Sejak abad ke-7 M, dan berlangsung dalam rentang abad pertengahan, para pelayar muslim menaruh sumbangan penting bagi pertumbuhan aktivitas pelayaran dan perdagangan dunia. Mereka adalah para pelaut handal dari dunia Islam yang berperan penting dalam proses dakwah Islam ke segala penjuru kawasan dunia.
Para nahkoda kapal merupakan orang-orang yang memiliki jasa besar dalam proses dakwah Islam. Mereka adalah para pelaut terlatih, yang menguasai ilmu pengetahuan kemaritiman dan kelautan dunia. Mereka mengarungi lautan samudra serta mengunjungi banyak pulau dan negeri, menaklukan tinggi ombak, serta melewati marabahaya laut yang sewaktu-waktu dapat mengancam nyawa.
Selain mengangkut kargo komoditas dagang untuk dipertukarkan, kapal-kapal para nahkoda juga membawa serta misi dakwah Islam ke negeri-negeri yang disinggahinya. Dengan menggunakan transportasi laut inilah, para da’i (penyebar dakwah Islam) turut serta mengarungi lautan, sehingga dakwah Islam menyebar melewati batas-batas daratan hingga mencapai titik terjauh.
Salah satu negeri yang menjadi kawasan singgah kapal-kapal pelayar muslim ialah kawasan yang mereka sebut sebagai “Negeri Emas”.
Sejumlah catatan pelayaran para geografer muslim seperti ‘Ajaib Al-Hind, Rihlah As-Sirafi, dan Muruj adz-Dzahab menyebut, bahwa “Negeri Emas” adalah negeri yang kaya akan sumber daya dan komoditas emas yang letaknya berada di antara kawasan Sarandib (Srilanka) dan Cina.
Berdasarkan keterangan catatan pelayaran para geografer muslim tersebut, negeri yang disebut dengan “Negeri Emas” ini menunjuk pada kawasan yang kini kita kenal sebagai Kepulauan Nusantara (Asia Tenggara), yang dalam literatur Arab dikenal pula dengan sebutan Bilad Al-Jawi.
Saking seringnya kapal-kapal mengunjungi kawasan “Negeri Emas”, para geografer memberi julukan kepada para nahkoda sebagai pelaut yang melekat dengan kawasan ini. Salah satunya ialah Buzurq bin Syahriar Al-Ramhurmuzi dalam kitabnya ‘Ajaib Al-Hind. Dalam kitabnya tersebut Buzurq banyak memuat kisah tentang nahkoda kapal yang disebut dengan “Nahkoda Negeri Emas”.
Buzurq dalam ‘Ajaib Al-Hind menjelaskan, setidaknya ada 4 nahkoda yang disebut sebagai “Nahkoda Negeri Emas”. Di antaranya adalah Nahkoda Muhammad bin Babsyad, Nahkoda Ismail bin Ibrahim bin Mirdas, Nahkoda Marduyah bin Zarabakht, dan Nahkoda Jaafar bin Rasyid.
Nahkoda Muhammad bin Babsyad memiliki nama lengkap Abu Abdilllah Muhammad bin Babsyad bin Hiram bin Hammuyah As-Sirafi. Ia memiliki peran yang sangat penting dalam aktivitas pelayaran Islam, terutama di antara para “Nahkoda Negeri Emas”.
Ialah seorang yang handal yang paling menguasai seluk-beluk ilmu pengetahuan maritim dan kelautan. Oleh sebab keahliannya tersebut, ia dikenal sebagai ketua para nahkoda yang berlayar ke “Negeri Emas”. Bahkan ia juga diberi gelar sebagai “pemuka segala pelayar”.
Nahkoda Islamil bin Ibrahim bin Mirdas, ia terkenal dengan nama Ismailuyah Khatan Asykanin. Ismailuyah sering dikisahkan oleh Buzurq sebagai nahkoda kapal yang handal dalam melewati marabahaya dan gangguan laut.
Ia merupakan nahkoda yang berpengalaman mengatasi ombak besar lautan samudra, menyelamatkan para penumpang kapal hingga sampai di tujuan.
Marduyah bin Zarabakht ialah juga nahkoda “Negeri Emas” yang banyak dikisahkan oleh Buzurq dalam catatan pelayaran ‘Ajaib Al-Hind. Ia banyak dikisahkan dengan kisah-kisah pengalaman pelayaran di Samudra Hindia. Selain sebagai nahkoda “Negeri Emas”, ia juga dikenal sebagai nahkoda yang sering berlayar ke negeri Cina.
Sedangkan Jaafar bin Rasyid sering dikenal dengan nama Ibn Laakis. Ia juga salah seorang nahkoda “Negeri Emas” yang disebut dalam catatan pelayaran Buzurq.
Kisah-kisah pelayaran “Nahkoda Negeri Emas” ini sangat penting sebagai sumber catatan sejarah bukti interaksi terawal Kepulauan Nusantara dengan dunia Islam. Melalui kisah-kisah mereka, kita dapat mengetahui bagaimana proses berlangsungnya dakwah Islam menyebar ke segala penjuru dunia.
Catatan perlayaran para pelaut muslim ini juga tak lain merupakan sumber sejarah yang sangat penting untuk melacak akar sejarah dakwah Islam di Kepulauan Nusantara. Dari sana, dakwah Islam kemudian berlangsung meluas ke banyak kawasan di Nusantara, menyerap di segenap kebudayaan masyarakat dan menjadi identitas yang mengakar kuat di tengah masyarakat Nusantara.