Kehidupan maritim Situs Bongal masih tampak dari aktivitas sehari-hari masyarakat Desa Jago-jago, dan sejumlah tradisi tutur yang diwariskan juga dapat menjadi petunjuk rekonstruksi budaya di Situs Bongal.
Adat Sumando: Pembentukan Identitas dan Budaya Masyarakat Pesisir Sibolga-Tapanuli Tengah
Penduduk Desa Jago-jago, Tapanuli Tengah, saat ini merupakan komunitas masyarakat yang terbentuk dari pertemuan kebudayaan yang berasal dari migrasi para pendatang. Belum dapat dipastikan siapa yang menetap pertama kali di wilayah Tapanuli Tengah-Sibolga atau migrasi tertua yang datang ke wilayah ini.
Namun sebagai kawasan pesisir dan menjadi pusat aktivitas perdagangan, kawasan Tapanuli Tengah-Sibolga (Teluk Tapian Nauli) telah menjadi tempat pertemuan beragam latar belakang kebudayaan.
Berdasarkan data abad ke-19 ketika wilayah ini menjadi Karesidenan Tapanuli di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda, penduduk terdiri dari Batak, Minangkabau, Aceh, Jawa, Bugis, Cina, Arab, dan Eropa.
Pertemuan berbagai etnis dan latar belakang kebudayaan itulah yang menjelang abad ke-19 membentuk identitas suatu kelompok masyarakat yang disebut dengan ‘Orang Pesisir’ atau ‘Urang Pasisi’. Urang Pasisi adalah satuan masyarakat pengguna bahasa pesisir yang dapat disebut sebagai etnis pesisir.
Bahasa pesisir sendiri merupakan salah satu bahasa daerah yang resmi dan diakui di Sumatra Utara berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2017 Pasal 1 Butir 7 Tentang Pengutamaan Bahasa Indonesia dan Perlindungan Bahasa Daerah.
Meskipun terdiri dari sekian banyak campuran etnis pendatang yang membentuk identitas budaya pesisir Tapian Nauli, pengaruh Batak dan Minangkabau merupakan yang paling dominan.
Penelusuran migrasi manusia dan perubahan-perubahan yang terjadi dapat dilacak hingga masa yang sangat lampau, namun setidaknya dapat ditarik sejak abad ke-16 sampai abad ke-18. Masa ini adalah periode yang berlangsung saat Kesultanan Aceh menguasai daerah pesisir barat Pulau Sumatra, hingga masuknya kolonialisme Eropa.
Kesultanan Aceh memegang otoritas di pesisir Barat Sumatra dari wilayah Aceh hingga Indrapura dan Muko-muko di Selatan, beserta kawasan perairan dan kepulauannya salah satunya Nias.
Setelah itu, penguasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengubah secara administratif wilayah pesisir Barat Sumatra yang mencakup Singkel hingga Indrapura dengan apa yang disebut dengan Gouvernement Sumatra’s WestKust.
Sub etnis Batak yang melakukan perpindahan ke wilayah pesisir Tapian Nauli ialah Batak Toba dan Angkola. Migrasi Batak Toba diketahui dimulai sekitar tahun 1525. Sedangkan orang Batak Angkola dan Mandailing di Sibolga berasal dari daerah Tapanuli Selatan, yang berbatasan dengan daerah Minangkabau yang mengambil garis keturunan dari ibu (Matrilineal), berbahasa Minangkabau, dan memeluk agama Islam. Perpindahan orang Minangkabau sendiri ke pesisir Tapian Nauli secara besar-besaran dimulai sejak abad ke-16 melalui perdagangan.
Orang Pesisir atau Urang Pasisi kemudian melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan khas yang tercipta dari proses akulturasi berbagai etnis budaya pendatang. Seperangkat tradisi dan adat yang hidup di tengah-tengah mereka disebut dengan Budaya Pesisir atau Adat Sumando.
Seperangkat tradisi dan adat (Sumando) Pesisir Tapanuli Tengah-Sibolga (Tapian Nauli) tersebut terdiri dari bahasa pesisir, makanan pesisir, tata cara pernikahan, perlengkapan busana, hingga kesenian yang dikenal dengan sebutan Sikambang serta beberapa jenis tari-tarian.
Sumando pada dasarnya ialah suatu ikatan yang menunjukkan hubungan kekerabatan dan persaudaraan, yang merupakan campuran antara satu keluarga dengan keluarga lainnya yang seiman dengan ikatan tali pernikahan menurut hukum agama Islam dan disahkan oleh adat pesisir. Oleh karena itu, Sumando dalam bahasa Batak memiliki arti cantik dan sesuai, sedangkan secara mendalam (terminologi) berarti besan berbesan.
Selain itu, Sumando juga berasal dari istilah yang ada di Minangkabau yang berarti orang semenda, yaitu orang yang menjadi suami dari anak perempuan atau saudara perempuan dalam sebuah keluarga. Dengan demikian, Sumando ialah budaya pesisir yang didasari pada ikatan kekeluargaan melalui proses pernikahan..
Orang Sumando adalah seorang menantu (mantu), kakak ipar, dan adik ipar yang telah menjadi keluarga sendiri. Keputusan mengenai masalah adat dan keluarga dikatakan tidak sah tanpa melibatkan semua musyawarah anggota keluarga baik dari keluarga pihak laki-laki, maupun pihak perempuan yang telah Bersatu dengan adat Sumando pesisir dan di sahkan berdasarkan agama Islam.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan baik dan buruk menjadi tanggungjawab bersama orang sumando. Garis keturunan Adat Sumando ditarik dari pihak laki-laki (patrilineal) di mana dalam hal ini pihak ayah di masyarakat pesisir adalah orang yang pertama mengambil keputusan dalam suatu rumah tangga. Jika dalam satu rumah tangga lahir seorang anak maka si anak akan memakai gelar/marga dari ayah.
Orang Pesisir atau Urang Pasisi (Sumando) berkomunikasi menggunakan Bahasa Pesisir atau Bahaso Pasisi. Bahasa ini menjadi bahasa pengantar di tengah aktivitas sehari-hari, di sekolah, upacara adat, dan keagamaan.
Bahasa Pesisir merupakan perpaduan antara bahasa Melayu, Minangkabau, Batak, sebagai pengaruh yang dominan, serta bahasa yang berasal dari pendatang lainnya. Selain itu, terserap pula sejumlah kosa kata yang berasal dari bahasa Arab, Portugis, India, dan Belanda.
Bahaso Pasisi tersebar di sepanjang Pesisir Barat Sumatra Utara dari Mandailing Natal, Sibolga hingga Barus. Meskipun begitu, di kawasan pesisir Tapian Nauli juga digunakan Bahasa Batak sebagai bahasa asli etnis Batak pendatang. Mereka pun saling mengerti dengan baik bahasa yang digunakan, karena secara umum mereka menggunakan dua bahasa tersebut (Pesisir dan Batak) serta bahasa Indonesia.