Samudra Hindia sebagai satu kawasan geografis menyimpan makna historis mendalam bagi masyarakat dunia. Lautan ini bagai kumpulan arsip yang melimpah yang menghantarkan kita memahami sejarah dunia.
Sebagai suatu kawasan yang bermakna historis, Samudra Hindia merupakan perairan yang hidup dengan pertukaran budaya yang kompleks. Terdapat pertukaran pengetahuan hingga perdagangan yang membentuk pertukaran budaya yang kompleks tersebut.
Namun sejarah dan warisan kebudayaan Samudra Hindia seringkali minim perhatian dan kajian akademik. Edward Alpers (2014) dalam karyanya The Indian Ocean in World History menegaskan bahwa selama bertahun-tahun Samudra Hindia merupakan lautan yang paling sedikit dipelajari di antara sistem samudra-samudra besar di dunia.
Selama berabad-abad Samudra Hindia menjadi lintasan vital bagi pertukaran yang menghubungkan Afrika Timur, Dunia Islam (Timur Tengah/Asia Barat), Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur, bahkan hingga Laut Mediterania.
Mediterania dan Samudra Hindia telah saling terhubung sebagai zona maritim terpadu sejak zaman kuno hingga saat ini melalui Laut Merah.
Perubahan besar terjadi di Samudra Hindia ketika kehadiran Islam memberi dampak peradaban yang luas. Abad ke-7 M menjadi tonggak pertukaran global yang semakin masif ditopang oleh diaspora muslim dalam berdakwah yang membawa serta aktivitas perdagangan di kota-kota pelabuhan pesisir di sepanjang Samudra Hindia.
Kehadiran Islam memfasilitasi perdagangan antarwilayah dan antarbenua, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Mediterania. Perkembangan utama diawali dengan pembukaan rute perdagangan di Ayla (Aqaba modern) pada masa Nabi Muhammad dan pembukaan kembali terusan Qulzum di bawah Khalifah Umar ibn al-Khattab, di samping infrastruktur pelabuhan di bawah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah sangat meningkatkan jaringan ini.
Hal ini terus berlangsung selama periode abad pertengahan. Para pelaut di antaranya nahkoda, ahli geografi-kartografi, dan pedagang dari Dunia Islam memegang peran utama dalam arus dan rute pelayaran dan perdagangan Samudra Hindia.
Melalui aktivitas dan konektivitas inilah berlangsung suatu proses pembentukan masyarakat dengan apa yang disebut dengan kosmopolitan. Abdul Sheriff (2010) mengaitkan Samudra Hindia dengan kosmopolitanisme, perdagangan, dan Islam.
Dalam karyanya berjudul Dhow Cultures of the Indian Ocean Cosmopolitanism, Commerce, and Islam, Abdul Sheriff (2010) menjelaskan, pertukaran global di Samudra Hindia, yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Cina, merupakan hubungan yang cair dan terbuka yang memfasilitasi proses integrasi sosial-budaya yang kompleks. Berkat akses terbuka ini, masyarakat pesisir dan negara-negara pelabuhan telah berkembang pesat.
Teluk Persia menjadi pusat perdagangan maritim penting. Kawasan ini ditopang oleh kota-kota pelabuhan bersejarah di antaranya Al-Ubullah, Bashrah, Siraf, hingga Muscat/Oman. Dari kota-kota pelabuhan inilah kapal diberangkatkan dan mencapai rute terjauhnya di Cina.
Hourani (1975) dalam karyanya Arab Seafaring in Ancient and Early Medieval Times memberikan catatan rinci tentang rute pelayaran para pedagang dan pelaut, yang menyoroti ketergantungan mereka pada angin muson untuk navigasi. Rute pelayaran dimulai dari Teluk Persia dan meluas ke pantai tenggara Tiongkok.
John W. Chaffee (2018) juga menguatkan dalam karyanya The Muslim Merchants of Premodern China The History of a Maritime Asian Trade Diaspora 750-1400, bahwa antara abad ke-8 dan ke-14 M, pelabuhan-pelabuhan seperti Guangzhou, Quanzhou, Mingzhou, dan kota-kota lain di sepanjang pesisir tenggara Tiongkok menyaksikan munculnya permukiman-permukiman Muslim yang signifikan dan aktivitas perdagangan yang semarak.
Wink (1996) dalam karyanya Al-Hind The Making of The Indo-Islamic World Early Medieval India and The Expansion of Islam menggambarkan Samudra Hindia bagaikan “Mediterania Arab”. Sedangkan Alpers (2014) sebagai “Laut Islam”, dan Hourani (1975) sebagai “laut perdamaian”.
Selain itu, Syauqi Abdul Qowi Utsman (1990) juga menyebut Samudra Hindia sebagai “Danau Arab”, menggarisbawahi peran pentingnya dalam navigasi dan perdagangan Arab. Syauqi Abdul Qowi Utsman menekankan bahwa penyebaran Islam dan pengaruh politik Arab dari abad ke-7 Masehi telah membentuk dominasi Arab atas perdagangan Samudra Hindia. Pengaruh ini tercermin dalam istilah navigasi yang sama, metode pembuatan kapal yang serupa, dan pertukaran bahasa di antara masyarakat pesisir di kawasan ini.
Penggunaan angin muson secara strategis oleh para pelaut muslim selama periode Abad Pertengahan secara signifikan meningkatkan navigasi dan dominasi maritim mereka di Samudra Hindia.
Dari abad ke-8 hingga abad ke-11 M, diaspora pedagang muslim memainkan peran penting dalam membangun kendali atas rute perdagangan global utama, mengubah Samudra Hindia menjadi pusat pertukaran budaya dan ekonomi yang dinamis. Periode ini telah dicirikan melalui berbagai metafora yang menggarisbawahi signifikansi Samudra Hindia dalam sejarah maritim global.
Hal inilah yang dipaparkan oleh Sultanate Institute dalam Indian Ocean World Archaeology Conference (IOW-Arch) di University of York, Desember 2024. Dalam konferensi ilmiah ini Sultanate Institute memaparkan laporan survei dan penelitian ekskavasi di Situs Bongal yang dilakukan sejak 2020-2023.
Sultanate Institute memaparkan presentasi berjudul “Islamic Monsoon: Globalization, Trade, and Industry in the Eastern Indian Ocean since the 7th Century AD” dan “Early Islamic Surgical-Medical Instruments on the West Coast of Sumatra, Indonesia”.