Lokasi penemuan
Batu nisan ini ditemukan di Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, di sebuah ladang cabai milik warga yang berlokasi tidak jauh dari badan jalan Krueng Raya-Laweung, di atas sebuah bukit, tidak jauh dari batu nisan Shadrul Islam Ismail. Penemuan ini hasil kerjasama antara CISAH (Center for Information of Samudra Pasai Heritage) dengan Mizuar Mahdi.
Kondisi
Kondisi batu nisan cukup baik. Inskripsi dapat dibaca dengan cukup jelas. Ornament juga masih terlihat utuh.
Tipe Batu Nisan
Batu nisan ini bertipe plang-pleing. Nisan ini berbentuk persegi panjang pada bagian atas permukaan tanah. Sekilas, nisan ini menyerupai tugu. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, maka bagian puncaknya terlihat lebih mirip penutup kepala.
Bahan
–
Dimensi
–
Ornamen
Bagian dasar batu nisan masih berupa batu yang dipahat kasar saja. Inskripsi terdapat pada sisi muka dan balik batu nisan, sedangkan ornament terdapat pada bagian sisi kiri dan kanan batu nisan. Ornamen berupa motif floris, yang jika disandingkan maka akan terlihat seperti dicerminkan. Inskripsi menggunakan khat (gaya tulisan) yang serupa dengan khat batu nisan Shadrul Islam Ismail dengan kualitas lebih rendah.
Inskripsi
Konteks
(1)
Hanya satu nisan yang ditemukan untuk makam ini. Sekilas, nisan ini menyerupai tugu. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, maka bagian puncaknya terlihat lebih mirip penutup kepala. Penutup kepala semacam ini tampaknya, digunakan secara khusus oleh seseorang yang memegang jabatan tertentu.
Lokasi makam yang berjarak tidak jauh dari makam Qadhi Isma’il memunculkan praduga jika pemilik makam juga seorang qadhi. Lantas, apakah penutup kepala seperti ini yang dipakai oleh seorang qadhi di Kerajaan Lamuri?
Al-Qalqasyandiy menyebutkan, para qadhi dan ulama di zamannya (paroh pertama abad ke-15) memakai sorban dengan lilitan-lilitan yang besar sekali. Sebagian mengulur ujung sorbannya ke bagian antara dua pundak sampai menyentuh lengkung pelana tunggangannya. Ada juga yang tidak mengulur ujung sorban, tapi memakai kain selendang (selempang) yang bermutu. Para hakim agung (qadhi al-qudhah) dari mazhab Syafi’iy dan Hanafiy berbeda dengan lainnya. Mereka memakai kain lagi di atas sorban, yang menutupi sorban sampai punggung mereka.
Penutup kepala para qadhi dan ulama di Mesir pada masa yang sezaman dengan Kerajaan Lamuri memang tampak berbeda sekali dengan bentuk penutup kepala yang ditampilkan pada pahatan puncak nisan ini. Akan tetapi, paling tidak, dapat diperkirakan bahwa para qadhi dan ulama di Kerajaan Lamuri juga memiliki penutup kepala atau pakaian yang membedakan mereka dengan elemen masyarakat lainnya.
(2)
“Inilah kubur hamba yang lemah (Al-‘Abdu Adh-Dha’if).”
Pengungkapan atau penyifatan yang menunjukkan sikap merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini tidak terlepas dari maksud-maksud mendidik (alqab tarbawiyyah). Dalam sejarah Islam, hal ini dapat dicermati pula dalam sejarah Sultan Nuruddin Mahmud bin Zankiy (w. 569 hijriah).
Hasan Al-Basya mengatakan bahwa senjata efektif yang digunakan Nuruddin dan Shalahuddin Al-Ayyubiy (w. 589 hijriah) dalam menghadapi bahaya Salibis ialah membangkitkan semangat jihad pada rakyat mereka. Ini dilakukan keduanya dengan cara membimbing rakyat kepada Allah, serta kepada berbagai budi pekerti yang dimiliki oleh generasi Islam pertama. Keduanya berusaha mendidik dan menanamkan berbagai budi pekerti itu dalam jiwa rakyat.
Dalam masa-masa itu pula, Nuruddin menyuruh untuk meniadakan penyebutan berbagai gelar berlebihan untuknya dalam doa khutbah. Ia hanya membolehkan gelar-gelar yang benar, tanpa dilebih-lebihkan, dan akhirnya ia menyetujui agar doa yang diucapkan untuknya di atas mimbar ialah:
اللھم أصلح عبدك الفقیر إلى رحمتك الخاضع لھیبتك المعتصم بقوتك المجاھد في سبیلك المرابط لأعداء دینك أبا القاسم محمود بن زنكي بن آق سنقر ناصر أمیر المؤمنین
“Ya Allah, perbaikilah hamba-Mu yang memerlukan rahmat-Mu, yang tunduk di bawah kebesaran-Mu, yang berlindung dengan kekuatan-Mu, yang berjuang di jalan-Mu, yang bertahan di depan musuh-musuh agama-Mu, Abu Al-Qasim Mahmud bin Zankiy bin Aq Sunqur, pembela Amirul Mukminin.”
Dari sini, dapat diamati bahwa dalam sejarah Islam, penggelaran juga terkadang dipengaruhi oleh situasi-situasi tertentu. Penyebutan Al-‘Abd Adh-Dha’if (hamba yang lemah) pada nisan ini, dengan demikian, juga mensinyalir suatu situasi sulit yang tengah dihadapi Kerajaan Lamuri. Yakni situasi yang menuntut setiap orang untuk merendahkan diri kepada Allah dan kembali kepada semangat Islam yang awal.
(3)
Pemilik makam digelar dengan Sirajul Muluk (suluh para raja).
Tradisi penggelaran dengan meng-idhafat-kan sebuah kata kepada kata al-muluk dan as-salathin muncul pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Dalam masa tersebut, gelar-gelar semisal ‘Umdatul Muluk wa As-Salathin, ‘Iddatul Muluk, Dzakhiratul Muluk, Ikhtiyarul Muluk diberikan kepada para amir dan orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam negara.
Namun, gelar dengan memakai kata siraj yang di-idhafat-kan kepada kata ad-daulah dan ad-din sudah terlebih dahulu digunakan. Gelar Siraju Ad-Daulah telah diberikan untuk para amir dari Dinasti Ghaznawiyyah sebagaimana gelar Sirajud Ad-Din disebutkan untuk Qadhi Abu Ats-Tsurayya Najm bin Ja’far pada sebuah ukiran dalam Masjid Ahmad bin Thulun bertarikh bulan Syawwal 526 hijriah.
Pada masa Dinasti Mamalik, gelar Siraj Ad-Din ini sudah popular untuk kalangan para qadhi dan ulama. Bahkan pada masa-masa awal dinasti ini, gelar ini secara khusus digunakan untuk orang yang bernama Umar.
Gelar Sirajul Muluk, dengan demikian, dapat dikatakan sebagai perkembangan mutakhir dari gelar Siraj Ad-Daulah dan Siraj Ad-Din, dan telah digunakan di Kerajaan Lamuri pada masa yang sezaman dengan Dinasti Mamalik Burjiyah di Mesir.
Ini, pada gilirannya, menguatkan praduga tadi (komentar 1) bahwa pemilik makam adalah seorang qadhi di Kerajaan Lamuri. Makna gelar Sirajul Muluk, suluh para raja, juga mendukung hal ini lantaran posisi qadhi dalam kerajaan adalah sebagai penasehat penguasa. Qadhi Abu Yusuf, misalnya, dapat dikatakan sebagai penasehat istana khalifah pada masa Harun Ar-Rasyid. Khalifah mengangkat wali-walinya di Irak, Khurasan, Syam dan Mesir atas petunjuk Abu Yusuf, dan Al-Kharraj yang ditulis ulama ini juga merupakan bukti ia adalah penasehat Harun Ar-Rasyid.
Boleh jadi juga, kemudian, orang yang digelar dengan Sirajul Muluk di Kerajaan Lamuri ini bernama Umar sebagaimana tradisi penggelaran yang berlaku pada awal-awal pemerintahan Dinasti Mamalik di Mesir.
(4)
Kaligrafi Arab pada nisan ini memang tidak sebaik kualitas kaligrafi pada nisan Qadhi Isma’il. Mungkin, ini juga merupakan dampak dari situasi sulit yang tengah dihadapi Kerajaan Lamuri pada masa wafat Sirajul Muluk. Karena itu pula, inskripsi ayat Al-Qur’an surah Ash-Shaf ayat 13 tampak tidak terpahat dengan baik meskipun dapat dikenali dan terbaca.
Makna ayat 13 dari surah Ash-Shaf yaitu: Dan ada lagi karunia yang lain yang kamu sukai, [yaitu] pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat, dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.
Ayat-ayat sebelumnya (10-12) bermakna: Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? [Yaitu], kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu, dan memasukkanmu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan tempat-tempat tinggal yang baik dalam syurga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.
Lewat ayat-ayat 10-13 surah Ash-Shaf ini, Allah seakan mengatakan: Beriman dan berjuanglah wahai orang-orang Mu’min, dan beritakanlah kabar gembira kepada mereka, wahai Rasulullah, tentang karunia-karunia yang telah Kujanjikan kepada orang yang beriman dan berjihad, baik di dunia (‘ajil) maupun di akhirat (ajil).
Pemahatan ayat 13 surah Ash-Shaf pada nisan Sirajul Muluk, dengan demikian, mensinyalir sebuah keadaan sulit yang tengah dihadapi Kerajaan Lamuri di mana kaum mukminin dituntut untuk beriman dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Ini juga bermakna bahwa mereka sedang menanti pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat sebagaimana janji Allah dalam ayat tersebut.
Terdapatnya ayat ini pada nisan Sirajul Muluk menguatkan apa yang sudah pernah disinggung pada komentar no. 1 dan no. 2 mengenai situasi sulit yang dihadapi Kerajaan Lamuri dalam masa-masa menjelang wafat Sirajul Muluk.
(5)
Sayang, penanggalan wafat yang ditemukan pada nisan ini hanya tanggal 14 saja; tidak ditemukan bagian yang menyebutkan bulan dan tahun. Namun, kelak, suatu upaya untuk memperkirakan tahun wafat pemilik makam akan dilakukan dengan cara membandingkan berbagai aspek yang dimiliki nisan ini, semisal bahan baku yang digunakan, bentuk dan ukuran, kaligrafi serta dekorasinya, dengan nisan-nisan lain di Lamreh dan Kuta Leubok yang memiliki penanggalan lengkap.