Dalam narasi besar historiografi maritim Asia Tenggara, kita mengenal sebuah periode yang menyimpan perkembangan pelayaran dan perniagaan maritim abad 15-17 M sebagai age of commerce. Sebagaimana yang dikonstruksi Anthony Reid dalam dua jilid bukunya, kompleksitas kepadatan aktivitas niaga yang melibatkan kawasan Asia Tenggara sebagai lintasan sibuk kapal-kapal dagang, merupakan capaian penting dalam jaringan perdagangan global di pesisir timur Sumatra.
Sepanjang pesisir timur pulau Sumatra merupakan kawasan rute pelayaran tersibuk yang menyediakan lokasi-lokasi pelabuhan singgah strategis. Bukan hanya kegiatan niaga, kompleksitas age of commerce di pesisir timur pulau Sumatra dapat ditemukan jejaknya dalam bentuk-bentuk hasil interaksi kebudayaan yaitu penyebaran agama, pertukaran ide, gagasan, pengetahuan, dan teknologi antar bangsa baik Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur.
Namun penelusuran lebih jauh terhadap sejarah maritim atau kebaharian Kepulauan Nusantara mengantarkan kita kepada jejak-jejak kepurbakalaan maritim yang lebih awal. Bukti-bukti peradaban maritim Nusantara di pulau Sumatra menunjukkan kompleksitas budaya yang telah berlangsung setidaknya sejak abad ke-7 M atau beberapa abad lebih awal. Narasi besar historiografi Indonesia menempatkan Kemaharajaan Sriwijaya sebagai penanda eksistensi penting atas peran dan keterlibatan masyarakat Nusantara dalam jaringan aktivitas niaga global jauh sebelum periode age of commerce. Sedangkan kurun Niaga abad 15-17 yang digambarkan oleh Reid merupakan kelanjutan dari tradisi dan kebudayaan bahari Kepulauan Nusantara sejak masa-masa terawalnya.
Pulau Sumatra sejak masa terawal, eksistensinya telah menyimpan peran penting dalam rute singgah pelayaran dan perdagangan dunia. Pulau ini merupakan gerbang pintu masuk ke kawasan Kepulauan Hindia Timur ‘Lands Below The Wind’ (Reid, 2014) atau ‘Bilad Al-Jawi’ (dalam sumber literatur Arab-Persia). Posisinya yang strategis di antara Selat Malaka dan Selat Sunda menghubungkan kawasan Samudra Hindia dengan Timur Jauh dan kawasan Pasifik. Berdasarkan latar belakang geostrategis ini, Sumatra tampil menjadi salah satu kawasan tersibuk dalam aktivitas dagang dunia.
Aktivitas maritim yang berlangsung mendorong kota-kota pelabuhan di Sumatra terkoneksi dengan jaringan perdagangan global. Kota-kota pelabuhan tersebut tumbuh menjadi kota-kota kosmopolit, di mana tidak hanya berlangsung aktivitas pertukaran dagang, melainkan juga menjadi tempat berlangsungnya interaksi budaya antar para pelayar mancanegara dan penduduk masyarakat setempat.
Sumatra ataupun Kepulauan Hindia Timur secara umum merupakan lintasan terbuka bagi perdagangan antar kawasan dan bagi para petualang. Sebab bukan hanya terdapat banyak rute yang dapat dilintasi, melainkan faktor angin di kawasan ini yang tidak begitu kencang. Angin bahkan digunakan dalam aktivitas pelayaran dengan memanfaatkan pergerakan angin musim. Sehingga mendorong lautan di kawasan ini menjadi suatu tempat pertemuan dan lalu lintas yang ramai.
Melampaui narasi besar konstruksi historiografi di atas, temuan bukti-bukti arkeologis terbaru dan kritik historiografi mutakhir mendudukkan kita untuk membahas kemungkinan-kemungkinan lain jejak aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim global di pulau Sumatra. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, di sisi lain Pulau Sumatra yaitu kawasan pesisir barat Sumatra, secara signifikan mulai mengungkap jejak-jejak maritim kuno yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah eksis dengan tradisi dan kebudayaan Bahari yang kompleks.
Situs Bongal yang berada di Desa Jago-Jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah mengungkap bukti-bukti penting Pesisir barat Sumatra beserta masyarakatnya dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim global masa lampau. Temuan artefaktual hasil penelitian ekskavasi menempatkan Situs Bongal sebagai rute dagang yang koneksinya terhubung dengan kawasan perairan Samudra Hindia selama kurun waktu abad 7-10 M. Masa aktif Situs Bongal dalam jejaring global pelayaran dan perniagaan maritim bahkan berlanjut dengan keberadaan Barus yang aktif selama rentang waktu abad 9-17 M.
Namun selama ini, latar belakang kondisi alam dan lingkungan geografis seringkali menjadi faktor utama yang membatasi upaya penelusuran potensi jejak kemaritiman pesisir barat Sumatra. Asumsi yang menempatkan pesisir barat Sumatra tidak potensial sebagai ruang maritim global didasarkan pada kondisi alam yang curam dengan keberadaan dataran tinggi pengunungan Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan. Kondisi alam ini ditambah dengan keberadaan jalur-jalur sungai yang lebih kecil dibanding aliran sungai-sungai besar yang dukungan dengan daratan aluvial yang lebar di pesisir timur Sumatra.
Berdasarkan kondisi geografis tersebut, pesisir timur Sumatra dinilai memiliki potensi yang lebih besar untuk tumbuh menjadi lokasi singgah jalur pelayaran dan perdagangan. Kesimpulan ini ditambah pula oleh faktor geostrategis pesisir timur yang dilalui oleh Selat Malaka dan kondisi perairan yang tenang. Sedangkan pesisir barat berhadapan langsung dengan kawasan perairan berombak besar Samudra Hindia.
Sejumlah data historis maupun arkeologis juga mendukung kesimpulan ini. Kalangan sejarawan maupun arkeolog mengakui bahwa upaya eksplorasi penelitian jalur pelayaran kuno lebih banyak berfokus di pesisir timur Sumatra. Namun sejumlah temuan arkeologis di kawasan pesisir barat Sumatra yang ditemukan belakangan ini memunculkan kemungkinan perspektif baru khazanah historiografi maupun penelitian arkeologi kota-kota pelabuhan di Sumatra.
Selain faktor lingkungan alam, eksklusi kawasan pesisir barat Sumatra dalam narasi besar historiografi Indonesia modern dikarenakan anggapan yang menempatkan masyarakat yang mendiaminya sebagai masyarakat terbelakang, terpinggirkan, dan masyarakat dengan kekalahan multidimensi. Seperti yang diungkap oleh Bambang Purwanto, marginalisasi pesisir barat Sumatra dalam historiografi Indonesia memang didasarkan pula oleh politik sejarah secara konseptual.
Perkembangan Historiografi Pesisir Barat Sumatra
Penelitian sejarah maupun arkeologi tentang pantai barat Sumatra dapat ditemukan dalam sejumlah literatur yang terbatas. Di antaranya penelitian arkeologi di Barus, Sumatra Utara, yang menghasilkan temuan jejak pemukiman abad ke-9 hingga abad ke-17 M. Temuan kepurbakalaan di kawasan ini didapat dari Situs Lobu Tua, Situs Bukti Hasang, dan sejumlah komplek pemakaman Islam. Hasil ekskavasi berhasil mengungkap temuan artefaktual yang sebagian besar didominasi oleh barang-barang rumah tangga seperti keramik, kaca, dan alat perkakas lainnya. Identifikasi menunjukkan bahwa artefak-artefak tersebut sebagian besar berasal dari kawasan Timur Tengah dan Timur Jauh. Identifikasi ini sekaligus menyimpulkan adanya interaksi di antara keduanya.
Penelitian arkeologi di Barus dilakukan sejak tahun 1995 sampai tahun 2000 hasil kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Penelitian ini menghasilkan sejumlah temuan yang didominasi oleh barang-barang peralataran rumah tangga, yang menunjukkan jejak pemukiman abad ke-9 hingga abad ke-17 M. Hasil penelitian ini selengkapnya dimuat dalam Buku Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Barus Seribu Tahun yang Lalu, dan Barus Negeri Kamper.
Penelitian lain dapat ditemukan dalam studi disertasi Gusti Asnan. Dalam disertasinya, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas ini menguraikan dunia maritim di pesisir barat Sumatra dalam rentang periode kolonial. Disertasi sejarah ini membahas aspek kemaritiman yang berlangsung pada masa kolonial Belanda yaitu tahun 1819-1906. Ia menyoroti aktivitas pelayaran dan perdagangan di daerah administrasi pantai barat Sumatra bentukan Belanda yang disebut dengan Gouvernement Sumatra’s WestKust. Disertasi yang berjudul Trading and Shipping Activities: The West Coast of Sumatra 1819-1906 telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra.
Disertasi Gusti Asnan menjelaskan pengaruh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam aktivitas niaga pantai barat Sumatra. Daerah administrasi pantai barat Sumatera (Sumatra’s WestKust) terbentang dari Singkel di utara dan Indrapura di selatan. Kebijakan pemerintah kolonial menaruh dampak pada pola perdagangan, dinamika pelaku dagang, kawasan pelabuhan, kapal, dan komoditas perdagangan. Kekuasaannya atas daerah administratif pantai barat Sumatra menghendaki pemerintah kolonial melakukan kontrol maupun monopoli. Sejumlah pelabuhan didirikan sebagai pusat aktivitas perdagangan kolonial. Hingga kini tinggalan jejak kolonial tersebut masih tampak pada sejumlah pelabuhan seperti yang terdapat di Padang dan Sibolga.
Penelitian sejarah tentang kawasan pesisir barat Sumatra juga telah dilakukan dengan mengambil periode abad ke-17 hingga abad ke-18. Studi yang dilakukan Sudarman dkk (2019) yang berjudul Spice Route and Islamization on the West Coast of Sumatra in 17th-18th Century ini menguraikan tentang kawasan pesisir barat Sumatra sebagai kawasan yang terhubung dengan jalur rempah. Komoditas rempah terutama lada menjadi daya tarik para pelayar mancanegara berkunjung ke kawasan ini. Pada abad ke-17 hingga abad ke-18 kawasan pesisir barat Sumatra telah tampil menjadi kawasan yang ramai oleh aktivitas niaga para pelayar dari Arab, Persia, India, dan Cina.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa keberlangsungan aktivitas perdagangan rempah di pesisir barat Sumatra beriringan dengan proses Islamisasi. Aktivitas pelayaran Samudra Hindia melalui pesisir India dan Teluk Bengal sebagian besar dilakukan oleh para pelayar muslim yang berasal dari Teluk Persia. Interaksi dan kontak budaya yang belangsung seiring aktivitas niaga mendorong berlangsungnya proses Islamisasi.
Studi terbaru tentang kawasan pesisir barat Sumatra muncul dengan ditemukannya Situs Bongal. Situs ini menyimpan unsur kepurbakalaan yang kompleks. Secara absolut situs ini eksis sejak abad ke-7 M, bahkan lebih awal yaitu abad ke-6 M. Temuan artefaktual situs ini menunjukkan bukti-bukti awal interaksi global antar bangsa-bangsa pelayar di dunia. Berdasarkan temuan ragam artefaktualnya, situs ini mengungkap jejak permukiman dan kota pelabuhan yang terhubung dengan rute pelayaran global Samudra Hindia.
Terungkapnya Situs Bongal membuka potensi kemungkinan baru historiografi rute pelayaran masa lampau. Kepurbakalaan Situs Bongal semakin menunjukkan bahwa pesisir barat Sumatra telah menjadi rute singgah aktivitas pelayaran dan perdagangan sejak masa terawal. Meskipun berhadapan langsung dengan perairan berombak besar Samudra Hindia, akan tetapi lokasinya strategis sebagai tempat bersandar kapal-kapal besar. Situs Bongal berada di suatu teluk yang tersambung dengan muara aliran sungai Lumut di kaki Bukit Bongal.
Kompleksitas temuan artefak Situs Bongal menunjukkan bahwa situs ini pada masa lampau aktif sebagai kota kosmopolit, lokasi yang mempertemukan interaksi kebudayaan antara kawasan dunia Islam di Timur Tengah atau Asia Barat, India atau Asia Selatan, Kepulauan Nusantara atau Asia Tenggara dan Cina atau Asia Timur. Temuan artefaktual Situs Bongal di antaranya koin berinskripsi Arab, pecahan keramik, kaca, manik-manik, fragmen kayu kapal lengkap dengan tali ijuk, dan sejumlah temuan ekofak sisa hasil hutan.
Dalam konteks historiografi Situs Bongal juga berpotensi memberi perspektif baru. Terutama berkaitan dengan historiografi Islam di Indonesia. Berdasarkan identifikasi artefak yang ditemukan, situs Bongal menjadi satu-satunya bukti interaksi terawal dunia Islam dengan kawasan Kepulauan Hindia Timur atau ‘Lands Below The Wind’ (berdasarkan sumber-sumber kolonial) atau ‘Bilad Al-Jawi’ (berdasarkan literatur Arab). Bukti-bukti ini ditunjukkan dengan dominasi temuan artefak dunia Islam di antaranya koin berinskripsi Arab, kaca, dan keramik.
Hal ini relevan dengan konteks jejak pelayaran dan perdagangan pesisir barat Sumatra yang terkoneksi dengan kawasan Samudra Hindia. Perairan Samudra Hindia memasuki abad ke-7 M menjadi lautan di mana para pelayar muslim dari Arab dan Teluk Persia menjadi pihak paling berotoritas. Sejarawan seperti Andre Wink mengungkapkan bahwa selama masa abad pertengahan kawasan perairan Samudra Hindia layaknya Arab Mediteranian. Para pelayar muslim dari Arab dan Teluk Persia berperan mendorong laju aktivitas pelayaran dan perdagangan Samudera Hindia selama abad pertengahan. Sejumlah temuan artefak yang menunjukkan berasal dari dunia Islam memberikan bukti historis maupun arkeologis kontak terawal antara dunia Islam dengan pesisir barat Sumatra.