Kawasan kepulauan Indonesia telah eksis dalam sejarah pelayaran dan perniagaan maritim dunia. Para sejarawan dan arkeolog menyimpulkan kawasan kepulauan ini memiliki peran strategis dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim global di masa lampau, jauh sebelum berlangsungnya kolonialisme Eropa abad ke-15 M.
Sejak abad ke-7 M, bahkan awal masehi berdasarkan pendapat sejumlah sejarawan dan arkeolog, kawasan kepulauan Indonesia tampil menjadi kawasan jalur persinggahan kapal-kapal dagang dunia. Posisi strategis dengan keberadaan Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan kepulauan Indonesia memainkan peran sebagai penghubung antara dunia Islam (Timur Tengah), India (Asia Selatan), dan Cina (Asia Timur).
Tak aneh jika bangsa Indonesia dinilai sebagai bangsa maritim. Kawasan kepulauan Indonesia menyimpan sejumlah besar kekayaan sejarah maritim yang terpendam. Kultur maritim ini bahkan masih terus diwariskan dalam kultur masyarakat Indonesia di kawasan-kawasan pesisir.
Fakta ini juga tak dapat dibantah dengan tersebarnya situs-situs bukti aktivitas maritim masa lampau. Temuan artefaktual di sejumlah situs tersebut berhasil mengungkap bukan hanya bukti jejak aktivitas maritim, melainkan bukti jejak interaksi kawasan Kepulauan Indonesia dengan peradaban dunia.
Salah satu temuan jejak aktivitas maritim ini ialah kapal karam ‘Dhow’ Arab yang ditemukan di kawasan perairan Belitung. Kapal ini ditemukan lengkap dengan muatan kargo yang sebagian besar ialah kumpulan keramik Cina.
Michael Flecker dalam A Ninth-Century Arab or India Shipwreck in Indonesia First Evidence of Direct Trade with China menjelaskan kapal karam temuan Belitung ini mengandung tinggalan sejarah penting kaitannya dengan sejarah jaringan niaga global.
Flecker menuturkan, temuan kapal karam yang berasal dari Arab dengan sejumlah besar kargo keramik Cina jenis Changsa di Belitung merupakan bukti interaksi peradaban antara Arab dengan Cina melalui aktivitas pelayaran dan perniagaan.
Kapal karam bahkan kini telah direkonstruksi dan lebih dikenal dengan “Jewel of Muscat”. Nama ini diambil dari kawasan kota pelabuhan di Oman. Sedangkan muatan kargo telah diidentifikasi sebagai keramik Cina jenis Changsa dengan jumlah total 60.000 keping.
Sebagian besar keramik ini berbentuk mangkuk dan hanya beberapa saja yang berbentuk guci alat penyimpanan besar. Berat setiap mangkuknya kira-kira 0,35 kg, yang jika dijumlahkan berat total muatan ini mencapai sekitar 25 ton.
Kesimpulan ini tidak dapat dipisahkan sama sekali dengan konteks historis masa itu. Pada abad pertengahan yang dimulai pada abad ke-7 M, pelayaran Islam yang berpusat di Teluk Persia (Baghdad, Bashrah, Siraf, dan Al-Ubullah) memainkan peran utama dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim dunia.
Kawasan perairan Samudera Hindia menjadi layaknya danau Islam. Sebagaimana Andre Wink dalam Al-Hind The Making of Indo-Islamic World Early Medieval India and The Expansion of Islam 7-11th Century, menyebut kawasan Samudera Hindia sebagai “Arab Mediterranean”.
Hal ini senada dengan apa yang diuraikan John W. Chaffee dalam The Muslim Merchants of Premodern China The History of a Maritime Asian Trade Diaspora 750-1400. Chaffe menjelaskan bahwa jaringan niaga global masa itu terhubung oleh koneksi antara Daulah Abbasiyah dengan Dinasti Tang.
Chaffee menambahkan pula bahwa hingga abad ke-11 M, Kapal ‘Dhow’ Arab merupakan kapal pertama yang mampu menyeberangi lautan jarak jauh. Yang berjarak lebih dari 6000 mil rute yang menghubungkan Bashrah dengan Guangzhou.
Temuan ini tentu bukan hanya berharga bagi Oman maupun Cina, melainkan juga bagi Indonesia itu sendiri. Hal ini disebabkan konteks lokasi penemuan artefak juga bagian penting bagi kesimpulan sejarah yang dihasilkan.
Konteks artefak yang ditemukan di kawasan perairan Belitung memberi bukti kuat peran strategis kawasan kepulauan Indonesia dalam pelayaran dan perniagaan maritim dunia. Hal ini merupakan fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia ialah bangsa maritim, di mana sejak abad ke-7 M Indonesia tampil menjadi jalur perlintasan kapal-kapal dagang Arab yang berlayar ke Cina melalui Samudra Hindia.
Polemik dibalik Temuan Artefak
Temuan artefak kapal dan ribuan kargo dagang Cina di kawasan perairan Belitung ternyata menyisakan sejumlah permasalahan. Indonesia yang semestinya memiliki kewenangan utama dalam upaya penyelamatan dan pelestarian, ternyata menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal ini disebabkan Indonesia tak mendapat sedikit pun koleksi temuan artefaknya.
Dampak dari permasalahan ini bukan hanya bersifat material semata, melainkan perihal kepentingan edukasi dan pengetahuan sejarah bagi masyarakat luas.
Indonesia harus rela kehilangan bukti-bukti sejarah beserta fakta bahwa kawasan kepulauannya memiliki peran strategis dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim dunia. Hal ini justru merupakan aspek paling penting, yang dapat berpengaruh pada pembentukan kesadaran dan identitas bangsa.
Namun kerugian ini bukan hanya kesalahan pihak luar, tetapi juga berasal dari pihak otoritas pemerintah Indonesia. Menurut informasi, proses penyelamatan dan pelestarian artefak bahkan hanya menguntungkan sebagian orang, yang tak lain ialah kalangan pemerintah Indonesia itu sendiri.
Terlebih, pada proses ekskavasi yang bersamaan dengan terjadinya krisis moneter tahun 1998, otoritas Indonesia sendiri yang melepas kewenangan penyelamatan dan pelestarian artefak. Pada saat itu pemerintah merasa tidak sanggup menanggung biaya konservasi dan berdalih bahwa temuan artefak bukan tinggalan sejarah yang berasal dari kebudayaan Indonesia.
Akhirnya keberadaan artefak temuan Belitung diambil alih oleh pihak luar. Kini benda-benda bersejarah itu kini dimiliki oleh Singapura, harganya ditaksir secara resmi oleh Museum Singapura menyentuh angka 40 juta US Dolar. Untuk mengelolanya, pihak otoritas Singapura membangun Museum yang dinamai Singapore Maritime Silk Route Museum.
Sedangkan pemerintah Indonesia dikabarkan hanya menerima 2,5 juta dolar atau sekitar 33 miliar rupiah. Angka tersebut tentu terbilang rugi, sebab saat ini nilai jual temuan artefaktual yang berjumlah kurang lebih 60.000 keping tersebut diperkirakan bisa mencapai angka lebih dari 1 triliun rupiah.
Setelah proses pengangkatan, artefak temuan Belitung dibawa ke Selaindia Baru untuk menjalani proses desalinasi, perbaikan, serta perawatan. Pemerintah Indonesia dinilai tidak memiliki fasilitas untuk hal itu. Namun setelah dilakukan desalinasi, perbaikan, dan perawatan di Selandia Baru, barang-barang tidak pernah kembali ke Indonesia, melainkan langsung dijual.
Proses penjualan artefak bersejarah ini disebut melibatkan pihak-pihak pemburu harta karun internasional seperti Tilman Walterfang, Hans-Michael Jebsen dan adik iparnya Matthias Draeger.
Ketiganya terlibat dalam intrik ini. Tilman Walterfang bersama Matthias Draeger merupakan pelaku teras, yang mengurus penjualan artefak dengan membentuk perusahaan bernama Seabed Exploration. Sedangkan Hans-Michael Jebsen berada di belakang layar sebagai penyokong dana.
Sejumlah informasi juga mengatakan adanya keterlibatan otoritas Indonesia dalam penjualan artefak ini. Jikalau benar, hal ini berarti turut mengungkap adanya keterlibatan pihak otoritas Indonesia sendiri melalui Departemen Pertahanan dan Keamanan, serta peran orang yang berada dalam lingkaran istana pada saat itu.
Dari dokumen yang muncul, terungkap adanya transfer yang dilakukan kepada pejabat Departemen Pertahanan. Selain itu sejumlah lembaga juga menerima cipratan uangnya, seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan beserta jajaran pejabat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, aparat kepolisian setempat, dan orang dalam lingkaran istana.