Buku Arkeologi Islam Nusantara karya arkeolog Uka Tjandrasasmita adalah salah satu buku rujukan utama dalam mempelajari bagaimana peradaban Islam mewujud melalui peninggalan-peninggalan arkeologi di Nusantara.
Berbeda dengan Hasan Muarif Ambary yang menyusun karyanya dengan basis kerangka konseptual dan terkesan metodologis, karya Uka Tjandrasasmita ini disusun dengan lebih tematis.
Salah satu topik pembahasan tersebut ialah hubungan erat Indonesia dengan Arab atau kawasan Timur Tengah dalam hal ini pusat Dunia Islam. Bab ini menegaskan interaksi Dunia Islam dengan Indonesia yang telah berlangsung sejak masa terawal kehadirannya.
Uka Tjandrasasmita menaruh pembahasan tersendiri tentang bagaimana hubungan Dunia Islam dengan Indonesia terjalin melalui jejaring perdagangan. Persentuhan Islam dengan Indonesia dibawa melalui perantara aktivitas pelayaran-perdagangan sejak abad ke-7 M hingga abad ke-16 M.
Secara kronologis Uka membatasi periode pembahasannya hingga abad ke-16 M disebab ekspansi politik Portugis. Ekspansi politik Politik membatasi jejaring perdagangan Indonesia dengan Arab, akan tetapi pada periode tersebut Islam telah mengakar kuat membentuk masyarakat pesisir di pantai utara Pulau Jawa serta telah mewujud menjadi institusi politik di Sumatra.
Interaksi Dunia Islam dengan Indonesia sejak abad ke-7 M terekam dalam sumber-sumber tertulis dan temuan data arkeologi. Sumber-sumber tertulis baik lokal meliputi Melayu, Sunda, Jawa, Bugis, Makassar Sasak, dan sumber pertulisan lokal lainnya, kemudian teks-teks Cina maupun Arab, menerangkan bagaimana orang-orang Arab telah sampai ke Kepulauan Indonesia serta kawasan Asia Tenggara.
Jejaring aktivitas pelayaran dan perdagangan tersebut juga terhubung hingga kawasan pantai di Cina Selatan. Sumber-sumber teks dan tradisi Tionghoa mencatat kehadiran muslim pertama kali di Tiongkok pada masa kekuasaan Tai Tsung (627-650 M), yaitu raja kedua Dinasti Tang.
Sumber Cina Hsin Tang Shu menyebutkan kedatangan pertama kali orang-orang Ta-Shih di Cina. W.P. Groeneveldt menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang Ta-Shih adalah komunitas masyarakat orang Arab yang permukimannya terletak di pantai barat Sumatra.
Perbedaan pandangan dengan W.P. Groeneveldt berasal dari Paul Wheatle dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Wheatle menunjuk kawasan di Sungai Trengganu sebagai lokasi tempat permukiman orang-orang Arab. Pendapat lainnya dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang mengatakan bahwa permukiman orang Arab semestinya berlokasi di Sumatra Selatan yakni di Palembang.
Hubungan Islam di Timur Tengah dengan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra ditunjukkan salah satunya dengan dua surat Maharaja yang dikirimkan kepada khalifah masa Daulah Umawiyah. Surat tersebut ditujukan dengan Muawiyah dan kepada Umar bin Abdul Aziz.
Catatan Tionghoa Pei Hu Lua tahun 875 M menyebut kedatangan orang Ta-Shih dan Po-Sse ke Chan Pei untuk membeli buah pinang. Keterangan ini menunjukkan kedatangan orang-orang Arab dan Persia ke kawasan Jambi sejak abad ke-9 M.
Jejaring pelayaran dan perdagangan antara Dunia Islam (Timur Tengah) dengan Asia Tenggara dan Cina ditopang oleh pertumbuhan aktivitas ekonomi yang membentuk kota-kota pelabuhan di Teluk Persia dan di sepanjang pesisir Semenanjung Arab. Teluk Persia menjadi pusat pertukaran dagang di kota-kota pelabuhan seperti Bashrah, Al-Ubullah, Sohar, Muscat, dan Siraf.
Dengan demikian pengaruh Islam tak terpisah dari proses hubungan antara wilayah dunia Islam di Timur Tengah dengan Indonesia sejak abad ke-7 M. Hubungan yang berlangsung sejak masa awal Islam ini merupakan kesatuan nafas dengan kemampuan maritim, untuk selanjutnya menciptakan koneksi pelayaran dan perdagangan yang luas.
Rute perdagangan internasional sejak abad ke-7 M tersebut semakin meningkat dengan keberadaan Dinasti Umawiyah sampai Abbasiyah di Dunia Islam, Kerajaan Sriwijaya di Indonesia, dan Dinasti Tang di Cina.