Situs Bongal menyimpan bukti-bukti penting eksistensi kawasan pesisir barat Sumatera. Sejumlah artefak ditemukan dalam jumlah melimpah dan jenis yang beragam. Kompleksitas temuan artefak bahkan belum ditemukan sebelumnya di kawasan lain di pesisir barat Sumatera.
Upaya penelitian Situs Bongal diakui menaruh kontribusi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Situs ini menambah khazanah pengetahuan mengenai pesisir barat Sumatera, sebagai kawasan penting lokasi singgah pelayaran internasional.
Jejak arkeologis Situs Bongal juga menunjukkan bahwa kawasan ini telah eksis sejak abad ke-7 M. Eksistensi ini menjadikan Situs Bongal sebagai bukti tertua jejak aktivitas maritim di pesisir barat Sumatera. Kompleksitas temuannya juga diakui memunculkan kebaruan dalam penulisan sejarah dan penelitian arkeologi di Sumatera, khususnya berkaitan dengan jejak aktivitas dan budaya maritim.
Bukti jejak aktivitas dan kebudayaan maritim Situs Bongal ditunjukkan dengan ditemukannya kayu kemudi kapal, fragmen kayu kapal, dan tali ijuk dengan beragam simpul. Sejumlah arkeolog menyimpulkan temuan kayu kapal ini merupakan temuan kayu kapal pertama sekaligus tertua di Pesisir Barat Sumatra.
Hal ini disampaikan oleh Agni Sesaria Mochtar saat mengunjungi Sultanate Institute dan Museum Abad Satu Hijriyah, Sabtu (26/03/2022) di Solo.
“Bongal temuan pertama fragmen kapal di Pantai Barat Sumatera, merupakan data yang sangat signifikan karena bisa menambah kekayaan data disini, dan temuan kapalnya sangat mungkin untuk menyusuri kawasan perairan pesisir Samudera Hindia”, terangnya.
Kesimpulan ini juga telah dimuat dalam artikel Majalah Kalpataru Vol. 30 No. 2 November 2021, yang ditulisnya bersama Stanov Purnawibowo.
Sebelumnya, penelitian arkeologi di Pesisir Barat Sumatra telah lebih dulu dilakukan di Barus, berjarak sekitar 70 km di sisi utara Situs Bongal. Temuan arkeologis Barus menunjukkan bukti eksistensi kawasan pesisir barat Sumatera 200 tahun lebih muda dibanding Situs Bongal, yaitu abad ke-9 M.
Disamping artefak yang ditemukan seperti keramik, kaca, dan sejumlah perkakas rumah tangga lainnya, namun temuan arkeologis Barus dinilai kurang lengkap. Hal ini disebabkan belum ditemukannya fragmen kayu kapal atau bangkai kapal sebagai bukti langsung jejak aktivitas maritim.
Dalam konteks pelayaran dan perdagangan, Situs Bongal justru signifikan menunjukkan jejak aktivitas maritim tersebut. Aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim di Situs Bongal bahkan menunjukkan aktivitas skala internasional, yang menampilkan interaksi pesisir barat Sumatera dengan Timur Tengah (dunia Islam), Asia Selatan, dan Asia Timur (Cina). Oleh karena itu, ekskavasi Situs Bongal inii dinilai dapat melengkapi temuan-temuan sebelumnya sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih tersisa di Barus.
Temuan artefak Situs Bongal juga memiliki usia pertanggalan yang lebih tua dari temuan artefak di Barus. Artefak Situs Bongal menampilkan usia pertanggalan yang berasal dari abad ke-7 M, 200 tahun lebih tua dari Barus. Usia pertanggalan ini memiliki kesamaan dengan temuan bangkai kapal di Punjulharjo, Rembang.
“Koleksi disini sangat penting, menambah pengetahuan kita khususnya temuan fragmen kapal untuk menambah pengetahuan kita tentang teknologi maritim. Dalam temuan koin Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga bermanfaat untuk kita pelajari dalam konteks perdagangan”, jelas Shinatria, dalam kesempatan yang sama dengan Agni pada Sabtu (26/03/2022) di Solo.
Terkait dengan temuan fragmen kayu kapal di situs-situs lain seperti di Jawa, misal di Cirebon dan Rembang, Agni menuturkan bahwa temuan di Situs Bongal memiliki ukuran yang lebih tebal. Sehingga dimungkinkan pula kapal-kapal di Situs Bongal berukuran lebih besar.
“Temuan fragmen kayu kapal disini termasuk yang paling tebal sejauh yang saya temukan, sepertinya ini memiliki ukuran yang lebih besar. Sedangkan ketebalan di situs lainnya cenderung memiliki ukuran ketebalan yang sama”, tutur Agni.
Hal ini sesuai jika melihat kondisi perairan di pesisir barat Sumatera yang langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Letak geografis ini menyebabkan kapal-kapal di pesisir barat Sumatera harus berhadapan dengan ombak yang lebih besar dan memiliki resiko yang lebih tinggi dibanding perairan di Pesisir Utara Jawa.