Situs Bongal merupakan kawasan kepurbakalaan yang secara administratif terletak di Desa Jago-Jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Nama Bongal diambil dari tradisi tutur masyarakat setempat tentang keberadaan pohon-pohon besar di kawasan perbukitannya. Ketinggian bukit diperkirakan sekitar 324 meter diatas permukaan laut. Sedangkan di bagian kaki bukitnya terdapat aliran Sungai Lumut yang bermuara ke Teluk Tapian Nauli (Tapanuli).
Secara geografis, Situs Bongal terletak di sebuah teluk di Pesisir Barat Sumatera Utara. Kawasan perairannya terhubung secara langsung dengan perairan berombak besar Samudera Hindia. Walaupun begitu, kondisi perairan di Situs Bongal cenderung lebih tenang, sebab dihalangi oleh barisan pulau-pulau kecil di bagian luarnya.
Aliran Sungai Lumut yang mengarah ke muara menghasilkan endapan material alam sehingga membentuk dataran pasang surut. Dataran aluvial di kaki Bukit Bongal tersebut kini ditumbuhi oleh tanaman nipah (Nypa fruticans). Kemudian di beberapa bagiannya juga dimanfaatkan untuk masyarakat setempat aktivitas budi daya tanaman komersil seperti karet (Hevea brasiliensis) dan kelapa sawit (Elaesis oleifera).
Desa Jago-Jago yang menempati kawasan Situs Bongal terdiri dari empat dusun. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani ladang. Masyarakat yang menempati wilayah pesisir melakukan aktivitas sehari-harinya dengan melaut, sedangkan masyarakat di pedalaman melakukan aktivitas sehari-harinya dengan budi daya karet maupun sawit.
Aktivitas penggalian emas mengawali dugaan kepurbakalaan Situs Bongal. Sejumlah benda-benda artefaktual ditemukan di lubang-lubang penggalian. Namun sejumlah temuan tersebut belum disadari kandungan nilai sejarahnya. Sebagian masyarakat menjualnya dan sebagian yang lain disimpan sebagai benda koleksi.
Aktivitas penggalian diawal dengan penemuan batu-batuan kerikil yang tak lazim pada tanah ladang masyarakat setempat. Sejumlah masyarakat menduga tanah tersebut memiliki kandungan emas. Dugaan temuan ini kemudian mendorong masyarakat menggali dan mendulangnya hingga didapatkan butiran-butiran emas.
Mulai tahun 2016, temuan kandungan emas menggeser aktivitas masyarakat dari yang bertani ladang menjadi penambang emas. Aktivitas penambangan emas kemudian semakin luas membuka lahan-lahan di kaki Bukit Bongal. Dari kedalaman kurang lebih 3-5 meter temuan artefak dalam jumlah besar semakin tampak dan menunjukkan temuan yang beragam. Seperti koin, keramik, kaca, fragmen kayu, manik-manik, dan struktur kayu nibung.
Nilai sejarah Situs Bongal semakin terungkap ketika sebagian masyarakat menjual temuan artefak yang berupa koin-koin emas dan perak ke Museum Uang Medan. Informasi ini kemudian sampai ke sejumlah kalangan arkeolog dan sejarawan. Menanggapi informasi tersebut, Sultanate Institute berinisiatif melakukan ekspedisi lapangan ke lokasi temuan artefak Situs Bongal.
Sultanate Institute mengawali ekspedisi tersebut di akhir tahun 2020 menggandeng sejumlah kalangan terkait. Diantaranya Taqiyuddin Muhammad (sejarawan dan epigraf batu nisan Aceh/Mapesa), Dr. Ery Soedewo (arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Utara), dan Dr. Phil. Ichwan Azhari (sejarawan Universitas Negeri Medan).
Awal tahun 2021, Sultanate Institute memulai kerjasama penelitian bersama Balai Arkeologi Sumatera Utara. Sultanate Institute bersama tim peneliti arkeolog memulai langkah ekskavasi untuk menguji dugaan-dugaan yang muncul.
Dua puluh tahun sebelumnya, tepatnya tahun 2001, tim peneliti Balai Arkeologi Sumatera Utara telah melakukan survey permukaan dan pendataan tinggalan sejarah dan purbakala di situs ini. Berdasarkan informasi masyarakat setempat dan peninjauan langsung ke lokasi, ditemukan artefak berupa arca Ganesha berbahan batuan andesit dalam kondisi tidak utuh di lereng Bukit Bongal. Hasil penelusuran survey permukaan dan pendataan tersebut dimuat dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 6 Tahun 2001 oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara.
Berdasarkan berita penelitian tersebut, arca Ganesha di Situs Bongal berada di lingkungan yang tidak memiliki objek arkeologis lain. Oleh karena itu temuan tersebut tidak dilanjutkan untuk dilakukan ekskavasi. Kemudian berselang 18 tahun yaitu pada tahun 2019, Balai Arkeologi Sumatera Utara kembali melakukan survey lapangan. Survey ini dilakukan atas informasi dan laporan Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Tengah terkait objek diduga cagar budaya.