Tradisi tulis menulis dalam Islam tumbuh seiring dengan kebutuhan akan penulisan Al-Qur’an. Semula tradisi tulis menulis dalam masyarakat Arab berkembang dalam bentuk-bentuk yang sederhana. Kemudian upaya penulisan Al-Qur’an turut memberi pengaruh dalam penyempurnaan perkembangan tulisan dalam masyarakat Arab, yaitu penyempurnaan huruf abjad-abjad dalam bahasa Arab.
Penulisan Al-Qur’an juga berdampak pada lompatan perkembangan literasi umat Islam. Terutama dalam tradisi tulis menulis, tradisi ini melahirkan salah satu unsur penting ekspresi seni peradaban Islam yang kita kenal dengan kaligrafi. Ismail R. Al-Faruqi dalam Atlas Budaya Islam mengungkapkan bahwa kaligrafi merupakan lompatan ekspresi seni di kalangan muslim awal dengan kecepatan dan daya cipta yang mengagungkan.
Hal ini seperti yang diungkapkan pula oleh Dr. Suhailah Yasin Al-Jaburi Adil Al-Alusi dalam Al-Khat Al-’Arabi Nasyatuhu wa Tathwwuruhu, “Ketika Islam muncul, kemunculannya itu disertai dengan kebangkitan ilmiah dan budaya yang kuat, dan kebutuhan akan tulisan (khat) berkembang, serta minat terhadapnya meningkat.”
Tradisi tulis kemudian menjadi salah satu ekspresi budaya yang melekat dalam peradaban Islam. Tradisi ini secara tidak langsung merupakan penyokong utama keberhasilan perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Pada masa Daulah Umawiyah, tradisi tulis menulis bahkan didukung dengan pertumbuhan pusat-pusat produksi alat-alat tulis. Seperti perkamen, papirus, qalam, pena atau fountain pen, dan wadah pena.
PERKAMEN
Perkamen berasal dari bahasa Yunani pergamene, dan bahasa Latin pergamena. Helen Loveday dalam Islamic Paper a Study of the Ancient Craft mengartikan perkamen sebagai sebuah istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan kulit binatang apa saja yang setelah dihilangkan bulunya menggunakan enzim atau kapur lalu diregangkan menggunakan sebuah bingkai dan dibiarkan hingga kering.
Perkamen ini merupakan salah satu alat tulis yang tumbuh dalam tradisi literasi Islam. Alat ini digunakan pada masa awal Islam, dipakai untuk sejumlah keperluan tertentu pada masa Daulah Umawiyah. Salah satu contohnya disebut oleh Ibnu An-Nadim dalam Al-Fihrist, dimana Khalifah Al-Makmun dilaporkan memiliki dokumen catatan akad yang ditulis oleh Abdul Mutthalib di atas lembaran kulit.
Islam sendiri mengenal tiga istilah yang menunjuk pada kulit yang diolah untuk digunakan sebagai medium tulisan. Pertama ialah ar-raqq, kulit yang dilembutkan untuk digunakan sebagai medium tulisan. Hal ini dimuat dalam Al-Quran Surat At-Thur ayat 1-3, yang artinya disebutkan “Demi bukit (Thur), dan Kitab yang ditulis pada lembaran yang terbuka.”
Kedua, al-adim, yaitu kulit berwarna merah, atau kulit yang disamak. Istilah ini terdapat dalam Hadits Ummu Salamah “Nabi saw meminta selembar kulit. Lalu kemudian mendiktekan sesuatu kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau terus mendiktekan dan Ali terus menulis hingga memenuhi bagian muka, balik, dan pinggiran kulit tersebut.”
Ketiga, al-qadhim, yaitu kulit berwarna putih yang digunakan sebagai medium tulisan. Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal sementara Al-Quran tertulis di lembaran daun pohon kurma, pangkal pelepah daun kurma, dan kulit.”
Perkamen sebagai medium tulis menulis dibuat menggunakan kulit binatang, yang diambil dari kulit domba, kambing, atau rusa. Kulit ini kemudian dibersihkan dari sisa-sisa bulu, urat-urat, maupun daging, dengan merendamnya dalam wadah berisi cairan kental kapur rebus. Kulit kemudian dicuci dan diregangkan hingga kering. Setelah itu digosok menggunakan perunggu untuk menghaluskan permukaan perkamen.
Pada masa Daulah Umawiyah, terdapat sejumlah kawasan pusat produksi perkamen. Diantaranya Cordoba, Qairuwan, dan Kufah. Di Cordoba, perkamen diproduksi di daerah yang dikenal dengan Rabdh Raqqaqin. Sedangkan Qairuwan menjadi pusat produksi perkamen dengan didukung oleh kawasan padang penggembalaan dan Kufah juga dikenal memiliki produk perkamen yang berkualitas.
PAPIRUS
Papirus tanaman yang digunakan sebagai bahan pembuatan medium tulis menulis. Pada masanya istilah ini juga identik menunjuk pada suatu medium tulis. Tanaman papirus tumbuh liar di Mesir sebagai habitat aslinya. Namun seringkali papirus juga ditemukan di Palestina, Mesopotamia, dan Pulau Sisilia.
Islam menggunakan beberapa istilah untuk menujukkan medium tulis menulis ini. DIantaranya ialah qirthas, yang disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 7 dan 91. Selain itu dikenal pula dengan istilah waraq al-bardi dan waraq al-qashab.
Abul Abbas An-Nabati (w. 637 H/1239) menyebutkan:
“Orang Mesir dahulu kala membelah batang papirus itu menjadi dua bagian, lalu kemudian mengirisnya menjadi lembaran-lembaran, meletakkannya secara melintang dalam dua lapisan di atas alas yang terbuat dari kayu, lalu mengoleskan di atasnya adonan yang terbuat dari biji teratai biru yang dicampur dengan air. Setelah dibiarkan hingga benar-benar kering, potongan-potongan tersebut kemudian dipukul-pukul dengan sebatang kayu menyerupai palu kecil hingga menjadi lembaran yang rata dan kokoh.”
Papirus menjadi medium tulis menulis yang populer pada masa Umawiyyah dan Abbasiyah pertama. Selain pejabat negara, masyarakat umum dan para penuntut ilmu juga menggunakan papirus sebagai medium catat mencatat. Yahya Wuhaib Al-Jabburi dalam Al-Khat wal Kitabah fi Al-Hadharah Al-Arabiyyah memuat syair Abu Nuwas “Aku perlu kertas (papirus) tapi tidak bisa memperolehnya. Padahal teman-temanku kebanyakan pembuat kertas.”
Al-Baladzuri juga menyebut hal yang sama dalam Futuhul Buldan, menukil dari Abul Hasan Al-Madaini, katanya, “Bahwa para penulis senior bercerita kepadaku jika catatan diwan di Syam itu menggunakan kertas papirus. Demikian juga surat-surat mengenai pengangkutan pajak dan lain-lain yang ditujukan kepada pembesar Bani Umayyah.”
Papirus pada masa awal Islam diproduksi baik untuk keperluan korespondensi sehari-hari dan hubungan bisnis maupun untuk keperluan pemerintahan. Produsen papirus menghasilkan papirus berkualitas tinggi dikhususkan untuk penjualan kepada pemerintah dengan harga tinggi. Sedangkan papirus lain dengan kualitas dibawahnya diperuntukkan keperluan sehari-hari dan transaksi bisnis, yang dijual di pasaran terbuka. (W. Matt Malczycki dalam The Papyrus Industry in the Early Islamic Era).
QALAM
Qalam atau juga disebut pena buluh telah dikenal sejak sejak era awal Islam. Istilah alat tulis ini disebut secara khusus sebagai nama surah dalam Al-Quran, yaitu Surah Al-Qalam, surah ke-68. Buluh atau bambu digunakan sebagai pena dengan dikupas atau dipangkas untuk membuat mata pena. Mata pena tersebut dibuat dengan memotong salah satu ujungnya. Bentuk mata pena ini menghasilkan bentuk tulisan yang khas, yang seringkali terdapat dalam goresan-goresan kaligrafi. (Adam Gacek, Arabic Manuscripts).
Pena dalam Islam juga digunakan sebagai simbol literasi. Sebab pena inilah yang menjadi alat utama bagi kegiatan literasi khususnya tulis menulis. Ishaq bin Hammad berkata, “Pena bagi seorang penulis itu seperti pedang bagi kesatria.” (Al-Murtadha Az-Zubaidi, Hikmatu Al-Isyraq ila Kuttab Al-Afaq).
Qalam dipakai dengan menggunakan tinta yang diisi dalam suatu wadah. Wadah inilah yang merupakan ciri khas tradisi literasi dalam Islam, dimana pena dan tintanya ditempatkan dalam wadah yang sama. Wadah tinta dibuat dari kayu, logam (besi dan tembaga) atau keramik. Namun terkadang juga ditemukan sejumlah wadah yang dibuat dari kaca, dengan berbagai hiasan. Wadah tinta, selain sebagai wadah independen, juga ditemukan menempel pada kotak pena atau terpasang sebagai bagian utama dari kotak pena. Di lehernya ditempel gumpalan dari sutra atau wol untuk mencegah tumpahan tinta ketika pena dicelupkan.
Temuan artefak kotak wadah tinta ini ditemukan di Situs Bongal, Pesisir Barat Sumatera. Berdasarkan identifikasi pertanggalan artefak dalam uji laboratorium di Waikato University, wadah tinta temuan Situs Bongal menunjukkan usia yang berasal dari abad ke-7 M.
Meskipun begitu, jenis pena dalam tradisi literasi Islam juga berkembang berdasarkan teknik pembuatannya. Pada masa Umawiyah telah dikembangkan pembuatan pena yang lebih mudah dalam cara penggunaannya. Pena jenis ini dibuat layaknya alat yang kini kita kenal dengan pulpen. Pena ini disebut juga sebagai fountain pen.