Pada permulaan periode futuhat, kota-kota Islam tumbuh dengan corak kota pertahanan. Kota-kota tersebut berfungsi sebagai pangkalan militer dan pusat administrasi bagi daerah-daerah yang baru dibebaskan. Corak pertumbuhan kota ini dalam Islam disebut Amshar, yang merupakan bentuk tunggal dari misr yang bermakna batas suatu wilayah atau batas patok tanah.
Amshar terbentuk dari gabungan keluarga dan kabilah Arab yang datang dan memutuskan untuk menetap di kota tersebut. Secara bertahap amshar akan membentuk masyarakat baru di bawah jaminan pemerintahan Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab terdapat tujuh wilayah amshar yang terdiri dari Madinah, Syam, Mesir, Jazirah, Bahrain, Bashrah, dan Kufah.
Bashrah Kota Amshar
Bashrah adalah salah satu amshar yang dibangun pada masa Umar bin Khattab oleh Utbah bin Ghazwan pada tahun 634 M. Utbah memimpin pasukan untuk melakukan upaya futuhat ke wilayah timur, wilayah kekuasaan Dinasti Sassaniyah Persia.
Pada awal pembentukannya, Bashrah dibangun dengan semi-permanen. Bangunan di kota ini dibangun menggunakan bahan baku non-permanen yang tumbuh di sekitarnya. Hal ini disebabkan posisi Bashrah yang pada dasarnya dibangun sebagai sebuah kawasan kamp militer, yang sewaktu-waktu diperlukan proses bongkar-pasang jika terdapat kondisi buruk atau perubahan strategi futuhat.
Dalam membangun Kota Bashrah, Utbah merancang kota dengan Masjid Jami’ sebagai pusatnya. Kemudian di sekitar Masjid Jami’, dibangun gedung-gedung pemerintahan beserta komplek hunian masyarakat. Pada setiap komplek hunian juga dibuat kawasan lapangan yang berfungsi sebagai tempat perawatan kuda-kuda perang dan lokasi pemakaman.
Selain itu dibangun pula akses jalan kota, yaitu jalan utama yang berukuran lebar 60 hasta, cabang-cabang jalan yang berukuran lebar 20 hasta, serta jalan-jalan kecil di antara komplek hunian berukuran lebar 7 hasta.
Dr. Sholeh Ahmad Ali dalam kitab At-tanzimat al-ijtima’iyah wal Iqtishodiyah fil bashrah fil qarn al awal alhijri menguraikan struktur masyarakat Bashrah pada awal pembangunannya ini. Bashrah pada abad 1 H/7 M ini dihuni oleh kalangan orang-orang Arab, budak, ‘ajam atau orang-orang Arab asing, dan kalangan pemerintahan.
Golongan orang-orang Arab ialah masyarakat Arab asli yang berasal dari Semenanjung Arab, Iraq, Bashrah, kawasan kota pelabuhan Al-Ubullah, para kerabat dan keluarga, serta orang-orang kampung pelosok. Sedangkan golongan ‘ajam ialah orang-orang non-Arab yang berasal dari luar kawasan Semenanjung Arab dan bukan berasal dari suku Arab. Orang-orang ‘ajam memiliki kedudukan yang sama dengan orang-orang Arab asli.
Bashrah kemudian mulai dibangun ulang sebagai kota permanen pada masa Abu Musa Al-Asy’ari. Masjid Jami’, gedung pemerintahan, dan komplek hunian dibangun ulang menggunakan bahan permanen. Bashrah juga kian tumbuh dengan pembangunan fasilitas umum kota seperti sistem irigasi dan pasar.
Kota Bashrah kian berkembangan pesat hingga masa Gubernur Ziyad Ibnu Abihi. Pada masa ini Bashrah menjadi kota penting dalam peradaban Islam. Bashrah menjadi tulang punggung perekonomian dan dijuluki sebagai Venesia Timur Tengah.
Bashrah yang terletak di tepi barat Syath al-Arab, yaitu sebuah aliran yang mempertemukan muara Sungai Eufrat dan Tigris, menjadi kawasan strategis aktivitas perdagangan. Letak geografis yang strategis ini menyebabkan Bashrah memiliki akses kanal yang menghubungkannya dengan pusat-pusat perdagangan di Teluk Persia..
Bashrah tumbuh menjadi kota pelabuhan penting dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim dunia. Bashrah berperan menyalurkan pasokan komoditas perdagangan ke Teluk Persia.
Selain sebagai kota pelabuhan dagang, sejak masa Daulah Umawiyah hingga Abbasiyah, Kota Bashrah juga berkembang sebagai pusat aktivitas intelektual Islam. Aktivitas tersebut hidup melalui kajian literatur dan tata Bahasa Arab yang mulanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mempelajari Al-Qur’an. Sedangkan aktivitas intelektual lainnya ditunjukkan oleh perkembangan historiografi Arab yang awalnya dimulai dengan kajian hadits.