Historiografi maritim Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konteks regionalnya yaitu kawasan Asia Tenggara. Dalam lingkup spasial jejak-jejak historis dunia bahari masyarakat Kepulauan ini bahkan dapat dibatasi dalam skala regional saja, melainkan juga dalam skala global. Ruang maritim Indonesia telah lama menjadi lalu lintas pertukaran dagang yang terbuka, sebelum batas-batas pembentukan negara kolonial hingga era nation-state berlangsung.
Jejak tradisi bahari Kepulauan Nusantara atau Asia Tenggara berlangsung setidaknya sejak batas-batas terawal masehi. Perkembangan tradisi bahari ini ditunjukkan bukan hanya karena pengaruh tunggal pusat-pusat otoritas politik besar yang eksis, melainkan juga karena kemampuan masyarakat dalam menguasai pengetahuan dan teknologi kemaritiman. Meskipun eksistensi otoritas politik atau kerajaan-kerajaan besar turut berpengaruh membentuk jaringan perdagangan global.
Pola-pola perdagangan tumbuh antara masyarakat pedalaman dengan kelompok masyarakat yang terpusat menghuni daerah delta yang luas di muara Sungai dan mengarah ke laut. Dengan menempati wilayah pesisir tersebut, kemudian terjalin pertukaran dagang dengan para pedagang asing. Anthony Reid mengatakan Asia Tenggara selalu terbuka bagi perdagangan antar Samudra dan bagi para petualang. Maka tak aneh Asia Tenggara disebut sebagai suatu kawasan yang sangat menguntungkan bagi kegiatan pelayaran.
Perkembangan aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim masyarakat Nusantara atau Asia Tenggara kemudian dipertemukan dengan pertumbuhan pesat hubungan pelayaran antara kawasan perairan Samudra Hindia dengan Asia Timur (Cina). Pertemuan ini menciptakan ledakan pertukaran dagang yang menghubungkan dunia barat dan timur. Posisi geografi yang strategis kawasan Kepulauan Nusantara atau Asia Tenggara merupakan konsekuensi dari peran penting masyarakat di kepulauan ini dalam interaksi global yang cair.
Kenneth R. Hall yang melakukan pemetaan pertukaran maritim Asia Tenggara dalam lima zona komersial. Zona pertama komersial Asia Tenggara meliputi bagian utara Semenanjung Malaya dan bagian Selatan Vietnam yang berlangsung hingga milenium terakhir sebelum masehi. Zona komersial kedua ialah wilayah laut Jawa yang berlangsung selama abad ke-2 hingga abad ke-3 M. Kemudian zona komersial ketiga berlangsung di kawasan Selat Malaka dengan Sumatra bagian Tenggara sebagai titik pusat perdagangan sejak awal abad ke-5 hingga abad ke-11 ditandai dengan berdirinya otoritas Sriwijaya. Zona komersial keempat terbentuk di Laut Jawa selama abad ke-11 hingga ke-12 M melibatkan para pelaut Cina di Utara berlayar melalui Laut Sulu. Kawasan Teluk Benggala baru dikatakan sebagai zona komersial kelima Asia Tenggara pasca masa Sriwijaya.
Dalam sumber-sumber historis dapat kita temukan beragam sebutan tentang kawasan Asia Tenggara oleh para pelayar mancanegara. Bangsa Cina memandang Asia Tenggara sebagai “Laut Selatan” (Nanyang). Sedangkan orang India, Arab, Persia, dan Melayu menamakan kawasan Asia Tenggara sebagai “Tanah di Bawah Angin” karena angin musimlah yang membawa perahu-perahu layar melintasi Lautan Hindia.
Antara Pesisir Timur dan Pesisir Barat Pulau Sumatra
Narasi besar historiografi Indonesia ataupun juga Asia Tenggara mengenal lalu lintas pesisir timur Sumatra sebagai jalur tunggal nan ramai aktivitas pelayaran dan perdagangan. Anthony Reid menyebut ramainya aktivitas tersebut dengan age of commerce, yaitu masa yang berlangsung pada 1450-1680. Pada masa ini pesisir timur Sumatra dikenal sebagai lintasan sibuk kapal-kapal dagang dengan kompleksitas kepadatan aktivitas niaga.
Ruang maritim ini dikenang sebagai rute pelayaran tersibuk, yang menyediakan lokasi-lokasi pelabuhan singgah strategis, yang bukan hanya diwujudkan dalam kegiatan niaga, melainkan juga bentuk-bentuk hasil interaksi kebudayaan yaitu penyebaran agama, pertukaran ide, gagasan, pengetahuan, dan teknologi antar bangsa baik Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur.
Kurun niaga pada abad ke-15 hingga ke-17 adalah periode ramai jaringan pelayaran. Kota-kota maritim saling berhubungan dalam volume yang dominan pada periode ini dibandingkan pada periode sebelum maupun sesudahnya. Selama beberapa waktu pusat niaga pantai atau entreport yang terpenting yaitu Sriwijaya kemudian bergeser digantikan oleh Pasai, Melaka, Johor, Patani, Aceh, dan Brunei.
Namun pada kenyataannya kurun niaga Asia Tenggara termasuk Indonesia di dalamnya, tidak hanya terbatas seperti yang digambarkan Reid. Geoff Wade dalam kajiannya menelaah kembali tesis Reid mengenai Age of Commerce, bahwa empat abad lebih awal dari konstruksi Reid, ledakan aktivitas perniagaan maritim dan pertukaran barang telah berlangsung di Asia Tenggara.
Wade menyebutnya sebagai An Early Age of Commerce, sebagai era pesatnya pertukaran dagang beserta perubahan-perubahan politik, sosial, dan ekonomi yang menyertainya berlangsung selama tahun 900-1300. Peningkatan volume lalu lintas pertukaran di Kawasan Asia Tenggara selama masa ini merupakan buah dari jaringan niaga yang terhubung antara perdagangan Samudra Hindia dan Cina.
Namun historiografi maritim Indonesia maupun Asia Tenggara selama ini cenderung mengesampingkan keberadaan pesisir barat Sumatra. Bentuk-bentuk nyata dari historiografi ini dapat diamati dari konstruksi yang diajukan oleh Reid, Wade, atau rangkuman historiografi Sumatra yang dibahas oleh Gusti Asnan dalam buku Sumatera Silang Budaya Kontestasi Nilai-Nilai Historis, Arkeologis, dan Antropologis serta Upaya Pelestarian Cagar Budaya. Kritik kemudian muncul dari Bambang Purwanto, tentang bagaimana historiografi Indonesia mengeksklusi ruang maritim sisi barat Sumatra secara konseptual.
Eksklusi ini ditandai oleh asumsi yang menempatkan masyarakat pesisir barat Sumatra sebagai terbelakang, rendah, dan mewakili kekalahan multidimensi. Sementara wacana besar politik sejarah secara konseptual menghendaki kesejarahan Indonesia yang modern, beradab, dan global. Ruang historis dan jejak kepurbakalaan masyarakat pesisir barat Sumatra secara konseptual cenderung dipandang sebagai tradisi masyarakat prasejarah yang sederhana dan jauh dari kategori masyarakat kompleks, beradab, dan modern. Kerangka pikir ini merefleksikan kenyataan narasi besar historiografi Indonesia yang masih bertumpu pada tradisi besar orientalistik.
Penemuan data-data arkeologis mutakhir di Situs Bongal, Desa Jago-Jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, merupakan penanda penting bagi kebaruan historiografi Indonesia khususnya pesisir barat Sumatra. Jejak arkeologis yang terungkap merefleksikan konstruksi historis ruang maritim global pesisir barat Sumatra dalam kurun waktu sezaman sebagaimana eksistensi Kerajaan Sriwijaya di pesisir timur yang menjadi pusat pertukaran dagang sejak abad ke-7 M.
Keberadaan Situs Bongal juga membuka ruang penelitian bersama yang mencakup multidisiplin ilmu, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar kawasan pesisir barat Sumatra. Khususnya dalam kerangka historiografi maritim seputar aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim.
Jika narasi besar konstruksi historis ruang maritim global selama ini terfokus di kawasan pesisir timur Sumatra, maka kini Situs Bongal dapat menjawab keresahan historiografis. Situs Bongal membuka kemungkinan dan perspektif baru mengenai dunia bahari masyarakat pesisir barat Sumatra dan keterlibatannya dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim baik dalam lingkup lokal, regional, maupun global.
Tak hanya Bongal, keberadaan Barus juga memberi sumbangan penting bagi historiografi pesisir barat Sumatra. Berjarak sekitar 60-70 km, Barus telah lebih dulu ditemukan dengan sejumlah lokasi situsnya yaitu Situs Lobu Tua, Situs Bukit Hasang, serta sejumlah komplek pemakaman Islam. Penelitian arkeologi di Barus mengungkap keberadaan tinggalan masa lalu yang menunjukkan aktivitas sehari-hari yang kompleks, pertemuan barang-barang dari Timur Tengah dan Cina dalam satu konteks. Analisis pertanggalan rentang okupasi Barus menunjukkan bahwa Barus aktif pada abad ke-9 hingga ke-17 M.
Kedua situs yang terletak di pesisir barat Sumatra Utara ini sangat penting untuk ditinjau secara memadai dalam konteks historiografi maritim Indonesia maupun Asia Tenggara. Melalui sumber-sumber historis yang berkesesuaian dengan data-data arkeologis yang ditemukan, bukan tidak mungkin sejak awal abad pertengahan pesisir barat Sumatra telah memiliki koneksi yang erat dengan perairan terbuka Samudra Hindia. Pesisir barat Sumatra justru menyimpan dimensi global yang kuat karena telah lama menjadi jejaring pelayaran dan pertukaran dagang Samudra Hindia.
Kenyataan ini memberikan sumbangan penting baik secara termatik maupun konseptual bagi konstruksi dunia bahari Indonesia. Bagaimana mencermati pesisir barat Sumatra dalam kerangka dunia bahari yang tidak dibatasi oleh batas-batas tegas pemisahan wilayah niaga di Asia Tenggara akibat pengaruh kolonialisme dan imperialisme, ataupun batas-batas tegas yang tercipta akibat pembentuk nation-state seperti yang diuraikan oleh Susanto Zuhdi dan Sebastian Conrad.
Situs Bongal dan Barus representatif untuk menggambarkan keadaan dunia bahari yang cair tanpa dibatasi oleh batas-batas pemisahan wilayah seperti yang terjadi sekarang ini. Sebuah ruang maritim sisi barat Sumatra yang cair dalam interkoneksi ruang global pada awal abad pertengahan. Gambaran dunia bahari Indonesia maupun Asia Tenggara dalam jaringan skala global yang mempertemukan belahan bumi timur dan barat sehingga membentuk simpul-simpul pertemuan kebudayaan.
Situs Bongal dan Barus sebagai ruang maritim global pesisir barat Sumatra dan hubungannya dengan sejarah pelayaran global Samudra Hindia merupakan bentuk nyata dari diaspora perdagangan dan hubungan trans-oceanic. Sebastian R. Prange menegaskan inti dari koneksi ini adalah jaringan pertukaran dagang, yang kemudian membawa serta bentuk-bentuk lain dari interaksi.
Pertukaran global selama abad pertengahan merupakan bentuk koneksi yang cair dan terbuka dengan proses integrasi sosial-budaya yang kompleks. Abdul Sheriff menyebut “None of the major states in the continental heartlands around the Indian Ocean played an important and direct role in maritime affairs.” Oleh karena akses terbuka itulah komunitas-komunitas masyarakat pesisir dan negara-negara pelabuhan tumbuh.