Sebagaimana diuraikan oleh Prange dalam Monsoon Islam Trade and Faith on the Medieval Malabar Coast, konsep “Monsoon Islam” memberikan kerangka kerja atau paradigma sejarah Islam yang berbeda, yang lebih menonjolkan kekuatan dan kemampuan maritim Islam.
“Monsoon Islam” memberikan pemahaman lintasan sejarah Islam selamat abad pertengahan yang membentangkan peran utama muslim dalam perdagangan di Samudra Hindia.
Pengetahuan maritim akan pola iklim dan perubahan arah angin bukan merupakan hubungan deterministik antara pola iklim muson dan kepercayaan agama, melainkan menunjukkan bahwa sistem angin muson sangat berperan sebagai elemen dasar yang memfasilitasi jejaring perdagangan dan kebudayaan yang terbentuk dan saling terhubung.
Melalui pemanfaatan sistem angin muson, sistem dan peradaban Islam dibawa melalui rute-rute persinggahan pelayaran. Pengaruh Islam ditransfer pada masyarakat pesisir yang disinggahi bersamaan dengan aktivitas pertukaran dagang.
“Monsoon Islam” dibentuk oleh perdagangan dan berlangsung dengan cair, keragaman budaya, serta kosmopolitanisme. Jaringan perdagangan juga memfasilitasi pertukaran lainnya, di antaranya teks, ide, dan migrasi orang, bersama dengan kepercayaan, adat istiadat, dan kerangka kerja sosial-politik.
“Monsoon Islam” mewujudkan interaksi antara cita-cita kosmopolitan global dan realitas lokal dari berbagai lokasi perdagangan. Komunitas diaspora Muslim membentuk lembaga-lembaga yang memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan agama untuk memastikan kesinambungan dan koherensi di dalam diaspora permukiman yang terbentuk.
Alih-alih penyebaran searah dari pola dasar agama yang tetap, penyebaran Islam dalam konteks ini melibatkan proses “penerjemahan” yang kreatif. Prinsip-prinsip Islam diadaptasi agar selaras dengan adat istiadat dan tradisi setempat melalui negosiasi dan akulturasi, yang mencerminkan sifat Islam yang adaptif.
Fenomena ini menggarisbawahi bagaimana “Monsoon Islam” berkembang sebagai perpaduan antara akomodasi budaya yang didorong oleh perdagangan dan sintesis praktik serta tradisi.
Dimensi global dari “Monsoon Islam” terlihat jelas dalam bagaimana komunitas Muslim membayangkan diri mereka sebagai bagian dari kosmopolis Islam yang lebih luas yang melampaui batas-batas teritorial.
Identitas bersama ini dikembangkan melalui bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan, sirkulasi lintas samudra para ulama dan sufi, investasi dalam pendidikan agama, dan reinterpretasi inovatif terhadap dar al-Islam.
Kemudahan bagi umat Islam untuk menjelajahi wilayah yang luas dan beragam budaya di Asia semakin memperkuat keterkaitan ini, menjadikan Samudra Hindia sebagai ruang mobilitas, kontak, dan kesadaran Islam yang dinamis.
Samudra Hindia sendiri telah terhubung dengan Laut Mediterania sebagai zona maritim terpadu sejak zaman kuno hingga saat ini. Sementara jaringan perdagangan Laut Merah telah ada sebelum Islam, namun konflik berkepanjangan antara Kekaisaran Sassaniyah Persia dan Romawi Bizantium mengganggu perdagangan maritim global di wilayah tersebut.
Munculnya Islam memfasilitasi perdagangan antarwilayah dan antarbenua, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Mediterania. Perkembangan utama dimulai dari pembukaan rute perdagangan di Ayla (Aqaba modern) pada masa Nabi Muhammad dan pembukaan kembali terusan Qulzum di bawah Khalifah Umar ibn al-Khattab, di samping pembangunan kembali pelabuhan di bawah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah yang sangat berpengaruh meningkatkan perdagangan maritim global di Samudra Hindia.
Angin muson juga membuka jejaring perdagangan Samudra Hindia, dibuktikan dengan keramik dinasti Tang yang ditemukan di seluruh wilayah, menandai pergeseran besar dalam perdagangan maritim sejak abad ke-7 M. Arus barang yang lancar dari Cina ke Andalusia selama periode ini menyoroti munculnya jaringan perdagangan lintas benua dan pondasi awal globalisasi.
Hubungan maritim di sepanjang Samudra Hindia merupakan wujud nyata dari diaspora perdagangan dan hubungan lintas samudra. Inti dari interkoneksi ini adalah jaringan pertukaran perdagangan, yang pada gilirannya mendorong berbagai bentuk interaksi lainnya. Proses interaksi ini juga melibatkan konvergensi dimensi global dan lokal dari waktu ke waktu, sebuah fenomena yang disebut oleh Prange sebagai “glocal”.