Pulau Sumatra merupakan gerbang pintu masuk bagi arus lalu lintas pelayaran dan perdagangan maritim ke Kepulauan Nusantara atau yang seringkali dikenal sebagai ‘Lands Below the Wind’ dalam sumber-sumber sejarah kolonial dan ‘Bilad Al-Jawi´ dalam sumber literatur Arab.
Pulau Sumatra memiliki posisi yang strategis berdasarkan letak geografisnya dengan keberadaan Selat Malaka dan Selat Sunda. Perairan kedua selat ini menghubungkan kawasan Samudra Hindia dengan Timur Jauh dan Samudra Pasifik.
Dengan posisi strategis ini, memungkinkan Pulau Sumatra tumbuh sebagai lokasi singgah para pelayar dan pedagang mancanegara. Seiring dengan interaksi global, komunitas masyarakat pesisir di Pulau Sumatra juga tumbuh dengan tradisi dan budaya Bahari. Pengaruh kebudayaan yang dibawa oleh para pelayar terhubung dengan pengetahuan lokal sehingga menghasilkan bentuk-bentuk kosmopolitanisme.
Salah satu pengaruh yang intens seiring dengan pertumbuhan kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir Pulau Sumatra ialah aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim yang dilakukan oleh para pelaut muslim dari kawasan Dunia Islam di Teluk Persia.
Para pelaut muslim yang tak lain juga ilmuwan geografi dan kertografi masyhur abad pertengahan mengarungi Samudra Hindia hingga sampai di kawasan-kawasan pesisir Pulau Sumatra. Arus migrasi yang disertai pertukaran barang tersebut berlangsung seiring dengan lama perjalanan berdasarkan perubahan arah angin yang menggerakkan kapal-kapal mereka.
Dalam proses interaksi budaya inilah tumbuh kota-kota pelabuhan dengan corak kosmopolit di sepanjang kawasan pesisir Pulau Sumatra. Bukti-bukti keberadaan sejumlah kota pelabuhan masa lampau tersebut merupakan kekayaan warisan budaya dan identitas sejarah yang melekat dengan masyarakat Nusantara.
Salah satu bandar kota pelabuhan tersebut ialah Situs Bongal, di Desa Jago-Jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Situs Bongal merupakan situs cagar budaya di Teluk Tapian Nauli (Tapanuli) pesisir barat Sumatra, yang mengungkap keberadaan kota pelabuhan masa lampau berdasarkan temuannya yang berasal dari Asia Barat (Dunia Islam), Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur.
Situs Bongal juga berkaitan erat dengan historiografi Islam di Indonesia, yang menunjukkan bukti interaksi tertua Nusantara dengan Peradaban Islam sejak abad ke-7 M. Kajian inilah yang dijelaskan oleh Sultanate Institute dalam presentasinya di International Forum on Spice Route (IFSR) 2022 dengan judul “Early Contacs of the Islamic World in the West Coast of Sumatra 7-10th Century: Case Study of Artifact Findings at the Bongal Site”.
Selain bukti-bukti arkeologis yang dapat kita temukan, terdapat pula sumber-sumber dokumen historis yang menyebutkan keberadaan kota-kota pelabuhan yang eksis di sepanjang pesisir Pulau Sumatra. Sumber-sumber tersebut dapat kita temukan dalam catatan perjalanan dan keterangan geografi para pelayar Arab abad 9-15 M.
Tibbets menjelaskan bahwa sumber-sumber dokumen historis catatan pelayaran Arab merupakan dokumen berharga untuk memahami rute maritim Samudra Hindia abad pertengahan. Catatan pelayaran Arab tersebut mengisi kekosongan dalam narasi sejarah seperti catatan perjalanan dan karya-karya navigasi merupakan sumber primer.
Pelayaran Islam adalah salah satu peradaban yang menaruh dampak penting di kawasan ini selama abad pertengahan. Sejak awal kemunculannya pada abad ke-7 M para pelayar muslim dari Arab dan Teluk Persia memainkan peran penting dalam pelayaran Samudera Hindia.
Andre Wink memberikan uraian tentang Samudera Hindia dalam konteks periodisasi. Uraian ini hendak memeriksa peranan utama Islam di Samudera Hindia sepanjang abad pertengahan. Dominasi para pelayar Islam dari Arab dan Teluk Persia diakui mendorong capaian perkembangan aktivitas maritim dunia.
Para pelayar muslim mampu membentuk jaringan rute perlayaran terjauh saat itu, yang menghubungkan antara Teluk Persia dengan Cina. Melalui capaian ini, secara beriringan Islam tersebar berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan lain di kawasan Samudera Hindia.
Wink menunjuk bentuk-bentuk peradaban masyarakat hasil pengaruh Islam di kawasan ini dengan Indo-Islamic World. Ia bahkan menjuluki kawasan Samudera Hindia masa abad pertengahan sebagai Arab Mediterranean, untuk menunjukkan kekuatan pengaruh Islam di kawasan perairan ini.
Para pelayar muslim datang dari pusat-pusat pelayaran di Teluk Persia, Oman, Yaman, Hadramaut, atau Pesisir Arab Selatan secara umum. Mereka berlayar menyusuri lautan di sepanjang pesisir India. Dari sana para pelayar muslim melanjutkan perjalanan melalui Selat Bengal hingga mencapai Kanton, Cina.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah lokasi pemukiman muslim di Malabar dan di sepanjang pesisir selatan India hingga Sri Lanka. Memasuki abad ke-10 M pemukiman muslim di India semakin meluas menjangkau kawasan pesisir utaranya seperti di Gujarat dan Konkan.
Hourani menyebut pelayaran yang berlangsung antara Teluk Persia dengan Cina selama abad pertengahan merupakan capaian rute pelayaran terjauh, sebelum kemunculan pelayaran Eropa abad ke-16 M.
Perkembangan wilayah Islam sejak awal kemunculannya berhasil mengambil alih lokasi-lokasi strategis yang sebelumnya dikuasai oleh Sassaniyah Persia. Sejumlah lokasi strategis di Teluk Persia tersebut berhasil mendorong laju ekonomi, hingga mampu membentuk jaringan niaga yang terhubung hingga ke Cina.
Berdasarkan sumber dokumen historis catatan pelayaran Arab abad 9-15 M, setidaknya terdapat 16 bandar pelabuhan di Sumatra. Di antaranya Fansur, Balus, Kalah, Lamuri, Sarirah, Pedir, Syumathra, Medan, Aru, Rokan, Indragiri, Palembang, Singkel, Pariaman, Minangkabau dan Indrapura.
Kota-kota pelabuhan dalam rute pelayaran dan perdagangan maritim di Sumatra berdasarkan catatan pelayaran Arab ini dipresentasikan pula oleh Sultanate Institute dalam IFSR 2022 dengan judul “Sumatra’s Port Cities in World Maritime Trades According to Arabic Literature 9-15th Century”.
International Forum on Spice Route (IFSR) merupakan pertemuan ilmiah para akademisi dan peneliti dalam mendiskusikan hasil penelitiannya tentang Sejarah Jalur Rempah yang diselenggarakan oleh Negeri Rempah Foundation dan Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).