Bangsa Arab diketahui merupakan bangsa berkebudayaan maritim. Sejak masa sebelum Islam orang-orang di kawasan pesisir selatannya disebut telah terlibat sebagai perantara hubungan dagang antara India dengan Eropa.
Philip K. Hitti dalam History of the Arabs menyebut letak geostrategis Semenanjung Arab merupakan faktor penting bertumbuhnya tradisi maritim bangsa ini.
Semenanjung Arab terletak diantara dua peradaban terdahulu yang lahir dari peradaban sungai besar, yaitu bangsa dengan kebudayaan sungai-lembah Mesir dan Mesopotamia. Dua peradaban ini disebut turut mempengaruhi corak tradisi maritim Bangsa Arab.
Selain itu Semenanjung Arab juga menempati posisi geografis yang dihimpit oleh dua kawasan perairan, yaitu Laut Merah dan Teluk Persia. Latar belakang ini pun tak disangkal mendukung pertumbuhan tradisi maritim Bangsa Arab.
Laju pertumbuhan tradisi maritim Bangsa Arab bertambah pesat dengan kehadiran Islam. Pelayaran Arab pasca kehadiran Islam diakui memberi dorongan kuat terhadap laju perkembangan pelayaran dunia. Mereka mampu membentuk titik jaringan dagang dan dakwah terjauh pada masa itu yang terjalin antara kawasan Teluk Persia dengan Cina.
Dalam berlangsungnya laju aktivitas pelayaran tersebut, Kapal merupakan salah satu elemen terpenting dalam tradisi maritim Bangsa Arab. Syauqi Abdul Qowi Utsman menyebut kapal bukan hanya berfungsi sebagai alat transportasi, melainkan juga berperan sebagai perantara yang menghubungkan proses interaksi budaya antar bangsa.
Dalam berbagai literatur Arab klasik, kapal Arab disebut memiliki beragam jenis. Namun di kalangan para peneliti, kapal Arab lebih masyhur dikenal dengan sebutan ‘Dhow’.
Temuan arkeologis bangkai kapal baik utuh maupun fragmennya terdapat di sejumlah kawasan perairan di dunia. Salah satunya ialah bangkai kapal yang ditemukan di kawasan perairan Belitung. Kapal ini ditemukan lengkap dengan muatan kargonya yang berisi kumpulan keramik Cina.
Michael Flecker dalam A Ninth-Century Arab or India Shipwreck in Indonesia First Evidence of Direct Trade with China menjelaskan kumpulan keramik ini didominasi oleh keramik Cina jenis Changsa dan jumlah totalnya 60.000. Sebagian besar keramik ini berbentuk mangkuk dan hanya ada beberapa saja guci alat penyimpanan besar. Berat setiap mangkuknya kira kira 0,35 kg, yang jika dijumlahkan berat total muatan ini sekitar 25 ton.
Bangkai kapal temuan Belitung menaruh kesimpulan sejarah penting dalam konteks historis jaringan niaga global. Sebab bangkai kapal yang kini telah direkonstruksi dan lebih dikenal dengan “Jewel of Muscat” ini merupakan bukti yang menunjukkan koneksi antara Teluk Persia dan Cina pada abad pertengahan.
Dimana kesimpulan ini tidak dapat dipisahkan sama sekali dengan konteks historis masa itu. Dimana pelayaran Islam yang berpusat di Teluk Persia (Baghdad, Bashrah, Siraf, dan Al-Ubullah) telah memberi sumbangan bagi sejarah pelayaran dunia. Kawasan perairan Samudera Hindia menjadi layaknya danau Islam. Sebagaimana yang disebut oleh Andre Wink dalam Al-Hind The Making of Indo-Islamic World Early Medieval India and The Expansion of Islam 7-11th Century, Samudera Hindia disebut layaknya “Arab Mediterranean”.
Hal ini senada dengan apa yang diuraikan John W. Chaffee dalam The Muslim Merchants of Premodern China The History of a Maritime Asian Trade Diaspora 750-1400 bahwa jaringan niaga global masa itu terhubung oleh oleh koneksi antara Abbasiyah dengan Dinasti Tang.
Sehingga kapal ‘Dhow’ Arab merupakan kapal yang mendominasi lalu lintas pelayaran Samudera Hindia. John W. Chaffee menambahkan pula bahwa hingga abad ke-11 M, Kapal ‘Dhow’ Arab merupakan kapal pertama yang mampu menyeberangi lautan jarak jauh. Yang berjarak lebih dari 6000 mil rute yang menghubungkan Bashrah dengan Guangzhou.
Teknologi Pembuatan
Syauqi Abdul Qowi Utsman menjelaskan dalam Tijarah Al-Mahith Al-Hindi fi ‘Ashri As-Siyadah Al-Islamiyah bahwa umumnya kapal-kapal Arab dibuat dengan teknik ikat. Struktur kayu fragmen kapal dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali ijuk (sabut kelapa).
Teknik pembuatan ini digunakan untuk menghindari bahaya laut selama berlayar. Ombak perairan Samudera Hindia yang besar menghendaki para pelaut Arab menggunakan tali sebagai perekat kerangka kapalnya. Sebab tali ijuk (sabut kelapa) dapat membuat susunan kerangka kapal menjadi lebih lentur, sehingga mampu bertahan ditengah terjangan ombak samudera.
Meskipun begitu, sejumlah literatur juga menyebut teknologi pembuatan Kapal ‘Dhow’ Arab juga mengalami perkembangan. Dimana ‘Dhow’ Arab juga dibuat dengan menggunakan teknik ikat-pasak (kayu). Teknik ini mirip dengan teknik pembuatan kapal-kapal di Asia Tenggara. Pierre-Yves Manguin menyebut teknik ini dengan sewn-plank atau stitched-plank dengan tradisi lashed-lug.
Teknik ikat-pasak ini dijelaskan pula dalam literatur Arab. Ibnu Rustah dan Al-Jahizh mengemukakan bahwa metode pembuatan kapal di pesisir Samudera Hindia juga mengalami perkembangan. Metode ini berkembang dari teknik ikat menjadi teknik pasak dan ikat, untuk menyambungkan bagian-bagian kapal yang mereka bangun. Al-Hajjaj bin Yusuf adalah pemimpin dari Bangsa Arab pertama yang tercatat sebagai pelopor pembuatan kapal dengan metode pasak dan ikat untuk melayari kawasan Teluk Persia dan Samudera Hindia.
Kapal dalam perdagangan Samudera Hindia sendiri bervariasi berdasarkan jenis dan fungsinya. Meskipun secara umum metode pembuatannya mencerminkan teknik yang serupa, yang dibuat dengan menggunakan tali ijuk (sabtu kelapa). Bahan baku yang dipilih biasanya kayu jati yang memiliki sifat tahan lama dibanding kayu lain. Sejumlah kapal banyak ditemukan dibuat dengan dek kapal yang amat luas.
Berdasarkan fungsinya jenis kapal dapat dibagi kedalam tiga kategori. Pertama, kapal raksasa yang berukuran diatas 200 Ton sebagai kapal dagang penjelajah samudera. Kedua, kapal berukuran sedang kapasitas dibawah 200 Ton, ketiga kapal kecil yang berfungsi sebagai penarik kapal-kapal besar. Kapal kecil ini juga berfungsi sebagai penunjuk jalan masuk pelabuhan, bongkar muat, dan kapal sekoci.
Layar bukanlah satu-satunya tenaga penggerak kapal. Kapal-kapal yang beroperasi di wilayah Samudera Hindia, baik ukuran besar maupun kecil, juga dilengkapi dayung. Jumlahnya tentu berbeda sesuai dengan ukuran kapal dan ukuran dayung itu sendiri. Dayung ini difungsikan sebagai pengganti layar untuk menggerakkan kapal ketika masuk dan keluar pelabuhan serta ketika angin tidak bertiup.
Kapal di kawasan Samudera Hindia sendiri menurut Syauqi Abdul Qowi Utsman terdapat 33 jenis kapal. Diantaranya ialah Dhow, Ahwirah, Barijah, Patamar, Bark, Badan ‘Uwaisiyah, Baghlah, Baqarah dan Syahun, Batiil, Jakir, Jaram, Jalabah, Jafn, Jung, Dhoni, Donij, Ramts (Rakit), Zhou, Dzahabiyah, Al-Safiat, Sanbuq, Chaaturi, Syasyah, Shaffaras, Syu’ai, Aduliyah, ‘Usyara, ‘Akburi, Vegini, Qanjah, Kakam, Masyurah, dan Huri.