Sumatera sebelum kemunculan era kolonialisme, telah menjadi rute singgah pelayaran dan perdagangan dunia. Pulau ini merupakan gerbang pintu masuk ke kawasan Kepulauan Hindia Timur atau ‘Lands Below The Wind’ (berdasarkan sumber-sumber kolonial) atau juga ‘Bilad Al-Jawi’ (berdasarkan sumber literatur Arab). Posisinya yang strategis di antara Selat Malaka dan Selat Sunda menghubungkan kawasan Samudra Hindia dengan Timur Jauh dan kawasan Pasifik. Berdasarkan latar belakang geostrategis ini, Sumatera tampil menjadi salah satu kawasan tersibuk dalam aktivitas dagang dunia.
Aktivitas maritim yang berlangsung memacu kota-kota pelabuhan di Sumatra terkoneksi dengan jaringan perdagangan global. Kota-kota pelabuhan tumbuh menjadi kota-kota kosmopolit, di mana tidak hanya berlangsung aktivitas pertukaran dagang, melainkan juga menjadi tempat berlangsungnya interaksi budaya antar para pelayar mancanegara dan penduduk masyarakat setempat.
Sumatra ataupun Kepulauan Hindia Timur secara umum memang terbuka bagi perdagangan antar kawasan dan bagi para petualang. Sebab bukan hanya terdapat banyak rute yang dapat dilintasi, melainkan faktor angin di kawasan ini yang tidak begitu kencang. Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid I: Tanah dibawah Angin) menyebut, angin bahkan digunakan dalam aktivitas pelayaran dengan memanfaatkan pergerakan angin musim. Sehingga mendorong lautan di kawasan ini menjadi suatu tempat pertemuan dan lalu lintas yang ramai.
Pertumbuhan kota-kota pelabuhan di Sumatra tidak lepas dari aktivitas niaga Samudra Hindia. Sejak masa terawal kawasan perairan ini hidup dengan laju perkembangan budaya maritim. Pelayaran Islam adalah salah satu peradaban yang menaruh dampak penting di kawasan ini selama abad pertengahan. Sejak awal kemunculannya pada abad ke-7 M para pelayar muslim dari Arab dan Teluk Persia memainkan peran penting dalam pelayaran Samudra Hindia.
Andre Wink memberikan uraian tentang Samudra Hindia dalam konteks periodisasi. Uraian ini hendak memeriksa peranan utama Islam di Samudra Hindia sepanjang abad pertengahan. Dominasi para pelayar Islam dari Arab dan Teluk Persia diakui mendorong capaian perkembangan aktivitas maritim dunia. Di mana para pelayar muslim mampu membentuk jaringan rute perlayaran terjauh saat itu, yang menghubungkan antara Teluk Persia dengan Cina.
Melalui jaringan rute pelayaran ini, secara beriringan Islam tersebar berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan lain di kawasan Samudra Hindia. Wink menunjuk bentuk-bentuk peradaban masyarakat hasil pengaruh Islam di kawasan ini dengan Indo-Islamic World. Ia bahkan menjuluki kawasan Samudra Hindia masa abad pertengahan sebagai Arab Mediterranean, untuk menunjukkan kekuatan pengaruh Islam di kawasan perairan ini.
Jalur Pelayaran Samudra Hindia
Para pelayar muslim datang dari pusat-pusat pelayaran di Teluk Persia, Oman, Yaman, Hadramaut, atau Pesisir Arab Selatan. Mereka berlayar menyusuri lautan di sepanjang pesisir India. Dari sana para pelayar muslim melanjutkan perjalanan melalui Selat Bengal hingga mencapai Kanton, Cina. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah lokasi pemukiman muslim di Malabar dan di sepanjang pesisir selatan India hingga Sri Lanka. Memasuki abad ke-10 M pemukiman muslim di India semakin meluas menjangkau kawasan pesisir utaranya seperti di Gujarat dan Konkan.
Hourani menyebut pelayaran yang berlangsung antara Teluk Persia dengan Cina selama abad pertengahan merupakan capaian rute pelayaran terjauh, sebelum kemunculan pelayaran Eropa abad ke-16 M. Perkembangan wilayah Islam sejak awal kemunculannya berhasil mengambil alih lokasi-lokasi strategis yang sebelumnya dikuasai oleh Sassaniyah Persia. Sejumlah lokasi strategis di Teluk Persia tersebut berhasil mendorong laju ekonomi, hingga mampu membentuk jaringan niaga yang terhubung hingga ke Cina.
Jaringan niaga ini mencapai puncaknya ketika ibukota pemerintahan Islam dipindahkan ke Baghdad. Menurut Philip K. Hitti dalam History of the Arabs, lokasi ibukota pemerinatahan ini sangat strategis menempati kawasan bekas jantung peradaban kuno Mesopotamia, yang berada di antara dua sungai tua, Eufrat dan Tigris. Melalui kanal-kanal, Baghdad terhubung dengan Basrah. Kemudian keduanya terhubung dengan kota-kota pusat perdagangan maritim di Teluk Persia yang berpusat di Al-Ubullah dan Siraf.
Dalam Classic Ship of Islam from Mesopotamia to the Indian Ocean karangan Dionisius A. Agius dijelaskan, bahwa Al-Ubullah merupakan kota pelabuhan tua di Teluk Persia yang telah eksis sebelum masa Islam. pelabuhan ini tetap eksis selama masa pelayaran Islam. Sedangkan Siraf adalah kota pelabuan di hulu Teluk Persia yang berdiri pada masa Islam. Selama abad pertengahan Siraf tumbuh menjadi salah satu pelabuhan paling penting di Teluk Persia.
Hourani memperkirakan waktu perjalanan antara Teluk Persia dengan Cina ditempuh dalam waktu enam bulan. Kapal-kapal berangkat dari Al-Ubullah maupun Siraf menuju Muscat di Oman (pesisir Selatan Semenanjung Arab). Dari Muscat perjalanan dilanjutkan menuju Kulam Mali (pesisir selatan India). Setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju Kalah Bar (Semenanjung Melayu) melalui Teluk Bengal. Kemudian kapal-kapal berlayar menuju Sanf dan sampai di pemberhentian terakhir di Kanton, Cina.
Senada dengan Hourani dan Wink, Chaffee juga menguraikan koneksitas perdagangan yang berlangsung antara muslim dari kawasan Arab dan Teluk Persia dengan Cina. Sejak pertengahan abad ke-8 M hingga abad ke-14 M, di Guangzhou, Quanzhou, Mingzhou, dan sejumlah kota pelabuhan lain di sepanjang pesisir tenggara Cina telah ramai oleh pemukiman muslim. Kemunculan komunitas pemukiman muslim ini bahkan diperkirakan telah tumbuh sejak abad ke-7 M.
Pemukiman muslim di Cina bahkan tumbuh membangun struktur kehidupan sosial-keagamaannya. Mereka menjalankan ajaran Islam, melangsungkan hari raya, serta mengucapkan do’a dan melaksanakan khutbah. Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill dalam Chau Ju-Kua: His Work in the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries menyebut, salah satu muslim di antara mereka juga ditunjuk oleh otoritas Cina menjadi pemimpin yang menjamin dan menjaga ketertiban diantara mereka. Sumber Cina menyebut bahwa penduduk muslim di pesisir Cina memiliki Qadhi dan Syekh serta membangun masjid dan pasar. Keterangan ini juga dimuat oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia.
Hubungan niaga Arab dan Cina dilatarbelakangi oleh koneksi yang kuat antara Daulah Abbasiyah dan Dinasti Tang. Hubungan inilah yang membentuk pondasi sistem perdagangan antar kawasan pada abad pertengahan. Kapal-kapal jarak jauh didominasi oleh kapal-kapal Dhow Arab dan kapal Kunlun Asia Tenggara yang memiliki karakteristik sewn-plank dengan serbut kelapa sebagai pengikatnya.
Salah satu bukti signifikan adalah temuan bangkai kapal di Belitung, yang berasosiasi dengan temuan muatan kargonya berupa kumpulan keramik Cina (keramik Changsa masa Dinasti Tang). Berdasarkan analisis dan konstruksi bentuk kapal serta teknologi pembuatannya, Michael Flecker dalam A Ninth Century Arab or Indian Shipwreck in Indonesia First Evidence of Direct Trade with China, The Belitung Wreck Sunken Treasures from Tang China menyimpulkan, temuan bangkai kapal Belitung adalah kapal Arab atau India. Sedangkan temuan keramik Cina dalam muatan kargo menjadi bukti keberlangsungan jaringan niaga antara Arab dengan Cina.
Catatan laporan pelayaran Arab tentang kawasan Samudra Hindia telah banyak menjadi objek studi atau kajian sejumlah peneliti. Marina Tolmacheva dalam The Indian Ocean in Arab Geography Tranmission Knowledge Between Formal and Informal Geographical Traditions memberikan rangkuman atas catatan para geografer ini. Menurutnya catatan geografi dan kartografi Arab tentang Samudra Hindia abad pertengahan memberi konstribusi penting bagi studi kartografi dan geografi masa itu, yang cenderung masih menjadi misteri bagi sejumlah peneliti. Sedangkan khususnya yang berkaitan dengan deskripsi kota-kota pelabuhan di Sumatra telah menjadi kajian G. R. Tibbets sejak pertengahan kedua abad ke-20. Ia menguraikan kajiannya dalam lingkup kawasan Asia Tenggara.
R. Tibbets melakukan studi mendalam terhadap sejumlah catatan pelayaran Arab. Ia secara kritis memberikan komentar terhadap masing-masing teks berdasarkan urutan kronologisnya. Dalam kajiannya A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East Asia, Tibbets membagi pembahasannya dalam dua bagian, yaitu catatan abad ke-9 sampai abad ke-14 dan catatan abad 15-16 M. Menurutnya studi tentang historiografi teks-teks Arab klasik ini memberikan sudut pandang baru yang signifikan tertutama mengenai kajian sumber terhadap lokasi-lokasi kota pelabuhan di kawasan Kepulauan Hindia Timur (Asia Tenggara).