Warisan politik pengetahuan kolonial sangat dapat diamati dari bagaimana seni dan kebudayaan Timur Tengah (Dunia Islam) ditampilkan dan dinarasikan dalam institusi museum di Eropa. Politik pengetahuan kolonial di sini merupakan suatu upaya pembentukan pengetahuan dan kebudayaan dunia berdasarkan cara pandang masyarakat Eropa/Barat.
Politik pengetahuan kolonial bermaksud menegaskan superioritas Eropa/Barat dan menempatkan peradaban non-Barat sebagai elemen luar yang tidak termasuk ke dalam capaian kebudayaan tinggi. Dalam bentuknya yang paling tampak ialah bagaimana Eropa/Barat menjelaskan Peradaban Islam dalam disiplin dan praktik museum.
Politik pengetahuan kolonial dalam institusi museum berlangsung sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20, bersamaan dengan berlangsungnya perkembangan paradigma ilmu yang menghasilkan pemisahan ilmu pengetahuan sosial humaniora menjadi disiplin ilmu yang terbagi antara sejarah, arkeologi, dan antropologi.
Dalam sejarah dan teori museum, periode ini juga menandai proses perubahan dan perkembangan paradigma museum dari apa yang disebut dengan Cabinet of Curiosity menuju konsep museum sebagai institusi publik.
Proses inilah yang menandai perwujudan museum sebagai institusi yang inklusif yang bersandar pada praktik keilmiahan. Museum yang sebelumnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan koleksi benda-benda kuno hasil jarahan dari tanah jajahan oleh para raja dan bangsawan, bertransformasi menjadi institusi pengetahuan publik.
Pada tahap ini tata pamer dan konsep tampilan koleksi museum berubah dari lemari pengetahuan dunia yang saling bercampur, menjadi sistem pengelompokkan dan klasifikasi. Inilah tahap di mana ilmu pengetahuan diletakkan sebagai dasar atas klasifikasi dan interpretasi, tetapi kemudian menghasilkan narasi yang tidak seimbang.
Pengetahuan berdasarkan sudut pandang Barat melangsungkan proses inklusi dan eksklusi terhadap koleksi museum. Proses ini menghasilkan hirarki nilai dan kebudayaan yang bermaksud menandai superioritas Barat atas peradaban lain, khususnya terhadap Islam.
Mirjam Shatanawi dalam artikelnya berjudul Museum Narratives of Islam between Art, Archaeology and Ethnology A Structural Injustice Approach menjelaskan bahwa proses inklusi dan eksklusi dalam disiplin dan praktik museum dilakukan dengan pemisahan antara koleksi warisan budaya Eropa/Barat dengan Non-Eropa/Barat untuk menciptakan dunia yang terpisah (antara yang beradab dan tidak).
Bagi Mirjam, proses inklusi dan eksklusi ini merupakan salah satu perubahan paling dramatis dalam lanskap museum di Eropa dan secara fundamental mengubah cara budaya dan kebudayaan direpresentasikan di museum. Model dikotomi menjadi basis proses pengelolaan museum dan mendasari pula pembuatan hirarki kebudayaan.
Dalam proses ini ruang pamer yang menampilkan seni, artefak dan pengetahuan negara yang dijajah dipesan dan diatur berdasarkan paradigma kolonial untuk menciptakan pengetahuan tentang diri mereka (penjajah).