Buzurg bin Shahriyar Al-Ramahurmuzi (w. 399 H/1009 M), seorang kapten, pengelana dan geografer muslim berbangsa Persia yang hidup pada pertengahan abad ketiga hingga keempat hijriyah. Buzurg diperkirakan lahir di Khuzistan. Kisah-kisah yang diceritakannya paling awal terjadi pada tahun 288 H sementara paling akhir terjadi pada tahun 342 H. Ia hidup sezaman dengan Pangeran Ahmad bin Hilal, gubernur Oman yang diangkat oleh Khalifah Al-Muqtadir Billah Al-Abbasi (296-322 H). Sedangkan nisbatnya, Ramahurmuz, merupakan nama sebuah kota kecil yang berjarak enam mil dari Ahwaz, ibukota provinsi Fars pada waktu itu.
Bukunya, ‘Ajaib Al-Hind merupakan laporan perjalanan para penjelajah dan pelaut-pelaut berbangsa Arab ke sejumlah negara yang terhubung melalui rute utama Samudera Hindia. Buku ini merupakan catatan tertulis yang memotret aktivitas dan kondisi dunia maritim di Samudera Hindia, dari pesisir timur Afrika, India, Nusantara, hingga Cina yang paling awal.
Salah satu manuskrip kitab ini tersimpan di perpustakaan Hagia Sophia, Istanbul bernomor 3306. Selain itu, Markaz Al-Malik Faishal li Al-Buhuth wa Al-Dirasat Islamiyah, Riyadh, menyimpan salinannya yang bernomor 5958 FB.
Naskah Arab kitab ini dicetak pertama kali oleh Van der Lith berjudul Livre Des Merveilles De L’inde, disertai terjemah berbahasa Perancis oleh Marcel Devic, Leiden pada tahun 1883-1886, berdasarkan manuskrip Hagia Sophia tersebut. Naskah tersebut kemudian dicetak ulang di Tehran pada tahun 1966. Lalu Mathba’ah Sa’adah, Mesir, pada tahun 1908/1326 H mencetak ulang naskah berbahasa Arab tanpa terjemahan dengan judul Ajaib Al-Hind Barruhu wa Bahruhu wa Jazayiruhu. Kemudian Yusuf Al-Sharuni mengkajinya dengan seksama, menuliskan kata pengantar penting, memberi daftar isi dan catatan-catatan penting lainnya. Hasil risetnya lalu diterbitkan oleh Riyadh Al-Ris li Al-Kutub wa Al-Nashr, London, pada tahun 1990 dengan judul Ajaib Al-Hind min Al-Qashash Al-Milahah Al-Bahriyah. Hasan Shalih Shihab kembali mengkaji dan mengomentari manuskrip Hagia Sophia tersebut. Hasil kajiannya diterbitkan oleh Haiah Abu Dhubai li Al-Thaqafah wa Al-Turath pada tahun 2010 dengan judul Ajaib Al-Hind li Buzurg ibn Shahriyar Baina Al-Haqiqah wa Al-Usthurah. Susunan kisah-kisah dalam hasil kajian tersebut tidak mengikuti kitab asalnya, tetapi diurutkan berdasarkan periwayatnya, dimulai dari para nahkoda, lalu para saudagar dan diakhiri dengan kisah-kisah yang tidak disebutkan penceritanya oleh Buzurg.
Lalu berdasarkan naskah-naskah tersebut, Arsyad Mokhtar kembali menerbitkan terjemahan berbahasa Melayu yang diberinya judul ‘Aja’ibul Hind. Cetakan pertama diterbitkan pada tahun 2016 oleh Baytul Hikma, Pulau Pinang, Malaysia. Cetakan kelima edisi pdf tahun 2020 dapat diperoleh secara cuma-cuma lewat laman-laman internet. Review terjemahan ini ditulis oleh Idris Mas’udi dengan judul Islam Dibawa Masuk oleh Orang Nusantara: Dari Data Terserak Buzurgh Al-Ramahurmuzi, ‘Ajaibul Hind: Kisah-Kisah Ajaib di Daratan dan Lautan Hindi yang diterbitkan dalam Jurnal Islam Nusantara, Juli 2020.
Kitab ini telah menjadi objek kajian para peneliti seperti Dionisius A. Agius dalam beberapa buku dan artikel yang ditulisnya, lalu Suhanna Shafiq yang menjadikannya sebagai bahan disertasinya yang berjudul The Maritime Culture in the Kitab ‘Ajai’ib al-Hind (The Book of the Marvels of India) by Buzurg Ibn Shahriyar. Sementara penulis dalam negeri salah satunya yaitu Nanang Nurcholis dalam tulisannya yang berjudul The Golden Triangle (India-China-Indonesia) Maritime Cultural Relations (A Critical Analysis on Kitab ‘Ajaib al-Hind by Buzurg Ibn Shahriyār (d.399 H/1009 M) yang diterbitkan dalam Proceeding of the International Seminar and Conference 2015: The Golden Triangle (Indonesia-India-Tiongkok) Interrelations in Religion, Science, Culture, and Economic.
Fansur Dalam Deskripsi ‘Ajaib Al-Hind
Menceritakan mengenai Pulau Ikan yang penduduknya memiliki sirip kecil di bawah ketiak. Kisah ini diceritakan oleh Nakhoda Abu Al-Zahr Al-Barkhuti. Ia menceritakan mengenai salah satu pamannya yang dijuluki Ibnu Ansyartua (putra Ansyartua). Al-Barkhuti bercerita, “Pamanku menceritakan mengenai bapaknya, yaitu kakek Al-Barkhuti dari sisi ibunya. Ia bercerita, “Aku bertolak menaiki sebuah kapal besar milikku berlayar menuju Pulau Fansur. Tiba di suatu teluk, angin berhenti bertiup sama sekali. Selama tiga puluh tiga hari kita diam ditempat, tak ada angin yang bertiup. Kita terapung-apung di permukaan air. Sibak kita tidak mampu mencapai dasar lautan padahal sudah habis seribu ba’. Arus laut menyeret kapal. Kita tidak tahu kemana. Hingga arus membawa kita memasuki kumpulan pulau. Maka kita pun mengarahkan kapal menuju salah satu pulau di situ. Di pantainya ternyata ada wanita-wanita yang sedang berenang-renang, bermain, dan bernyanyi. Kita merasa senang mendengar suara mereka. Setelah kita mendekat, ternyata mereka malah berlarian kabur kedalam pulau.
Ada kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin Babsyad yang menujukkan jika Fansur terletak di Pulau Lamri. Ia berkisah, menceritakan dari penumpang sebuah kapal yang karam. Mereka terpaksa berjalan dari arah Fansur ke Lamri. Mereka tidak berani berjalan pada malam hari lantaran takut akan seekor jerapah. Hewan ini tidak muncul di siang hari. Ketika malam tiba, mereka segera memanjat pohon yang besar lantaran takut hewan itu. Mereka merasakan hewan itu pada malam hari berputar-putar di sekitar mereka. Siang harinya bisa didapati dengan mudah jejaknya di pasir pantai. Di pulau itu terdapat semut yang banyak sekali. Apalagi di Pulau Lamri, semutnya tak terhitung banyaknya.
Muhammad bin Babsyad menceritakan kepadaku bahwa Pulau Niyan, yaitu sebuah pulau ke arah lautan lepas yang berjarak kira-kira seratus farsakh dari Fansur, dihuni oleh orang yang memakan manusia. Tengkorak-tengkorak manusia yang dimakannya itu dikumpulkan. Semakin banyak mengumpulkan tengkorak manusia maka semakin bangga dan semakin tinggi reputasinya. Mereka membeli batangan-batangan kuningan dengan harga tinggi. Alih-alih emas, kuningan itu dijadikan harta simpanan. Di negeri mereka, kuningan berumur panjang, sama seperti emas di negeri kita. Bagi mereka, emas itu tidak ada harganya, sama seperti kuningan bagi kita. Maha suci Allah sebaik-baik pencipta.
Setelah Pulau Niyan ini terdapat tiga pulau yang disebut Brawah. Penduduknya juga memakan manusia dan mengumpulkan tengkoraknya untuk dipertukarkan sebagai cindera mata.
Muhammad bin Babsyad juga menceritakan padaku jika penduduk lokal Fansur, Lamri, Kalah, Qaqulah, Shanfin, dan lainnya itu juga memakan manusia. Akan tetapi mereka tidak memakan kecuali musuhnya, lantaran permusuhan, bukan karena rasa lapar. Mereka membuat berbagai macam makanan dari daging manusia yang disayat dan dikeringkan, lalu memakannya sembari meminum arak.
Kalah dalam Deskripsi ‘Ajaib Al-Hind
Muhammad bin Babsyad juga menceritakan padaku jika penduduk local Fanshur, Lamri, Kalah, Qaqulah, Shanfin, dan lainnya itu juga memakan manusia. Akan tetapi mereka tidak memakan kecuali musuhnya, lantaran kebencian bukan karena rasa lapar. Mereka membuat berbagai macam makanan dari daging manusia dan memakannya sembari meminum arak.
Kisah Nakhoda Isma’iluwaih yang terjadi pada tahun 317 H. Ia menempuh pelajaran dari Kalah hingga ke Syihr Luban di Oman selama 41 hari saja. Di tengah perjalanan, dia dihadang perompak berkekuatan 70 kapal. Tiga hari tiga malam bertempur hingga akhirnya berhasil lolos. Sesampai di Oman, pajak yang dikenakan atas komoditas yang diangkut kapalnya senilai 600.000 dinar.
Setelah aku (Buzurg) ingat-ingat lagi, ternyata Sarirah terletak di ujung Pulau Lamri. Antara Sarirah dan Kalah itu berjarak 120 zam (1440 mil laut). Allah Yang Mahasuci Mahatinggi lebih tahu.
Lamri dalam Deskripsi ‘Ajaib Al-Hind
Muhammad bin Babsyad menceritakan penumpang sebuah kapal yang karam. Mereka terpaksa berjalan dari arah Fanshur ke Lamri. Mereka tidak berani berjalan pada malam hari lantaran takut akan seekor jerapah. Hewan ini tidak muncul di siang hari. Ketika malam tiba, mereka segera memanjat pohon yang besar lantaran takut hewan itu. Mereka merasakan hewan itu pada malam hari berputar-putar di sekitar mereka. Siang harinya bisa didapati dengan mudah jejaknya di pasir pantai. Di pulau itu terdapat semut yang banyak sekali. Apalagi di Pulau Lamri, semutnya tak terhitung banyaknya.
Muhammad bin Babsyad juga menceritakan padaku jika penduduk local Fanshur, Lamri, Kalah, Qaqulah, Shanfin, dan lainnya itu juga memakan manusia. Akan tetapi mereka tidak memakan kecuali musuhnya, lantaran kebencian bukan karena rasa lapar. Mereka membuat berbagai macam makanan dari daging manusia dan memakannya sembari meminum arak.
Isma’iluwaih bin Ibrahim bin Mirdas sang Nakhoda bercerita kepadaku. Ia adalah nakhoda negeri emas yang tersisa. Ia yang dikenal sebagai Isma’iluwaih ipar Asykutin. Ia bercerita bahwa suatu ketika ia sedang dalam pelayaran menuju negeri emas. Posisinya saat itu berada di dekat daratan, di dekat Lamri. Lantaran kapal mengalami kerusakan, maka kapal harus diberhentikan. Maka ia membuang jangkar besar ke laut, agar kapalnya berhenti. Akan tetapi kapalnya masih saja terus bergerak. Tidak diketahui sebabnya. Maka ia memerintahkan kepada penyelam untuk turun memeriksa jangkar sambil berpegangan pada tali jangkar. Ketika si penyelam hendak turun, ia melihat ternyata jangkarnya dijepit dan dipermainkan oleh seekor kepiting besar. Maka seluruh awak kapal berseru-seru dan melemparinya dengan batu. Lalu jangkar itu diangkat dan dilemparkan ke sisi lain. Padahal berat jangkar itu mencapai enam ratus man atau lebih.”
Sarirah dalam Deskripsi ‘Ajaib Al-Hind
Setelah aku (Buzurg) ingat-ingat lagi, ternyata Sarirah terletak di ujung Pulau Lamri. Antara Sarirah dan Kalah itu berjarak 120 zam. Allah Yang Mahasuci Mahatinggi lebih tahu. Aku diberitahu jika teluk Sarirah itu menjorok masuk ke daratan sejauh lima puluh farsakh. Terletak di muara sebuah sungai yang luas sekali melebihi luasnya sungai Dijlah Bashrah. Airnya tawar seperti air sungai Dijlah Bashrah. Tidak ada teluk di pulau ini yang lebih jauh menjorok ke dalam daripada teluk Sarirah. Pasang surut air laut terjadi selama dua belas jam. Di dalam teluk ini terdapat banyak buanya. Pemukiman penduduk Sarirah itu sebagiannya dibangun di daratan, sementara kebanyakannya terapung di air. Dibangun di atas kayu yang diikat seperti rakit, tidak lapuk selamanya. Hal itu lantaran sering sekali terjadi kebakaran lantaran rumah-rumah tersebut seluruhnya terbuat dari kayu. Sehingga jika ada sedikit saja yang terkena api maka seluruh rumah akan langsung terbakar. Maka dari itu, rumah-rumah itu pun dibangun terapung di air. Jika terjadi kebakaran, maka pemilik rumah bisa langsung memotong jangkar rumahnya dan segera berpindah ke sisi lain untuk menyelamatkan diri. Terkadang bisa jadi ada yang tidak suka dengan tetangganya maka ia berpindah ke komplek lainnya. Rumah-rumah itu berbaris berderet-deret di teluk itu, terlihat seperti jalanan. Air yang mengalir di antara rumah-rumah itu deras sekali. Airnya tawar karena bersumber dari atas (gunung) lalu mengalir hingga ke teluk dan bermuara di laut, seperti sungai Dijlah.”
Zabaj Maharaja dalam Deskripsi ‘Ajaib Al-Hind
Abu Abdillah Muhammad bin Babsyad bin Hiram bin Hammuyah As-Sirafi menceritakan bahwa Marduyah bin Zarabakht seorang nahkoda Cina dan Negeri Emas menceritakan: “Suatu ketika beliau telah berlayar melalui dekat Pulau Zabaj. Ada dalam beberapa hari itu beliau telah melalui di antara dua tanduk yang muncul dari dalam laut seperti dua bukit dalam air. Sebaik saja melepasinya, maka kedua tanduk itu tenggelam kedalam laut. Maka beliau mengira bahwa kedua bukit itu adalah sepit ketam yang besar…….”
Telah memberitahuku Abu Muhammad, Al-Hasan bin Amru yang ada sebagian nahkoda telah memberitahunya bahwa dirinya pernah menyediakan kapal untuk berlayar ke Zabaj. Lalu entah macam mana angin telah membelokkan mereka ke sebuah kampung daripada salah satu pulau-pulau Waq-Waq.
Al-Hasan bin Amru dan selain beliau telah memberitahuku daripada sekumpulan orang tua-tua di Benua Hindi tentang ihwal burung di Hind, Zabaj, Qamar, Sanfa, dan beberapa tempat lainnya di sekitar kawasan tersebut cerita yang sangat hebat. Bulu burung yang paling besar pernah aku lihat adalah sepotong batang bulu pelepah yang dibuat bekas air milik Abul Abbas As-Sirafi, panjangnya lebih kurang dua hasta. Kami mengukurny dan mendapati air boleh diisi air bersamaan dengan sembilan qirbah air.
Saudagar Yunus bin Mihran As-Sirafi telah memberitahuku dan beliau pernah masuk ke Zabaj, katanya: “Aku telah melihat di negeri yang menjadi tempat bersemayam Maharaja, yaitu raja bagi Zabaj, pasar-pasar yang besar sekali begitu banyak tidak terhitung jumlahnya. Aku mengira-ngira jumlah penukar uang di pasar di negeri ini ada sebanyak delapan ratus penukar uang. Jumlah itu tidak termasuk penukar uang yang berselerakan di pasar-pasar. Beliau juga telah menceritakan perkara-perkara berkenaan Pulau Zabaj dari segi pembangunannya serta banyaknya negeri dan penempatan-penempatan didalamnya memang sulit untuk digambarkan.”
Diceritakan kepadaku bahwa seorang laki-laki bernama Abu Tahir Al-Baghdadi telah bercerita katanya: “Aku pernah masuk ke Zabaj. Diantara negeri dalam Pulau Zabaj itu ada sebuah negeri namanya Mazfawid?. Disitu terdapat banyak sekali ‘anbar. Barangsiapa yang mengangkut ‘anbar dari sana dengan kapalnya lalu coba keluar dari negeri itu pasti tidak akan berjaya bahkan akan kembali berpatah balik kesana…….”
Diantara ada Raja-Raja Negeri Emas dan Zabaj bahwa tidak dibenarkan seorangpun, baik dia itu orang muslim, orang asing atau rakyat setempat duduk di hadapan mereka melainkan dengan cara melipatkan kaki, yaitu yang dinamakan oleh mereka sebagai ‘bersila’. Barangsiapa yang melunjurkan kakinya atau duduk dengan cara yang lain akan dikenakan denda yang berat mengikut kadar harta yang dimilikinya….
Aku telah mendengar mereka yang menceritakan bahwa ada seorang laki-laki daripada Basrah yang tinggal di deretan perumahan Quraisy telah keluar berlayar daripada Basrah sehingga sampai berhampiran Zabaj atau dekat-dekat sana……. Dia telah Berjaya selamat dan terdampar ke sebuah pulau………