Arkeologi maritim adalah kajian arkeologi yang mempelajari interaksi manusia dengan laut, danau dan sungai. Keith Muckelroy (1978) menegaskan bahwa tujuan utama penelitian arkeologi maritim adalah manusia, bukan hanya kapal, kargo, peralatan, dan perlengkapan yang kita temukan yang lebih akrab dikenal sebagai data arkeologis atau artefak. Lebih lanjut arkeologi maritim juga tidak sekadar mempelajari aspek teknologi belaka, melainkan kebudayaan maritim dalam arti luas yang mengandung aspek sosial, ekonomi, politik, agama, serta pengetahuan maritim mencakup perubahan arah angin, cuaca, lokasi strategis, dan sebagainya.
Mundardjito (2007) menerangkan beberapa sumber daya budaya maritim yang penting untuk diperhatikan dalam melaksanakan kajian arkeologi maritim. Sumber daya budaya maritim tersebut dibagi dalam tiga kategori, di antaranya:
- Benda-benda arkeologis, baik yang berada di dasar laut maupun di pesisir. Benda-benda tersebut, yang dilindungi perundang-undangan tentang benda cagar budaya, digolongkan oleh para arkeolog ke dalam tiga golongan sebagai berikut: (a) Benda buatan manusia yang dapat bergerak (artifact), seperti kapal, berbagai peralatan kapal, peralatan menangkap ikan, dan benda-benda muatan kapal lain (termasuk benda bertulis atau prasasti, dan benda-benda bergambar); (b) Benda buatan manusia yang tak dapat bergerak (feature), seperti pelabuhan, dermaga, mercusuar, gudang, benteng dan kanal; (c) Benda alam yang mempunyai relevansi dengan kehidupan manusia (ecofact), seperti hasil bumi muatan kapal, dan bentuk-bentuk permukaan bumi yang digunakan manusia sebagai acuan pelayaran, muara sungai, tempat keluar masuk selat atau teluk, sumber air tawar, dan daerah tangkapan ikan.
- Artifact, feature dan ecofact, yang bernilai sejarah tetapi yang belum dilindungi oleh perundang-undangan, baik yang berada di dasar laut maupun di pesisir. Di antara benda-benda bersejarah itu sudah tentu adalah naskah atau dokumen tertulis yang menjadi bahan kajian para sejarawan.
- Masyarakat yang hingga kini masih hidup di laut, dan di pantai yang biasa dipelajari oleh para antropolog. Selain pikiran dan perilaku para warga di dalam komunitas itu terdapat pula benda buatan manusia berupa artifact, feature dan ecofact yang berperan dalam kehidupan mereka.
Kajian arkeologi bawah air merupakan salah satu cabang dari kajian arkeologi maritim. Kajian ini dikenal sebagai kajian yang mempelajari temuan sejumlah kapal tenggelam beserta benda-benda muatannya, sebagai tinggalan kebudayaan maritim masa lampau. Dewasa ini diskursus arkeologi maritim tidak hanya mencakup aktivitas penelitian saja, melainkan juga upaya pelestarian, dan pemanfaatan atas benda masa lalu yang berada di dasar laut, danau, dan Sungai.
Melihat kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang bentangan pantainya 81.000 km, dan luas lautnya sekitar 5,8 juta km2, memiliki potensi sebagai temuan arkeologi bawah air yang melimpah. Indonesia pada masa lampau merupakan salah satu kawasan singgah aktivitas pelayaran dan perniagaan maritim global. Perdagangan internasional, regional dan lokal telah terjadi pada masa lalu melalui jalur lintas kapal-kapal besar di lautan dan Pantai, termasuk di perairan Indonesia.
Betapa besarnya potensi tinggalan arkeologi bawah air tersebut, menunjukkan begitu pentingnya perkembangan kajian arkeologi bawah air. Di antaranya metode survey dan ekskavasi bawah air hingga teknik serta perlengkapan alat yang memadai. Sebab arkeologi bawah air memiliki teknik dan peralatan penelitiannya sendiri mengingat temuannya berada di dalam lingkungan air. Para peneliti harus menggunakan peralatan dan perlengkapan berbeda, dan harus memiliki kemampuan fisik yang khusus.
Sejumlah contoh penemuan tinggalan arkeologi bawah air dapat kita amati di beberapa situs seperti di Palembang, Jambi, Cirebon, Rembang, serta sejumlah situs lain di Indonesia maupun Asia Tenggara. Berdasarkan latar belakang di atas, kajian arkeologi bawah air memiliki posisi khusus dalam metode penelitian arkeologi, yang mendorong penguasaan teknik dan peralatannya secara memadai. Mengingat hal tersebut, perlu dibahas mengenai praktik penelitian arkeologi bawah air, teknik, perlengkapan alat, contoh-contoh pengalaman penelitian, tema-tema kajian, metode analisis, sebaran tinggalan arkeologi bawah air di Indonesia dan Asia Tenggara, serta pembahasan lain terkait.