Islam mengenal konsep tata kota dalam membangun peradabannya. Konsep tata kota dalam Islam ini memiliki makna yang menyeluruh, yang meliputi sistem pertahanan, jalanan kota, fasilitas umum, hingga sistem sosial politik. Selain itu, dalam mengatur masyarakat, Islam juga meletakkan strategi urbannya berdasarkan landasan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber syariah.
Perencanaan kota dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber mengenai siyasah (pemerintahan). Dalam hal ini pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya berkedudukan sebagai otoritas penting dalam perencanaan sistem tata kota.
Melalui kebijakan pemerintah, dibentuk sejumlah prinsip-prinsip umum untuk mengatur perencanaan kota. Prinsip-prinsip umum kemudian diperinci ke dalam kebijakan yang mengatur mengenai permasalahan sosial melalui sumber-sumber fiqh, sosial, dan moral.
Ibnul Azruq dalam Bada’i as-Salik fi Thaba’i al-Malik, yaitu salah satu sumber rujukan siyasah, menerangkan bahwa pembangunan perencanaan kota adalah salah satu rukun kekuasaan. Para ahli siyasah dalam kesepakatan bersamanya turut mempertegas, bahwa kemakmuran dan keadilan merupakan pondasi awal terbentuknya suatu kota Islam.
Sebab tidak ada pajak tanpa ada kemakmuran, dan tidak ada kemakmuran tanpa keadilan. Sehingga kewajiban memenuhi hak penduduk yaitu kemakmuran dan keadilan adalah kewajiban yang utama sebelum pajak dibebankan kepada para penduduk itu sendiri.
Sistem Tata Kota Islam
Ibnu Ar-Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik menjelaskan tentang enam syarat dalam memilih lokasi kota. Syarat-syarat tersebut adalah sumber daya air tawar yang mencukupi, pasokan bahan makanan, lingkungan dan iklim yang bagus, dekat dengan padang pengembalaan dan pasokan kayu bakar, membentengi pemukiman dari musuh dan pengacau, dan membangun tembok keliling untuk melindungi penduduknya.
Lokasi kota yang telah memenuhi syarat-syarat di atas, kemudian dibangun berdasarkan sistem tata kota Islam. Dalam membangun kota ini, Islam mengatur tentang penataan bangunan kota. Terdapat sejumlah bangunan wajib yang dibangun, yang menjadi pondasi penting pembangunan kota.
Seperti yang dimuat dalam Ahkam Al-Bina, bangunan-bangunan penting penopang kehidupan kota menjadi standar sistem tata kota Islam. Bangunan-bangunan tersebut di antaranya adalah masjid, ribath atau mushola, benteng, tembok, jembatan, terowongan air atau yang sering disebut kanal, serta bendungan.
Selain itu dianjurkan pula untuk dibangun menara adzan, pasar, tempat tinggal serta kawasan pertokoan. Kemudian sisanya diserahkan kepada para penduduk untuk membangun rumahnya (kawasan pemukiman).
Kota Pesisir
Islam mengatur sejumlah ketentuan dan syarat khusus bagi kota yang terletak di kawasan pesisir. Kota pesisir dianjurkan berlokasi di gunung atau bukit yang dikelilingi oleh suku-suku setempat. Ketentuan ini dilakukan untuk menghindari serangan musuh dari laut secara langsung. Lokasi gunung atau bukit setidaknya dapat memberikan peringatan dini bagi penduduk jika sewaktu-waktu terdapat serangan dari laut.
Kota pesisir juga merupakan ciri khas kota-kota Islam. Corak kota Islam pesisir ini terbentuk seiring dengan perluasan penyebaran agama Islam melalui aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim. Pemukiman masyarakat Islam tumbuh di kawasan-kawasan kota pelabuhan pesisir, dan melalui kawasan inilah Islam berinteraksi hingga memberi pengaruh peradaban dengan masyarakat setempat.
Jejak ini dapat diamati di kawasan Samudera Hindia. Pengaruh Islam tumbuh melalui jalur pelayaran dan perdagangan. Kota-kota Islam pesisir juga terbentuk di kawasan pesisir India hingga kawasan Kepulauan di Indonesia. Kota-kota Islam pesisir tersebut dapat kita telusuri bahkan sejak abad ke-7 M.
W.P. Groeneveldt dalam bukunya Nusantara dalam Catatan Tionghoa memuat sebuah catatan Dinasti T’ang yang menyebut keberadaan komunitas masyarakat di kawasan pesisir barat Sumatera. Catatan Cina itu menyebut komunitas masyarakat di kawasan pesisir barat Sumatera sebagai komunitas masyarakat Da-zi. Penyebutan ini merupakan istilah yang digunakan orang-orang Tionghoa untuk menunjuk komunitas orang-orang Arab.
Corak kota pesisir kemudian berlangsung hingga abad ke-16 dan abad ke-17 M. Uka Tjandrasasmita dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia (2000) menjelaskan bahwa komunitas masyarakat muslim seiring dengan pelayaran dan perdagangannya, menempati kawasan pesisir dan mengembangkan daerahnya menjadi kota pelabuhan. Seiring dengan proses Islamisasi kemudian kota-kota tersebut tumbuh menjadi kota-kota pusat institusi politik kerajaan Islam di Indonesia.
Beberapa kawasan kota Islam pesisir di Indonesia dapat disebut berdasarkan pada penelusuran arkeologis maupun catatan sumber sejarah. Dimulai dari Pulau Sumatera, kota-kota Islam di pesisir tumbuh di kawasan Samudera Pasai pada abad ke-13 M. Kota ini sekaligus menjadi pusat Kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Setelah itu tumbuh kota-kota pesisir lainnya di Aceh, Pedir, Aru, Malaka, Jambi, Pariaman, dan Palembang. Di Jawa kota-kota pesisir tumbuh melalui kawasan pesisir utaranya, yaitu Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak, dan Jepara. Dari sana pertumbuhan kota pesisir diteruskan ke wilayah barat, seperti Tegal, Cirebon, Indramayu, hingga kawasan Banten.
Sedangkan di wilayah Kepulauan Timur Indonesia di Maluku, tumbuh kota-kota Islam di kawasan pesisir di Ternate, Tidore, Hitu, Bacan, dan Makyan. Di Sulawesi Selatan tumbuh kota pesisir seperti Sombaopu, Ujung Pandang, Gowa, Tallo, Bone, Wajo, dan Soppeng. Di Kalimantan kota-kota Islam pesisir tumbuh di Banjar, Martapura, hingga berkembang ke wilayah Barat dan Timurnya.