On-Site Museum merupakan salah satu konsep pengelolaan museum yang lahir dari ide pembaruan museum atau yang dikenal dengan paradigma New Museum dan Reinventing the Museum. Pergeseran paradigma ini muncul dan semakin menjadi arus utama sejak abad ke-20 hingga ke-21 ini.
Memasuki akhir abad ke-20 hingga abad ke-21, muncul kritik terhadap eksistensi museum. Kritik eksistensi museum mengarah pada peran dan makna museum sebagai institusi publik yang memiliki relasi dengan masyarakat luas.
Peran dan tujuan museum sebagai jembatan pengetahuan masyarakat dinilai perlu direfleksi sebab akses pengetahuan telah semakin mudah didapat. Museum diprediksi akan mengalami kemunduran ekosistem jika tidak mengalami satu refleksi bersama.
Senada dengan refleksi tersebut, cara kerja museum bahkan juga mengalami refleksi. Pada era ini museum didorong untuk juga dapat terbuka terhadap partisipasi masyarakat, dan berlangsung dengan mengedepankan dialog.
Eilean Hooper-Greenhill dalam bukunya Museum and the Shaping of Knowledge menuturkan, kegiatan pelestarian, pengumpulan, dan pengkajian tidak lagi diartikan sebagai aktivitas museum semata, tetapi juga dapat dilakukan oleh masyarakat dan museum berperan sebagai penyedia.
Museum juga didorong untuk tampil sebagai ruang terbuka bagi masyarakat, sehingga bukan hanya menyampaikan pengetahuan verbal maupun visual, melainkan juga memberi pengetahuan melalui pengalaman yang dialami langsung oleh pengunjung atau Masyarakat.
Neil Kotler dalam artikelnya New Ways of Experiencing Culture: The Role of the Museums and Marketing Implications menyebutkan, pengalaman langsung atau Experiencing Culture adalah ruang interaktif yang memberi kesempatan kepada pengunjung merasakan pengalaman langsung terhadap peristiwa atau kebudayaan masa lampau. Experiencing Culture dapat dilakukan dengan pengalaman partisipatif, penyediaan ruang dan akses sosial, serta pemanfaatan informasi digital.
Selain itu, pengelolaan museum juga didorong untuk semakin bersifat inklusif dengan melibatkan pemangku kepentingan yang terkait dengannya. Salah satu pemangku kepentingan yang menjadi perhatian adalah masyarakat dan komunitas.
Keterlibatan masyarakat dan komunitas teramat penting perannya bagi museum. Hal ini menjadikan museum dapat menggali lebih jauh pemaknaan masyarakat dan komunitas terhadap warisan budaya alih-alih hanya menjadikan interpretasi peneliti, ahli, atau akademisi sebagai otoritas tunggal terhadap pengetahuan tentang warisan budaya.
Keterlibatan masyarakat dan komunitas merupakan salah satu aspek penting yang ingin dicapai oleh on-site museum. Museum yang melekat dengan situs warisan budayanya, diharapkan membuka partisipasi masyarakat dan komunitas pewaris terlibat aktif, baik dalam memaknai warisan budayanya, mengelola institusi museum, serta merawat warisan budaya menjadi berkelanjutan.
Francesco Bandarin dalam artikelnya Culture: Key to the Sustainability of Cities menjelaskan keterlibatan sumber daya masyarakat setempat dalam pengelolaan warisan budaya dan museum merupakan aspek kunci dan perangkat utama baik dalam keberlanjutan warisan budaya atau museum tersebut, maupun keberlanjutan kehidupan masyarakatnya, dalam hal ini Bandarin berbicara tentang masyarakat kota.
Mereka bahkan juga dapat secara aktif terlibat mempromosikan keberagaman warisan budayanya. Seperti apa yang diungkapkan dalam UNESCO Global Report yang mendukung implementasi New Urban Agenda dalam rangka kehidupan masyarakat kota yang berkelanutan.
Selain itu, on-site museum dikenal pula sebagai model pengelolaan museum yang menggunakan metode rekonstruktif dalam menyajikan koleksinya. Metode ini memungkinkan tampilan tata pamer yang kasual dan interaktif terhadap pengunjung.
Sandra M. Safernich dalam On-site Museums, Open-air Museums, Museum Villages and Living History Museums: Reconstructions and Period Rooms in the United States and the United Kingdom mengungkapkan, selain dalam on-site museum, metode rekonstruktif juga diaplikasikan dalam apa yang disebut dengan open-air museum, museum villages, dan living history museum. Yaitu menyajikan sejarah dengan cara yang hidup tanpa mengorbankan integritas artefak.
Melampaui tampilan tradisional yang cenderung membatasi publik terhadap koleksi bahkan mengasingkannya, metode rekonstruktif melangsung komunikasi dua arah dengan menyajikan koleksi sesuai dengan lingkungan dan tampilan pada zamannya, sehingga pengunjung lebih mudah dalam memahami konteks sejarah dan kebudayaan suatu koleksi.
Metode rekonstruktif juga lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pengunjung yang beragam. Tujuan museum kini bukan hanya menyampaikan pengetahuan satu arah dengan teknik verbal saja, melainkan menghibur dan mengedukasi. Aspek hiburan memudahkan pengunjung dalam memahami koleksi sekaligus mengesankan komunikasi dua arah, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru.
Museum Fansuri Situs Bongal
Sultanate Institute mempresentasikan hasil kajiannya berdasarkan pengelolaan museum Fansuri Situs Bongal dalam International Forum on Spice Route (IFSR) tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Negeri Rempah Foundation dan Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Dalam forum tersebut Sultanate Institute mendiskusikan upaya perlindungan dan perawatan warisan budaya di Situs Bongal melalui Museum Fansuri.
Presentasi berjudul “Museum Fansuri at Bongal Site: Spice Road’s Preservation in West Coast of Sumatra” memberi wawasan baru melalui dialog dengan para ahli, peneliti, maupun akademisi yang turut hadir. Hal ini menjadi motivasi bagi Sultanate Institute untuk terus berinisiatif melaksanakan kerja-kerja penelitian dan pelestarian warisan budaya.
Museum Fansuri Situs Bongal adalah merupakan museum yang didirikan di Desa Jago-Jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Museum Fansuri didirikan dengan bentuk on-site museum untuk merawat dan mengelola benda-benda bersejarah yang didapat dari hasil penelitian (ekskavasi) di Situs Bongal.
Pendirian museum di lokasi situs juga bertujuan untuk melibatkan masyarakat setempat dalam perawatan dan pengelolaan warisan budaya Situs Bongal, serta mendekatkan warisan budaya masa lampau dengan masyarakat pewarisnya.
Nama Fansuri diambil dari penyebutan teks-teks sejarah pelayaran Arab-Persia abad 9-13 M tentang Asia Tenggara. Berdasarkan catatan geografi dan navigasi Arab-Persia abad tersebut Fansuri merupakan nama sebuah lokasi singgah atau tujuan pelayaran yang terletak di pesisir barat Sumatra, yang menjadi bagian dari rute pelayaran dan perniagaan maritim masa lampau.
Letak geografis tersebut diidentifikasi dari penyebutan Fansuri yang berlokasi di Pulau Ramni (Sumatra), dekat dengan Pulau Niyan (Nias saat ini) yang berjarak sekitar 100 farsakh. Selain itu, Fansuri juga disebut berkaitan dengan lokasi penghasil komoditas kapur terbaik (Dryobalanops Aromatica).
Para pelayar muslim yang memulai perjalanannya dari Teluk Persia berlayar memanfaatkan arah pergerakan angin monsoon melalui perairan Samudra Hindia untuk mencapai Asia Tenggara hingga Asia Timur. Posisi Situs Bongal beserta data arkeologi yang ditemukan menunjukkan indikasi kuat bahwa Situs Bongal merupakan lokasi yang ditunjuk oleh teks-teks historis tersebut sebagai Fansuri.
Museum Fansuri didirikan berdasarkan rekomendasi dari sejumlah pemangku kepentingan yaitu Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah melalui Dinas Pendidikan, masyarakat Desa Jago-Jago, para peneliti dan arkeolog.
Museum ini didirikan atas dasar pentingnya temuan artefaktual Situs Bongal, yang menunjukkan nilai penting situs ini sebagai kawasan rute maritim yang berkaitan erat dengan aktivitas perdagangan dan pertautan antar wilayah. Maka diperlukan upaya pelestarian berkelanjutan yang diwujudkan dalam bentuk pendirian Museum Fansuri Situs Bongal.
Pendirian museum Fansuri Situs Bongal dengan konsep on-site museum adalah bentuk upaya pelestarian sekaligus sebagai sarana edukasi bagi masyarakat luas, utamanya masyarakat lokal. Museum Fansuri yang didirikan dengan konsep on-site museum merupakan langkah strategis dalam rangka upaya pelestarian berkelanjutan di Situs Bongal. Dengan konsep on site museum, identifikasi artefaktual koleksi museum menjadi bank data yang sangat kaya untuk menguak aspek-aspek interaksi yang telah terbentuk.