Teluk Tapanuli (Tapian Nauli) merupakan wilayah perairan pusat aktivitas kemaritiman Nusantara di pesisir barat Sumatra yang telah aktif sejak masa yang lampau. Teluk ini juga suatu perairan yang indah dan ramai dalam perdagangan.
Menurut H.L. Osthoff dalam dokumennya atas perintah Pemerintah Hindia Belanda Tahun 1834-1838 tentang Deskripsi Perairan-Perairan Sepanjang Pantai Barat Sumatera, Antara Padang dan Tapanoely, “De baai Tapanolij is eene der schoonste in de wereld en de haven voozeker eene der beste in Indie” (Teluk Tapanuli adalah salah satu dari teluk yang indah di dunia dan bandarnya tentu saja salah satu yang terbaik di Hindia Timur).
Salah satu aspek sebuah lokasi sebagai pusat aktivitas maritim ialah berlangsungnya pelayaran yang mencakup pelabuhan dan moda transportasi perairan serta perniagaan yang terdiri dari komoditas dan jaringan perniagaan.
Aktivitas pelayaran Teluk Tapanuli sampai saat ini direpresentasikan oleh keberadaan pelabuhan Sibolga, yang terletak di Kota Sibolga, Provinsi Sumatra Utara.
Pelabuhan ini dibangun pada abad ke-19 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai pusat aktivitas pertukaran serta jejaring pelayaran dan perniagaan di wilayah pesisir barat Sumatra. Pada saat itu pelabuhan Sibolga berada di wilayah Onderafdeeling Sibolga en Ommelanden di bawah Residentie Tapanuli.
Buku Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia menjelaskan, pelabuhan Sibolga dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menggantikan pelabuhan Bandar Poncan Ketek, di Desa Poncan Ketek, yaitu sebuah pulau kecil di Teluk Tapanuli yang letaknya tak jauh pula dari lokasi Pelabuhan Sibolga saat ini.
Sumber-sumber kontemporer masa kolonial memberi banyak keterangan tentang keberadaan pelabuhan modern di pesisir barat Sumatra, baik di Teluk Tapanuli maupun di wilayah lain.
Selain pelabuhan Sibolga, sejumlah pelabuhan lain di pesisir barat Sumatra abad 17-19 ialah Bandar X (kumpulan dari bandar kecil berjumlah sepuluh nagari yang terletak di pesisir bagian selatan Minangkabau bagian dari Kerajaan Indrapura, di antaranya Painan, Bayang, Tarusan, Salido, Batangkapas, Pulau Cingkuk, Sungai Pagu, dan Air Haji), Padang, Pariaman, Tiku, Airbangis, Natal, Batumundam, Sibolga, Singkil, dan Susoh.
Namun penelusuran lebih jauh tentang aktivitas maritim pesisir barat Sumatra menunjukkan bahwa kawasan ini telah aktif sejak beberapa abad sebelum pelabuhan-pelabuhan abad 17-19 di atas. Setidaknya sejak abad ke-7 M yang ditunjukkan dengan penemuan Situs Bongal, serta kelanjutannya yaitu Barus yang aktif sejak abad ke-9 M.
Pesisir Barat Sumatra masa Kesultanan Aceh Abad 16-19
Otoritas kekuasaan politik pesisir barat Sumatra sejak abad 16 M berada di bawah Kesultanan Aceh. Teluk Tapanuli termasuk salah satu wilayah yang dikuasainya.
Otoritasnya semakin kukuh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1537-1568) dengan kemajuan dan perkembangan yang dicapai dalam politik ekonomi, kemudian dilanjutkan pula oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) melalui kebijakan-kebijakannya.
Keberhasilan ini membawa Kesultanan Aceh memiliki wewenang atas wilayah teritorialnya yang meliputi kawasan pantai timur Sumatra dan kawasan partai barat Sumatra serta Semenanjung Melayu.
Penguasaan atas dua kawasan penting pesisir timur dan barat Sumatra, menjadikan Kesultanan Aceh memegang otoritas kemaritiman dan perdagangan, serta menguasai bandar-bandar/kota pelabuhan pusat aktivitas niaga.
Hal ini menjadikan Kesultanan Aceh tampil sebagai kekuatan ekonomi besar di Asia Tenggara. Kesultanan Aceh memperoleh keuntungan dari proses pertukaran barang dan dari hasil komoditas tambang serta tanaman agraris/hasil hutan.
Memasuki abad ke-17 tepatnya pada masa Iskandar Muda, Kesultanan Aceh menjadi kekuatan utama politik dan ekonomi di pulau Sumatra maupun di Asia Tenggara. Hampir seluruh pusat aktivitas niaga berada di bawah otoritas Kesultanan Aceh, yang meliputi Pidie, Pakam, Deli, Aru, Labu, Singkil, Barus, Batahan, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang, Johor, Kedah, Pahang, dan Perak.
Di pesisir barat Sumatra Kesultanan Aceh mampu menguasai wilayah-wilayah ekonomi penting seperti Singkil, Barus, Teluk Tapanuli, Pariaman, Padang (Minangkabau), Indrapura, hingga Muko-Muko. Wilayah-wilayah tersebut merupakan pusat ekonomi penting dengan bandar-bandar serta ketersediaan komoditas produk aromatika-rempah hasil hutan dan hasil tambang.
Penguasaan Aceh terhadap pesisir barat Sumatra mengalami dinamika yaitu persentuhannya dengan Inggris dan perebutannya dengan VOC maupun pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sejak abad ke-17 Inggris telah menempatkan kekuasaannya atas Bengkulu yang merupakan bagian/wilayah selatan dari pesisir barat Sumatra. Sejak masa itu pula Inggris berupaya menjalin hubungan dagang di pesisir barat Sumatra.
Tahun 1772 Inggris berhasil menduduki Pulau Poncan Ketek di Teluk Tapanuli, sebuah bandar yang telah aktif sejak abad ke-17, dan menjadi bandar penghubung di Teluk Tapanuli hingga Bandar Sibolga dibangun pada tahun 1841.
Pada abad ke-19 yaitu pada tahun 1815 barulah Inggris berhasil menjalin hubungan dengan Teluk Tapanuli dengan perjanjian yang melibatkan raja-raja setempat seperti Raja Bandaro Poncan, Raja Sibolga, Datuk Mudo Badiri, Raja Bukit Sorkam Kiri, Sutan Bagindo Tapanuli, Datuk Bagindo Kayo kalangan, Datuk Raja Amat Sorkam Kiri, Sutan Bagindo Tapanuli, Datuk Bagindo Kayo Kalangan, Datuk Raja Amat Sorkam Kanan, dan Raja Lumut.
Setelah menjalin hubungan perjanjian dengan raja-raja setempat, Inggris kemudian menjalin hubungan resmi dengan Kesultanan Aceh pada tahun 1819 untuk memperluas jejaring ekonomi di pesisir barat Sumatra.
Berbeda dengan Inggris, kongsi dagang VOC pada tahun 1660 berhasil memiliki hubungan damai dengan Aceh yang berguna untuk mendapatkan izin membeli komoditas perdagangan pesisir barat Sumatra, yaitu lada dan emas.
Pada tahun 1665 VOC juga berupaya berhubungan secara langsung dengan otoritas lokal, yaitu dengan membuat perjanjian yang melibatkan raja-raja negeri di pesisir barat Sumatra.
Pesisir Barat Sumatra masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Dinamika penguasaan pesisir barat Sumatra termasuk pesisir Teluk Tapanuli berlanjut hingga abad ke-19. Pada masa inilah terjadi perubahan kekuasaan atas pesisir barat Sumatra dari Aceh kemudian beralih kepada penguasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Aceh mengalami kemunduran yang menandai pula melemahnya otoritas mereka terhadap pesisir barat Sumatra. Sementara pemerintah kolonial Hindia Belanda berada pada puncak pengaruhnya.
Pada tahun 1819 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambil alih penguasaan pesisir barat Sumatra. Sejak itu secara administratif pesisir barat Sumatra berada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan nama Gouvernement Sumatra’s Westkust.
Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra menjelaskan wilayah Gouvernement Sumatra’s Westkust meliputi Singkil di utara dan Indrapura di Selatan. Setelah itu pada tahun 1841 pusat perniagaan Teluk Tapanuli diubah dari lokasi semula Bandar Poncan Ketek ke Bandar Sibolga yang dibangun pada tahun tersebut. Setahun setelahnya Bandar Sibolga menjadi tujuan pelayaran dari utara dan selatan, seperti dari Padang, Natal, Barus, Singkel, Nias, Pariaman dan sebagainya.
Bandar Sibolga adalah salah satu dari gerbang Tapanuli di pesisir barat untuk keluar masuk barang dan penumpang. Kedudukan bandar ini semakin penting dalam bidang politik keika ditetapkan Pemerintah sebagai ibu kota Karesidenan Tapanuli selama tahun 1842-1942.
Karesidenan Tapanuli dibentuk pada tahun 1842 yang di dalamnya terdiri dari beberapa afdeeling, onderafdeeling, districk, dan kuria. Sejak tahun 1842 pula status bandar atau kota Sibolga yang sebelumnya onderafdeeling (kecamatan) berkembang mennjadi afdeeling (kabupaten) sekaligus ditetapkan sebagai ibu kota Karesidenan Tapanuli (Residentie Tapanoeli).
Pesisir Barat Sumatra: Kota Pelabuhan Merdeka Abad 7-12 M
Data-data arkeologi, sumber pertulisan, dokumen historis, serta literatur terkait memberikan bukti-bukti aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim pesisir barat Sumatra setidaknya sejak abad ke-7 M.
Bukti tersebut ditunjukkan dengan temuan jejak kepurbakalaan di Situs Bongal dan Barus. Situs Bongal secara administratif terletak di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Secara geografis Situs Bongal menempati ruang pesisir di sisi barat Pulau Sumatra di sebuah teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli (Teluk Tapanuli).
Luasan Situs Bongal meliputi kawasan bukit berketinggian sekitar 324 meter di atas permukaan laut, lereng bukit, dataran kaki bukit, mangrove (rawa bakau dan pohon nipah), sungai, dan pantai dengan luas diperkirakan sebesar 1324 ha. Di perbatasan dataran kaki Bukit Bongal terdapat aliran Sungai Lumut yang alirannya bermuara ke Teluk Tapian Nauli.
Material alam yang diendapkan oleh aliran Sungai Lumut membentuk dataran pasang surut di kaki Bukit Bongal yang saat ini didominasi oleh keberadaan tanaman Nipah (Nypa fruticans). Namun beberapa bagian dari dataran aluvial tersebut juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan pembudidayaan tanaman komersial seperti karet (Hevea brasiliensis) dan kelapa sawit (Elaesis oleifera).
Sedangkan Barus ialah kota dan kerajaan bersejarah yang banyak disebut dalam berbagai literatur berdasarkan sumber-sumber pertulisan. Berdasarkan buku Lobu Tua Sejarah Awal Barus, penyebutan Barus dalam sumber pertulisan ditemukan sejak awal masehi dalam berbagai bahasa seperti Yunani, Syriak, Tionghoa, Tamil, Arab, Jawa, Armenia, Melayu, serta Eropa pada periode yang lebih muda.
Barus memiliki beberapa lokasi purbakala yang terpusat dengan dua situsnya, yaitu Situs Lobu Tua dan Situs Bukit Hasang. Situs Lobu Tua sebagai situs tertua di Barus, merupakan lokasi pelabuhan yang aktif sejak abad ke-9 M. Jejak kepurbakalaan Situs Lobu Tua sudah ditemukan sejak pertengahan abad ke-19 M.
Sedangkan Situs Bukit Hasang diambil dari nama sebuah desa di kawasan bukit di Barus. Di situs ini, terdapat lima lokasi kompleks makam kuno muslim yang sekarang telah dipugar dan dilindungi, di samping terdapat pula dua kompleks makam kuno muslim lainnya di kaki dan di puncak Bukit Papantinggi pada ketinggian 270 mdpal. Sedangkan kompleks makam terbesar ialah kompleks Makam Mahligai yang menunjukkan bukti historis tertua proses Islamisasi Barus.
Bongal dan Barus merupakan dua situs kepurbakalaan di satuan administratif yang sama, yaitu di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara. Secara geografis keduanya juga menempati lingkungan geografis yang sama yaitu di kawasan pesisir barat Sumatra Utara.
Berdasarkan jarak antara keduanya, Situs Bongal diperkirakan terpaut 60-70 km di Selatan Barus. Berdasarkan data arkeologi di kedua situs, Bongal dan Barus menunjukkan satu jejaring yang berkaitan sebagai lokasi permukiman dan aktivitas perniagaan maritim dengan dunia luar/mancanegara.
Analisis terhadap data arkeologi menunjukkan Situs Bongal aktif sejak abad ke-7 M sedangkan Barus aktif sejak abad ke-9 M. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan dalam arti kelanjutan lokasi pelabuhan di pesisir barat Sumatra dari Situs Bongal ke Barus.
Oleh karena itu, keterkaitan antara Situs Bongal dan Barus serta (pada masa selanjutnya) Pelabuhan Sibolga dapat memperlihatkan suatu kesinambungan sejarah dan rekonstruksi kebudayaan di pesisir barat Sumatra Utara khususnya di sekitar kawasan Teluk Tapanuli (Tapian Nauli).
Penelitian tentang Barus memberi kesimpulan bahwa kota pelabuhan ini menunjukkan keberadaannya yang terlepas dari pengaruh otoritas politik dan ekonomi tertentu pada masa itu, terutama kekuataan politik di pesisir timur Sumatra.
Sejauh data dan sumber yang ditemukan, tidak terdapat sumber yang menunjukkan hubungan langsung antara Barus dengan Sriwijaya. Berdasarkan buku Baru Seribu Tahun yang Lalu, satu-satunya bukti hubungan Barus dan Sriwijaya adalah tiga keping mata uang Barus yang ditemukan dalam sumuran Candi Gumpung di Muara Jambi.
Letaknya yang berada di sumuran candi menunjukkan bahwa keping mata uang Barus ini dianggap sebagai barang berharga, bukan sebagai alat tukar. Berdasarkan sumber-sumber tertulis zaman Lobu Tua pun tak ada keterangan yang menunjukkan hubungan Barus dengan kerajaan-kerajaan besar di Sumatra.
Kemerdekaan ini berlangsung setidaknya hingga awal abad ke-12 M, kemudian memasuki abad 16-17 M mulai mendapat pengaruh kekuasaan ekonomi politik dari Aceh. Begitu pun dengan penelitian tentang Situs Bongal, sejauh ini belum ditemukan sumber yang menunjukkan hubungan langsung antara Bongal dengan kerajaan besar pada masa itu.
Situs Bongal dan Barus menunjukkan suatu lokasi kepurbakalaan di pesisir barat Sumatra yang menjadi persinggahan maupun tujuan pelayaran/perdagangan mancanegara. Selama abad 7-12 M tersebut, Situs Bongal dan Barus merupakan kota pelabuhan merdeka yang langsung melakukan hubungan dagangnya dengan jejaring perdagangannya. Hal ini menunjukkan pemahaman bahwa terdapat suatu jejaring perniagaan terpisah dari pesisir timur Sumatra dengan otoritas politiknya berada di Kerajaan Sriwijaya.
Lebih lanjut Situs Bongal dan Barus menunjukkan eksistensi pesisir barat Sumatra sebagai jejaring perniagaan maritim baik lokal, regional, maupun global yang khas. Kehadiran jejaring maritim pesisir barat Sumatra bahkan telah berlangsung sejak masa yang sama ketika pesisir timur Sumatra dikenal sebagai jalur tunggal pelayaran dan perniagaan maritim di Nusantara atau Asia Tenggara.