Kawasan perairan Samudera Hindia merupakan kawasan perairan ketiga terbesar di dunia. Perairan ini melingkupi kawasan Asia, Afrika, dan Australia dengan sejumlah area lautan regional maupun teluk besar yang melengkapinya.
Layaknya rekonstruksi sejarah perdagangan yang kita kenal silk route maupun spice route, Samudera Hindia juga merupakan kawasan jalur pelayaran dan perdagangan global. Kawasan ini menyimpan jejak historis yang panjang, yang melibatkan banyak unsur kebudayaan. Proses berlangsungnya aktivitas pelayaran dan perdagangan kemudian sarat membawa serta aktivitas agama dan peradaban.
Aktivitas niaga atau Indian Ocean Trade telah dikenal sejak masa terawal dan menjadi saksi berlangsungnya koneksitas kebudayaan antar negeri-negeri di sepanjang garis pantainya. Para pelayar bukan hanya sekedar singgah dan berpindah-pindah tempat, melainkan juga turut membawa pengaruh penyebaran elemen budaya.
Tinggalan peradaban kawasan Samudera Hindia bahkan mampu mengundang ketertarikan beragam studi maupun kajian ilmu pengetahuan. Kompleksitas unsur-unsur yang saling berhubungan membutuhkan kajian interdisipliner guna merekonstruksi gambaran jejak historis perdagangan yang berlangsung sejak bertahun-tahun lalu.
Indian Ocean Trade menampilkan aktivitas niaga yang kompleks. Pertukaran komoditas meluas menghubungkan Cina di sisi timur dan Afrika di sisi barat. Samudera Hindia bahkan menghubungkan jaringan berbagai kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisirnya. Mulai dari afrika (Mogadishu, Swahili, Zanzibar) hingga ke Teluk Persia atau Selat Hormuz, lalu Sumatera hingga mencapai Kanton di Cina.
Sejumlah literatur menyebut perdagangan Samudera Hindia memiliki ekspansi yang lebih besar, lebih kaya, dan melibatkan lebih banyak pedagang jika dibanding dengan jalur sutra maupun rempah. Syauqi Abdul Qowi Utsman menyebut bahwa para pedagang yang terlibat termasuk orang-orang Arab, Persia, Afrika, India, dan Cina.
Peneliti Arkeologi Maritim Griffith University, Shinatria Adhityatama menyebutkan walaupun jalur Indian Ocean Trade tidak dijaga secara politik (tidak ada penguasa), tetapi kawasan ini relatif aman, terhindar dari praktik bajak laut maupun bentuk kejahatan lainnya. Bahkan meskipun para pedagang sebagian besar diperankan oleh para pedagang Islam (Arab dan Persia), namun aktivitas perdagangan Samudera Hindia cenderung berlangsung aman tanpa upaya monopoli.
Puncak perdagangan Samudera Hindia sejak abad ke-7 M. Islam mendorong peningkatan kegiatan komersial semakin pesat. Pengaruh Islam sangat besar tampak mulai dari kawasan India hingga Asia Tenggara. Sebab Samudera Hindia mulai abad ke-7 M telah menjadi layaknya Teluk Islam, bahkan Andre Wink menyebut Samudera Hindia dengan “Arab Mediterranean”.
Pada masa ini kawasan Samudera Hindia menjadi kawasan yang sangat makmur. Pedagang yang terlibat dalam jalur ini sangat beragam, melibatkan banyak orang, bangsa, agama, dan suku. Mereka membentuk jaringan dagang dan berposisi sebagai middle man. Yaitu membentuk siklus perdagangan, menjual, membeli, kemudian mereka menjual kembali.
Jalur ini sempat redup setelah Mongol menguasai Cina, dimana Mongol membuka jalur darat dengan lebih murah dan aman karna setiap jalurnya dijaga oleh pasukan Mongol. Tapi kekuasaan Mongol di Cina hanya sebentar, sehingga perdagangan kembali ke jalur laut pasca abad 10-11 M.
Peran Angin Monsoon
Shinatria melanjutkan bahwa pada abad ke-7 Indian Ocean secara internasional identik dengan Monsoon Market Place. Hal ini sangat melekat dengan kawasan perairan Samudera Hindia, sebab pelayaran dilakukan memanfaatkan pergerakan angin musim. Pergerakan angin ini yang membawa kapal-kapal Samudera Hindia sampai ke tujuan. Nahkoda kapal haruslah orang yang menguasai arah pergerakan angin musim.
Syauqi Abdul Qowi Utsman menyebut musim berlayar bergantung total pada pergerakan angin musim. Seperti yang diuraikan pula oleh Al-Mas’udi dalam Muruj Adz-Dzahab bahwa “Orang yang mengarungi perairan ini mengenal anginnya dan mengetahui kapan bertiupnya. Mereka mengetahuinya dari lamanya pengalaman yang diwarisi secara turun temurun. Mereka menyesuaikan dengan berbagai indikasi yang dilihatnya ketika mengarunginya dan menembus gelombangnya.”
Pergerakan angin musim juga mempengaruhi pembentukan jalur pelayaran. Keberangkatan kapal dimulai dari pusat-pusat pelayaran di Teluk Persia. Kemudian kapal melewati kawasan kota-kota pelabuhan di pesisir Samudera Hindia. Kota-kota pelabuhan ini berperan menjadi rute singgah kapal-kapal sembari melakukan proses pertukaran barang dan interaksi kebudayaan.
Peneliti Arkeologi Maritim Griffith University, Shinatria Adhityatama menuturkan dari perspektif maritim, sulit untuk menentukan ukuran yang pakem terutama berkenaan dengan jalur pelayaran Samudera Hindia. Sebab pada masa itu aktivitas para pedagang sangat bebas, tidak terbatas pada batasan-batasan administratif maupun batasan territorial tertentu seperti sekarang.
Meskipun begitu, rekonstruksi jalur pelayaran Samudera Hindia dapat dilacak melalui catatan-catatan geografis para pelayar Arab. Seperti George Fadlo Hourani yang juga telah merangkainya dalam Arab Seafaring in the Indian Ocean in Early and Medieval Times. Dimana kapal berangkat dari kota pelabuhan Al-Ubullah di mulut Sungai Tigris maupun dari Siraf. Kapal kemudian singgah di Sohar dan Muscat untuk mengisi pasokan air bersih. Darisana kapal menuju Kulam Mali di Malabar (Pesisir Selatan India), kemudian menuju Srilanka atau yang juga disebut dengan Sarandib. Lalu kapal melanjutkan perjalanan ke Kalah Bar melalui Kepulauan Nicobar, kemudian Selat Malaka, berlanjut ke Pulau Tioman, Sanf, Hanoi hingga mencapai Kanton atau Khanfu.