Kafur merupakan salah satu komoditas aromatika utama Samudera Hindia. Komoditas ini terbagi dalam dua jenis berdasarkan daerah asal atau penyebarannya. Dimana klasifikasi jenis pohon kafur menentukan kualitas barangnya. Pohon kafur yang berasal dari Sumatera dan beberapa kawasan di Kalimantan (Dryobalanops Aromatica) memiliki kandungan kualitas yang lebih tinggi. Lebih tepatnya getah yang dihasilkan dari pohon kafur yang berada di Pesisir Barat Sumatera. Komoditas inilah yang dicari oleh para pelayar Samudera Hindia.
Para pelayar menyebut kafur Pesisir Barat Sumatera merupakan kafur terbaik. Ia terletak di Kota Pelabuhan Fansur yang terletak di Pulau Ramuni (Sumatera) dan teradapat Pulau Nian di sekitarnya. Hal ini disebut dalam Rihlas As-Sirafi karangan Sulaiman At-Tajir dan Abu Zayd As-Sirafi sebagai berikut:
Di laut ini, sekiranya seseorang berlayar ke Sarandib, tidaklah didapati pulau-pulau yang terlalu banyak. Melainkan pulau-pulau yang ada itu besar dengan keluasannya tidak dapat ditaksirkan. Antara pulau-pulau berkenaan adalah Pulau Ramuni. Terdapat banyak raja di pulau ini. Keluasannya dikatakan sebanyak lapan atau Sembilan ratus farsakh. Disana terdapat galian emas. Juga disana terdapat sebuah kawasan yang dipanggil Fansur yang mana kafur yang terbaik datang dari situ. Pulau-pulau lain yang mengiringi pulau ini antaranya ialah pulau yang dipanggil Nian.
Berdasarkan Ajaib Al-Hind karangan Buzurg bin Syahriar Al-Ramhurmuzi, Pulau Nian disebut berjarak lebih kurang seratus farsakh dengan Fansur. Yaitu sebuah pulau yang kini dikenal dengan sebutan Pulau Nias.
Catatan lain diungkapkan oleh pelayar Marcopolo dalam perjalanannya di Samudera Hindia. Ia mengungkapkan bahwa di sebuah Kerajaan Fansur (Kingdom of Fansur) terdapat kafur terbaik yang lebih berharga dibanding komoditas kafur lainnya. Ia menyebut sebagai berikut:
Here grows the best canfara fansuri, which is much more valued than any other.
Kafur Fansur ini terletak di kawasan Kerajaan Kepulauan bernama Zabaj. Wilayahnya berbatasan dengan Negeri Cina. Dikatakan bahwa kerajaan ini mencakup wilayah yang luas kira-kira seribu farsakh atau lebih dan memiliki banyak sekali pulau. Diantara pulau yang disebutkan ialah Pulau Sarirah yang luasnya kira-kira empat ratus farsakh, Pulau Rami (Ramni/Ramuni) yang disebut sebagai Sumatera memiliki luas delapan ratus farsakh, Kalah luasnya kira-kira delapan puluh farsakh, dan Sribuzah. Beberapa ungkapan disebut para pelayar muslim tentang luas Kepulauan wilayah kekuasaan Zabaj ini.
Beberapa catatan lainnya seperti Akhbar Az-Zaman karangan Al-Mas’udi, menyebut identifikasi yang serupa yaitu menyebut bahwa Zabaj menguasai pulau-pulau dan wilayah yang tidak terhitung banyaknya. Ia mengungkapkan “Jikalau ada kapal yang hendak berputar mengelilingi seluruh daerah kekuasaannya pasti akan memakan waktu bertahun-tahun lamanya”. Dalam catatannya yang lain yaitu At-Tanbih wa Al-Isyraf menyebut “Tidak ada orang yang bisa berputar mengelilingi seluruh wilayah kekuasaannya dalam dua tahun saja meskipun menaiki kapal yang paling cepat”.
Al-Mas’udi juga menyebut wilayah kerajaannya luas sekali dan pasukannya tak terhitung banyaknya dalam karangannya yang lain At-Tanbih wa Al-Isyraf. Kemudian Miratu Az-Zaman fi Tawarikh Al-A’yan menyebut terdapat seribu pulau pada wilayah seluas seribu farsakh, pasukannya tidak terhitung jumlahnya lantaran wilayahnya luas sekali,
Raja Zabaj bergelar Maharaja. Segala macam wewangian tumbuh di tanah-tanah hutan di wilayahnya yang tidak dimiliki oleh raja-raja lain. Tak salah jika kawasan ini ditumbuhi berbagai macam komoditas hasil hutan diantaranya kafur, kemenyan, cendana, kayu jati, timah putih, kayu hitam, buqur, gaharu, cengkeh, pala, kapulaga, kemiri, kenari, lada jawa (kemukus), dan pohon bambu.
Pohon kafur tumbuh di gunung-gunung Zabaj, dimana di lokasi tersebut hidup pula ular dan kerbau yang besar. Pohon kafur berukuran besar dikatakan dapat menaungi lebih kurang seratus orang. Kayu pohonnya berwarna putih. Pohon kafur juga tinggi dan bercabang-cabang. Daunnya menyerupai bentuk perisai dan pohonnya berbonggol-bonggol. Pohonnya dapat ditemukan di kaki gunung dekat dengan laut.
Getah kafur yang didapat dari pohonnya dipanen dengan melubanginya di bagian atas sehingga mengalir getah berliter-liter banyaknya. Bagian bawahnya dapat pula dilubangi akan keluar potongan-potongan kafur. Getah kafur dapat dipanen juga dengan melukai atau menyayat batangnya. Setelah dipanen pohon akan mati dan mengering.
PENJELASAN TENTANG KAFUR DARI FANSURI (ASAL KAFUR FANSURI)
Kafur Fansuri adalah kafur terbaik yang disebut dalam catatan pelayaran berasal dari daerah yang bernama Fansur. Dimana identifikasi Fansur sangat identik dengan kawasan Pantai Barat Sumatera. Identifikasi ini diperkuat dengan temuan artefaktual di Situs Bongal, Tapanuli Tengah, yang berlokasi di Teluk Tapanuli. Istilah Kafur sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan H.P Reinaud dan G.S Colin yang menyatakan: ”Istilah Kafur adalah sebuah kata yang diarabkan. Istilah yang sama terdapat dalam bahasa Persia dan Turki untuk “Kafur” dan istilah “camphre” dalam bahasa Prancis dipinjam dari bahasa Arab lewat istilah alcanfor dari bahasa daerah Castile.
Dalam beberapa bahasa yang lebih jauh, terdapat istilah yang hampir serupa, misalnya karpura dalam bahasa Sansekerta dan kapor dalam bahasa Khemr. Selain itu dalam sebuah catatan China Yu yang tsa tsu, tercatat suatu transkripsi dari istilah kapur Barus. Berdasarkan semua alasan ini, maka pakar-pakar etimologi berpendapat bahwa semua istilah ini berasal dari istilah Melayu kapur. Namun perlu diperhatikan pula, bahwa jauh sebelum sumber-sumber diatas, Al-Quran telah mencatat istilah kafur dalam surat Al-Insaan ayat 5 yang berbunyi:
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, yaitu mata air dalam surga yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.
Seperti dijelaskan sebelumnya, pohon kafur yang tumbuh di pesisir barat pulau Sumatera berasal dari tumbuhan bernama latin Dryobalanops Aromatica. Pohon ini memang cocok tumbuh di kawasan yang memiliki intensitas hujan yang tinggi, di tepian sungai dan berada di ketinggian tidak lebih dari 2000mdpl. Penjelasan mengenai habitat pohon kafur yang terbaik telah ditulis pula oleh Al-Mas’udi dalam buku Muruj al-Dzahab yang menyebutkan: “Syarat-syarat yang paling sesuai untuk pohon kafur adalah kawasan yang bermusim hujan, sepanjang tepian sungai dan di lereng gunung sampai ketinggian 2000 m”.
Sebagai komoditas utama, kafur yang berasal dari Fansur merupakan produk yang terbaik. Hal ini seperti yang telah dituliskan oleh Ibnu Sarabiyun (10 M) yang dikutip kembali oleh Ibnu Al- Baytar (646 H) sebagai berikut:
“Kafur yang bermutu tinggi dinamakan al-riyahi, kafur ini adalah salah satu bahan alami. Warnanya kemerahan dan berbinti-bintik tetapi menjadi putih sesudah di sublimasi di tempat asalnya. Tempat asalnya bernama Fansur dan dari nama ini semua berasal beberapa jenis “kafur fansuri”. Kafur ini adalah jenis yang terbaik, paling ringan, paling murni, paling putih dan paling mengkilat. Potongan-potongan terbesar ukurannya sebesar kira-kira mata uang dirham.”
Pada era perdagangan samudera, peredaran kafur di pasaran biasanya tidak hanya dalam bentuk yang murni, tetapi dicampur dengan beberapa bahan dan dikemas dalam potongan-potongan bambu.[20] Belum diketahui secara pasti mengenai tujuan pencampuran bahan-bahan lain dalam peredaran kafur pada masa itu, namun beberapa ilmuan dan ahli kedokteran muslim, telah mencatat bagaimana teknik pencampuran bahan-bahan tersebut.
Salah satu ilmuan tersebut adalah Al-Kindi dalam bukunya Kitab fi kimya al-itr waal-tasidat. Diterangkan dalam kitab itu, bahwa kafur biasanya dicampur dengan sembilan bahan lain, diataranya: tepung beras, silikat tembaga yang murni, kemenyan, tepung marmar, garam amoniak, biji kurma dan lain sebagainya. Untuk tahap pencampurannya, dijelaskan sebagai berikut:
“Kulit luar biji-biji kurma yang lunak dikerok dengan sekeping kaca, hasilnya diremas hingga menjadi seperti mentega. Bahan ini lalu ditambah kafur dalam proporsi yang sama. Campuran ini kemudian diremas dengan ditambah air kafur yang bermutu baik sebelum ditaruh diatas sekeping kaca. Ketika lepas, campuran ini dipecah menjadi potongan-potongan sebesar potongan kafur.”
Masih dalam kitab yang sama, Al Kindi kemudian menjelaskan, bagaimana memanfaatkan kafur yang umumnya telah tercampur dengan berbagai bahan lain. Sehingga sebelum digunakan, gumpalan kafur perlu dilakukan penyulingan dengan teknik yang umum digunakan oleh orang-orang Basrah. Adapun cara penyulingan oleh Al-Kindi dilakukan dengan cara dibawah ini:
“Beberapa potongan kafur bermutu yang disebut riyahi ditumbuk halus dan ditaruh dalam sebuah wadah dari kaca yang dasarnya melengkung. Wadah ini kemudian ditutupi tanah liat dan ditaruh diatas sebatang pipa sepanjang tiga jengkal dari tanah liat. Tepian wadah dan tepian pipanya terlihat seperti pada gambar. Kemudian tepung kafur seberat antara tiga sampai lima mitqal ditaruh didalam wadah ini, kemudian ditutupi dengan dasar botol cekung dan cekungan ini berada dibawah didalam gambar. Tepian dasar botol dan bibir wadahnya disesuaikan dan api homogen dinyalakan dibawahnya. Kafur akan menguap dan melekat pada dasar botol seperti segumpal gula putih dan sisanya tinggal pada dasar tempat kaca.”