Rihlah Al-Sirafi adalah kisah perjalanan Sulaiman Al-Tajir yang berdagang ke Cina pada tahun 237 H, dan kisah perjalanan Ibnu Wahab Al-Qurashi yang berkelana ke Cina pada tahun 257 H. Kedua kisah ini lalu ditulis dan dikumpulkan oleh Abu Zaid Al-Sirafi (w. sebelum 330 H) bersama dengan kisah-kisah perjalanan lainnya.
Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan Sulaiman Al-Tajir. Hanya saja diketahui jika ia sering kali berdagang pulang pergi ke Hind dan Cina. Salah satu perjalanannya tercatat dilakukan pada tahun 237 H. Dua puluh tahun berikutnya, Ibnu Wahab Al-Qurashi, seorang saudagar dari Basrah, lantaran situasi politik saat itu memutuskan pergi ke Cina. Saat itu, para pemberontak Zanj menguasai kota Basrah. Ia sampai di ibukota Cina, disebutnya Khumdan, pada tahun 257 H. Ia tercatat sempat berdialog dengan Kaisar Cina. Kisah perjalanannya ini cukup siginifikan karena tujuh tahun berikutnya koloni dagang Arab di Kanton dibumihanguskan lantaran perang saudara yang terjadi di Cina.
Pada awal abad keempat hijriah atau kesepuluh masehi, kedua kisah tersebut, ditambahkan dengan kisah-kisah lain, lalu dikumpulkan dan dicatat oleh Abu Zaid Hasan Al-Sirafi. Sebagai penduduk Basrah, ia bukanlah seorang penjelajah maupun cendekiawan. Ia hanyalah seorang yang menyukai kisah-kisah perjalanan seperti tersebut yang cukup mudah diperoleh baik di kota kelahirannya, Siraf, maupun di tempat menetapnya, Basrah. Ia sempat bertemu dengan Al-Mas’udi pada tahun 303 H.
Hanya ada satu manuskrip Rihlah Al-Sirafi di dunia, disimpan di Perpustakaan Nasional Paris, Perancis, bernomor 2281. Terdiri dari dua bagian, bagian pertama merupakan kisah Sulaiman Al-Tajir sementara bagian kedua ditulis oleh Abu Zaid Hasan Al-Sirafi. Salinannya juga disimpan oleh Perpustakaan Nasional Qatar, Doha.
Eusebius Renaudot telah mengkaji dan menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Inggris dengan judul Ancients Accounts of India and China by Two Mohammedan Travellers yang diterbitkan pada tahun 1733 di London. Lalu disusul Reinaud yang mengkaji dan menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Perancis dan menerbitkannya pada tahun 1817. Sebelumnya pada tahun 1811, seorang orientalis bernama Langles telah mencetak teks Arab tulisan tangan tersebut. Maka kemudian Reinaud mencetak ulang teks tersebut bersama dengan pengantar dan terjemahannya ke dalam bahasa Perancis lalu menerbitkannya pada tahun 1845 dengan judul Relation des voyages faits par les Arabes et les Persians dans I’Linde et a la Chine dans le Ixe siecle de l’ere chretienne. Lalu tahun 1922, Gabriel Ferrand menerbitkan terjemahan berbahasa Perancis yang baru disertai dengan pengantar yang panjang lebar. Kemudian tahun 1948, Jean Sauvaget mengkaji dan menerjemahkan bagian pertama saja yaitu kisah perjalanan Sulaiman Al-Tajir.
Pada tahun 2014, New York University Press, bersama dengan terjemahan berbahasa Inggris catatan perjalanan Ibnu Fadhlan oleh James E. Montgomery, menerbitkan edisi terjemahan berbahasa Inggris oleh Tim Macintosh-Smith. Edisi ini diberi judul Two Arabic Travel Books; Accounts of India and China and Mission to the Volga. Pada tahun 2017, New York University Press menerbitkan kembali edisi terjemahan berbahasa Inggris karya Tim Macintosh-Smith. Edisi tersebut diberi kata pengantar oleh Zvi Ben-Dor Benite dan diedit oleh Philip F. Kennedy. Terakhir, pada tahun 2017, Arsyad Mokhtar menerbitkan cetakan pertama terjemahan Rihlah Al-Sirafi dalam bahasa Melayu yang diterbitkan oleh Baytul Hikma, Pulau Pinang, Malaysia. Edisi 2020 pdf terjemahan tersebut dapat diperoleh secara cuma-cuma di laman-laman internet.
Para cendekiawan Arab juga telah berupaya mengkaji dan menerbitkan manuskrip tersebut. Pada tahun 1991, naskah tersebut dikaji dan diterbitkan oleh Ibrahim Al-Khuri dengan judul Akhbar Al-Shin wa Al-Hind. Pada tahun 1999, kedua bagian naskah tersebut kembali diterbitkan oleh Al-Mujamma’ Al-Thaqafi, Abu Dhabi berdasarkan kajian Abdullah Al-Habashi dengan judul Rihlah Al-Sirafi. Pada tahun yang sama, naskah tersebut juga diterbitkan oleh Al-Dar Al-Mishriyah Al-Lubnaniyah berdasarkan kajian Yusuf Al-Sharuni dengan judul Akhbar Al-Shin wa Al-Hind. Lalu pada tahun 2005, bagian pertama manuskrip tersebut diterbitkan oleh Markaz Ziyad li Al-Thurath wa Al-Tarikh, Abu Dhabi berdasarkan kajian Saif Syahin dari Universitas Qatar.
Fansur dalam Deskripsi Rihlah As-Sirafi
Di laut ini, jika berlayar ke arah Serendib, maka akan mendapati beberapa pulau. Tidak banyak tapi luas sekali. Di antaranya ada pulau yang disebut Ramni (Sumatera). Di pulau ini berkuasa beberapa raja. Disebutkan jika luasnya itu 800 atau 900 farsakh. Di pulau ini terdapat beberapa tambang emas. Ada tambang yang disebut Fansur. Dari situ diproduksi kapur yang berkualitas bagus.
Di sekitar pulau ini terdapat beberapa pulau. Di antara Pulau Nayan/Niyan. Di pulau ini terdapat banyak sekali emas. Penduduknya mengkonsumsi kelapa, dan menggunakannya untuk minyak. Jika penduduknya ada yang ingin menikah maka dia harus memotong kepala musuhnya. Jika bisa membunuh dua orang maka ia menikahi dua wanita, jika bisa membunuh lima puluh maka ia menikahi lima puluh wanita. Hal itu karena musuh mereka itu banyak, sehingga semakin banyak musuh yang dihabisi maka semakin disukai.
Di pulai ini, maksud saya Pulau Ramni, terdapat banyak sekali gajah, lalu tumbuhan kayu secang (ar: baqqam) dan rotan (ar: khaizuran). Di pulau ini juga terdapat orang-orang kanibal; pemakan manusia. Pulau ini terletak di dua laut, Laut Harkand dan Selat.
Setelah menceritakan mengenai kepulauan yang dikuasai oleh raja wanita, As-Sirafi menyatakan, “Kepulauan ini seluruhnya disebut Dibjat. Kelapa dalam jumlah besar diekspor dari kepulauan ini. Ujung dari kepulauan ini adalah Pulau Sarandib. Lalu setelah Sarandib ada banyak sekali pulau dalam wilayah sejauh seribu farsakh, yang dikenal dengan nama Ramni. Kepulauan ini makmur, ada banyak raja-raja di situ, dan banyak sekali tambang emas. Setelah itu ada negeri Fadhur (Fansur), sumber kapur Fadhuri (Fansuri). Kapur akan banyak ditemukan pada tahun yang sering terjadi badai petir, kilat, hujan meteor, tremor dan gempa bumi. Jika tidak maka akan sedikit saja jumlahnya.
Kalah dalam Deskripsi Rihlah As-Sirafi
Kemudian kapal-kapal berangkat dari Kollam Mali menuju Laut Harkand. Jika laut ini sudah dilewati maka kapal-kapal akan sampai di lokasi yang disebut Kalah Bar. Antara lokasi ini dengan Laut Harkand terdapat pulau-pulau yang dihuni oleh bangsa yang disebut Lang/Ling. Bahasa mereka tidak bisa dipahami sama sekali. Mereka tidak mengenakan pakaian apapun. Para lelakinya berjenggot tapi tidak bercambang. Para wanitanya tidak pernah terlihat. Mereka menukar amber dengan batangan-batangan besi. Mereka keluar menuju kapal-kapal dagang menaiki perahu-perahu mengangkut kelapa. Air kelapa ini berwarna putih. Jika langsung diminum akan terasa manis seperti madu. Jika dibiarkan selama sehari akan membuat mabuk. Jika dibiarkan berhari-hari akan membeku. Mereka menukar kelapa-kelapa itu dengan besi. Mereka melakukan transaksi dengan isyarat dan secara tunai. Mereka mahir sekali berenang. Terkadang mereka mengambil begitu saja besi-besi yang ditawarkan oleh pedagang tanpa menukarnya dengan apapun.
Kemudian kapal berlayar menuju suatu tempat yang disebut Kalah Bar. Wilayah kerajaan (daratan) dan pesisirnya semuanya disebut Kalah Bar; yaitu Kerajaan Zabij. Terletak di sebelah kanan negeri India. Penduduk setempat disatukan oleh seorang raja. Mereka semua memakai selembar kain sarung, kalangan bangsawan maupun rakyat jelata. Disana kapal-kapal memuat perbekalan air bersih dari sumur-sumur air tawar. Masyarakat setempat lebih suka air sumur daripada mata air maupun air hujan. Jarak antara Kollam Mali, yang letaknya dekat dengan Harkand, dengan Kalah itu sejauh satu bulan perjalanan.
Zabaj dalam Deskripsi Rihlah As-Sirafi
Mereka menyebutkan bahwa berhampiran Zabaj terdapat sebuah gunung yang dinamai Gunung Berapi. Gunung itu tidak dapat dihampiri atau mendekatnya. Pada waktu siang kelihatan asap berkepul keluar daripadanya, sementara pada waktu malam pula terlihat lidah api. Di kaki gunung itu keluar air mata air yang sejuk lagi tawar, juga air mata air yang panas serta tawar.
Kemudian kita mulai mendeskripsikan kota Zabaj. Kota Zabaj ini berbatasan dengan negeri Cina. Jarak antara keduanya sejauh satu bulan perjalanan atau kurang jika angin bertiup kencang. Rajanya digelari Maharaja. Taksirnya kira-kira sembilan ratus farsakh. Raja ini berkuasa atas banyak sekali pulau. Luas seluruh kerajaannya itu kira-kira seribu farsakh atau lebih. Di kerajaannya itu ada sebuah pulau yang dikenal sebagai Pulau Sarirah, taksirnya kira-kira empat ratus farsakh. Juga pulau yang dikenal sebagai Pulau Rami, taksirnya delapan ratus farsakh. Di pulau ini tumbuh buqur, kamfer dan lain-lain.
Di kerajaannya itu juga terdapat Pulau Kalah. Pulau ini terletak tepat di tengah-tengah antara Cina dan negeri Arab. Taksirnya kira-kira delapan puluh farsakh. Di Kalah ini banyak terdapat komoditas seperti kemenyan, kafur, cendana, kayu jati, timah putih, kayu hitam, buqur, segala macam rempah-rempah, dan masih banyak komoditas lain yang tidak bisa disebutkan di sini karena banyak sekali. Pada masa ini, kapal-kapal Oman hilir mudik bolak-balik berlayar ke Kalah ini. Maharaja ditaati di penjuru pulau-pulau ini. Pulau yang menjadi tempat kediamannya itu amat subur dan pemukimannya teratur.
Orang yang bisa kita percaya menceritakan jika ada seekor ayam jago yang berkokok di waktu sahur, seperti ayam jago kita, maka akan bersahut-sahutan kokoknya hingga seratus farsakh lebih. Hal itu lantaran pemukimannya saling bersambung dan berhubungan, tidak ada yang ditinggalkan dan tidak ada yang hancur. Jika ada yang hendak bepergian, maka dia bisa berangkat kapan saja dan jika sudah Lelah maka ia bisa beristirahat di mana saja.
Bagaimana Maharaja Menyimpan dan Membagikan Emas
Di antara hal menakjubkan yang diceritakan kepada kami mengenai Pulau Zabaj ini yaitu bahwa dahulu sekali ada salah seorang Maharaja yang istananya berada di teluk yang menjorok ke daratan, seperti Madinatu As-Salam yang terletak di lembah Dijlah, dan kota Bashrah. Di situ adalah tempat pertemuan air laut dan air tawar. Ada sebuah palung kecil yang menempel dengan istananya. Tiap hari, Kahraman sang Raja pergi menuju palung kecil itu membawa sebuah bata yang terbuat dari emas. Saya tidak bisa memperkirakan berapa beratnya. Lalu Kahraman itu melemparkan batangan emas itu ke palung kecil itu dengan disaksikan oleh sang Raja. Jika air pasang datang maka batangan-batangan emas yang terkumpul di situ akan tertutupi. Jika pasang surut maka akan terlihat kilauan tumpukan batangan emas yang ada di situ. Sang Raja menyaksikan dan mengawasi tumpukan batangan emas itu ketika sedang duduk di sebuah balkon yang menjulur ke arah palung kecil itu. Demikan setiap hari satu batangan emas dilemparkan ke dalam palung kecil itu sepanjang masa hidup sang Raja, tidak disentuh sedikitpun. Jika sang Raja wafat, maka penerusnya akan mengambil seluruh batangan emas yang terkumpul di situ, tidak tersisa sedikitpun. Batangan emas itu lalu dilebur dan dibagi-bagikan kepada seluruh keluarga kerajaan, laki-laki maupun wanita, besar kecil, pembesar maupun pembantu, sesuai dengan kedudukannya masing-masing yang telah ditentukan. Jika ada sisa maka dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang lemah. Kemudian jumlah dan berat seluruh batangan emas itu dicatat sebagai berikut, Fulan Raja pada tahun sekian dan sekian telah meninggalkan batangan emas di palung kecil kerajaan sekian dan sekian yang lalu dibagikan kepada seluruh keluarga kerajaan sepeninggalnya. Jadi yang paling dibanggakan adalah yang paling lama masa kekuasaannya dan paling banyak jumlah batangan emas yang diwariskannya.
Kisah Antara Raja Khmer dan Wazirnya Dengan Raja Zabaj
Diceritakan jika dahulu sekali ada Raja Khmer yang menduduki singgasana Khmer. Raja ini masih mudah dan ceroboh. Suatu hari ia duduk di singgasananya didampingi wazirnya mengawasi lembah yang dialiri air tawar, seperti Dijlah di Irak. Jarak antara istananya dengan laut itu sejauh satu hari perjalanan saja. Sang Raja lalu berkata kepada wazirnya, di sela pembicaraan keduanya mengenai keagungan Kerajaan Maharaja yang amat ramai dan padat penduduknya serta menguasai berbagai pulau. Sang Raja berkata, “Saya ingin melihat kepala Maharaja, raja Zabaj itu, tergeletak di baskom di hadapan saya.” Sang Wazir menyadari jika ucapannya itu timbul dari rasa dengki yang muncul pada diri Sang Raja. Wazir lalu berkata, “Wahai Raja, saya tidak suka muncul pikiran demikian dalam diri anda. Tidak ada perselisihan yang terjadi antara kita dan mereka, tidak lantaran ucapan dan tidak juga lantaran tindakan. Kita juga tidak melihat keburukan pada diri mereka. Lagipula mereka tinggal di pulau yang jauh sekali dari wilayah kita. Mereka juga tidak tamak dengan kerajaan kita. Ucapan seperti itu tidak seharusnya terlontar dari seseorang, apalagi raja seperti anda.” Tapi sang Raja malah murka dan tidak mendengar nasihat wazirnya itu. Lalu sang Raja mengungkapkan keinginannya itu kepada para komandan dan orang-orang yang hadir pada saat itu.
Kabar itu pun tersebar luas hingga sampai di telinga sang Maharaja. Ia adalah seorang yang bersemangat dan berpengalaman luas. Umurnya masih pertengahan saja. Sang Maharaja lalu memanggil wazirnya dan memberitahu berita yang didengarnya itu. Ia berkata, “Berita yang sudah tersebar luas ini dari si raja bodoh yang sembrono dan masih muda itu mengenai keinginannya itu, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena jika dibiarkan saja maka akan mengurangi kewibawaan seorang raja.” Sang Maharaja memerintahkan wazirnya untuk bungkam dengan dialog keduanya itu. Selanjutnya ia memerintahkan wazirnya untuk menyiapkan seribu kapal berukuran sedang lengkap dengan segala perlengkapan perangnya. Kapal-kapal itu diperintahkannya untuk dipenuhi dengan senjata dan prajurit-prajurit pemberani. Ia memperlihatkan jika hendak menginspeksi pulau-pulau yang di bawah kekuasaannya. Ia mengirim surat kepada raja-raja yang tunduk kepadanya memberitahukan tujuannya yaitu untuk mengunjungi mereka dan menginspeksi pulau-pulau yang berada di bawah kekuasaannya. Berita itu tersebar luas. Setiap raja yang berkuasa di pulau-pulau itu bersiap-siap untuk menyambut Sang Maharaja dengan sambutan yang layak.
Kemudian setelah segalanya siap, ia menaiki kapal dan menyeberang ke Kerajaan Khmer dengan seluruh pasukannya. Ia dan seluruh pasukannya itu suka sekali bersiwak (mengunyah sirih, penj.). Dalam sehari, kegiatan itu bisa dilakukan berkali-kali. Setiap mereka itu pasti membawa siwaknya itu maupun dibawakan oleh budaknya. Sehingga si Raja Khmer tidak menyadari serbuan tiba-tiba tersebut. Sang Maharaja dengan seluruh pasukannya menyerbu lembah yang menuju ke istana Raja Khmer secara tiba-tiba hingga berhasil menguasai istana dan menawan Raja Khmer. Penduduk Khmer berlarian pontang-panting ke segala arah lantaran serbuan mendadak itu. Sang Maharaja lalu duduk di singgasan Raja Khmer. Raja Khmer dan wazirnya diseret kehadapannya. Maharaja lalu bertanya kepada Raja Khmer, “Apa maksudmu menginginkan sesuatu yang tidak bisa kamu raih, lalu kamu tidak bisa melaksanakannya meskipun mendapatkannya, dan tidak ada faktor pendorong apapun untuk melaksanakannya? Raja Khmer bungkam saja, tidak bisa menjawab. Kemudian Maharaja berkata, “Jika maksud keinginanmu melihat kepalaku ada di baskom itu adalah hendak menguasai kerajaanku atau merebut sejengkal saja wilayahnya maka akan aku sambut kamu di medan tempur. Akan tetapi sayangnya yang kamu inginkan itu sesuai dengan ucapanmu itu. Maka aku akan berbuat demikian padamu, lalu aku kembali ke negeriku tanpa menyentuh sedikitpun kekuasaanmu, agar hal itu menjadi pelajaran bagi orang-orang setelahmu. Setiap orang itu hendaknya tidak melampaui kadar dan takdir yang telah ditentukan atasnya, dan hendaknya memanfaatkan hidupnya itu sebaik-baiknya.” Kemudian dipenggallah kepala Raja Khmer.
Kemudian Maharaja menghadap wazir Raja Khmer tadi dan berkata, “Anda memang wazir terbaik. Saya tahu jika anda telah menasihati rajamu itu dengan baik. Andai saja ia mau mendengar nasihatmu itu. Jadi pilihlah siapa yang menurut pandanganmu cocok untuk menggantikan si bodoh itu.”
Lalu Maharaja langsung berkemas kembali ke negerinya tanpa merampas, ia dan seluruh pasukannya, sejengkalpun negeri Khmer.
Sesampainya di negerinya, ia lalu duduk di singgasananya mengawasi palung kecilnya itu, dan meletakkan baskom berisi kepala raja Khmer. Ia lalu mengundang para pembesar dan punggawa istananya dan menceritakan kisahnya dengan segala sebab yang mendorongnya melakukan aksinya itu. Maka seluruh pembesar dan punggawa istananya itu berterima kasih dan mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian ia memerintahkan kepala Raja Khmer itu untuk dimandikan, diberi wewangian, diselimuti dengan sebaik-baiknya dan dikembalikan kepada raja Khmer penggantinya.
Maharaja menulis kepada raja Khmer pengganti itu, “Yang mendorongku melakukan aksiku terhadap pendahulumu itu adalah lantaran ia bertindak sewenang-wenang kepadaku sekaligus sebagai pelajaran kepada orang-orang sepertinya. Kami sudah merasa cukup dengan tindakan kami itu. Kami memandang jika kepala ini dikembalikan saja karena tidak ada perlunya menyimpan kepala itu dan tidak ada kebanggaan di dalamnya.”
Kisah ini lalu terdengar oleh raja-raja Cina dan India, sehingga Sang Maharaja pun menjadi masyhur dengan keagungannya. Setelah itu, setiap pagi raja-raja Khmer lalu berdiri menghadap Negeri Zabaj dan membungkuk hormat dengan keagungan Sang Maharaja.
Berdasarkan apa yang telah kami urutkan tadi, maka setelahnya yaitu Laut Shinf. Di laut ini terdapat daerah kekuasaan Maharaja, raja kepulauan. Kekuasaan kerajaannya itu tidak bisa ditentukan, lantaran luas sekali. Pasukannya tak terhitung banyaknya. Tidak ada yang bisa berputar mengelilingi seluruh pulau yang dikuasainya dalam dua tahun meskipun menggunakan kapal paling cepat sekalipun. Sang Raja ini memproduksi berbagai macam rempah-rempah dan wewangian. Tidak ada yang menyamai kekayaannya. Di antara produk yang dihasilkan lalu diimpor dari tanah kekuasaannya yaitu kamfer, gaharu, cengkeh, cendana, pala, kapulaga, dan lain-lain rempah-rempah yang tidak kami sebutkan. Kepulauan yang dikuasainya bersambung dengan sebuah samudera luas tak bertepi, yaitu yang terletak di dekat Laut Cina.
Di pojok-pojok kepulauannya terdapat banyak sekali gunung. Di gunung-gunung itu bertempat tinggal orang yang bertindik telinganya. Wajah mereka putih, seperti tameng yang ditempa. Mereka mencukur rambutnya seperti wadah kulit yang dibersihkan bulunya (beralur-alur, penj.). Setiap hari, siang dan malam, api memancar keluar dari gunung itu. Di siang hari terlihat api yang menyala-nyala, sementara di malam hari asap mengepul bergulung-gulung naik ke langit, sembari mengeluarkan gelegar suara yang keras sekali. Terkadang terdengar suara gelegar yang keras dan mengagetkan yang menandakan matinya raja mereka. Terkadang suaranya lebih pelan sedikit yang menandakan matinya seorang pembesar mereka. Semua itu diketahui dari kebiasaan yang sudah berlaku dari sejak dahulu kala, tidak berubah sedikitpun. Gunung ini adalah salah satu dari gunung-gunung besar di dunia.
Lalu setelah itu ada pulau yang setiap saat terdengar suara genderang, seruling, nyayian dan segala macam bentuk hiburan dan perayaan. Terdengar juga suara tepuk tangan dan hentakan tarian. Yang mendengarnya bisa membeda-bedakan suara segala macam bentuk hiburan dan perayaan. Para pelaut yang melewati perairan ini menyangka jika dajjal berasal dari pulau ini.
Di kerajaan Maharaja terdapat pulau Sarirah. Panjangnya mencapai empat ratus farsakh. Bangunan dan pemukimannya saling bersambung. Maharaja juga menguasai Pulau Ranij, Rami dan banyak lagi pulau-pulau lain yang tak terhitung. Dia adalah penguasa lautan keenam ini yaitu Laut Shinf.