Meunasah
Meunasah berasal dari asal kata madrasah, merupakan tradisi pendidikan Islam yang dibangun di tiap-tiap gampong (kampung) di Aceh. Pusat pendidikan Islam ini menjadi basis pendidikan dasar Kesultanan Aceh Darussalam. Melalui kegiatan pendidikan yang berbasis di kampung-kampung ini, agama Islam mengakar kuat di kalangan masyarakat Aceh.
Meunasah pada umumnya berada di tengah-tengah gampong. Tradisi pendidikan Islam ini memiliki fungsi bukan hanya sebagai tempat belajar, melainkan juga sebagai tempat untuk mendirikan sholat berjamaah, tempat berkumpul para pemuda desa, tempat pertemuan, rapat-rapat, hingga sarana diskusi dan penyaluran kebijakan pemerintah sampai lapisan masyarakat yang paling bawah.
Berbeda dengan Meunasah, masjid pada masa itu didirikan ditingkat mukim, yang merupakan kelompok masyarakat gabungan dari beberapa gampong. Biasanya mukim ini dibentuk minimal terdiri dari 40 orang laki-laki dewasa, sehingga masjid dapat menjadi tempat mendirikan sholat jum’at masyarakat mukim.
Tradisi pendidikan Islam Meunasah amat melekat dengan gampong di Aceh. Meunasah menjadi bangunan yang wajib ada di tiap-tiap gampong. Seringkali Meunasah bahkan dianggap sebagai sinonim dari gampong.
Meusanah biasanya diikuti oleh anak laki-laki dan dipimpin oleh seorang Teungku Meunasah. Sedangkan untuk pendidikan anak perempuan dipimpin oleh seorang Teungku Inong dan dilakukan di rumah, sehingga ada juga sebutan Teungku Dirumoh.
Seorang teungku juga merupakan seseorang yang memiliki posisi penting dalam struktur sosial sebuah gampong. Ia termasuk salah satu pimpinan gampong yang bertugas menjadi pemimpin dalam urusan peribadatan dan sosial.
Pendidikan Meunasah biasanya diikuti ketika anak-anak beranjak usia enam tahun. Meskipun tak ada batasan jenjang waktu pendidikan, umumnya pendidikan Meunasah berlangsung 2-10 tahun.
Pengajaran dilakukan pada malam hari dan dibuka dengan belajar membaca Al-Qur’an. Pengajaran ini dimulai dengan mengeja huruf-huruf hijaiyah, membaca serta menghafalkan surat-surat pendek, hingga mempelajari ilmu tajwid.
Selain itu, pendidikan ini mengajarkan mengenai ilmu-ilmu pokok dalam agama Islam. Diantaranya rukun iman, rukun islam, aqidah, rukun-rukun ibadah, hingga dididik dengan akhlaq, adab, dan tata krama dalam masyarakat Aceh.
Metode pengajaran dilakukan dengan model halaqah dan sorogan. Halaqah dilakukan dengan posisi murid yang mengelilingi seorang teungku yang duduk ditengah. Sedangkan metode sorogan dilakukan dengan secara satu persatu murid duduk berhadapan dengan seorang teungku.
Dayah
Dayah merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Aceh. H.M. Syadli, ZA dalam Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh: Ulama, Meunasah Dan Rangkang mengatakan, kemungkinan besar dayah ini sudah ada sejak Sultan Malik Ash-Saleh.
Seperti yang disebut dalam sejumlah sumber sejarah maupun literatur, Aceh memang tumbuh menjadi pusat studi Islam di Asia Tenggara. Ibnu Battutah dalam catatan perjalanannya juga menyebut, bahwa sultan memainkan peran sentral dalam menghidupkan tradisi pendidikan Islam.
Lembaga pendidikan Islam Dayah memberi sumbangan penting pada laju perkembangan ilmu masyarakat Aceh. Kegiatan pembelajaran agama Islam dilakukan melalui masjid-masjid dengan membentuk kelompok belajar yang disebut dengan halaqah.
Bentuk pendidikan dan pengajaran ini diambil dari tradisi yang diwariskan sejak zaman Rasulullah SAW yang dikenal dengan Zawiyah. Tradisi ini dilestarikan oleh generasi-generasi selanjutnya di pusat-pusat pendidikan Islam. Dayah sendiri merupakan nama dalam pelafalan masyarakat Aceh yang diambil dari nama Zawiyah.
Pada masa Kesultanan Aceh, Dayah menawarkan tiga tingkatan pendidikan. Yaitu Rangkang (junior), Balee (senior), dan Dayah Manyang (institut). Dalam tingkatan ini, terdapat Dayah yang memiliki Rangkang dan Balee, namun ada pula yang hanya berupa Dayah Manyang saja.
Dayah dibentuk untuk mencetak kader ulama dalam rangka mengemban dan melanjutkan misi dakwah. Dengan visi tersebut, Dayah mampu memunculkan jaringan ulama-ulama Dayah yang menjadi sentral pendidikan Islam, sekaligus penggerak pengembangan dan pemberdayaan potensi masyarakat.
Dayah biasanya hanya berada di tingkat Nangroe atau di daerah tempat ulama besar berdomisili. Oleh karena itu, sejumlah murid tak jarang merupakan seorang perantauan, yang harus pergi jauh dari rumah demi menuntut ilmu.
Para murid dididik dengan kurikulum pembelajaran yang berkualitas. Ilmu yang dipelajari lebih mendalam dan kompleks, menggunakan literatur berbahasa Arab. Beberapa mata pelajaran dalam kurikulum pembelajaran tersebut di antaranya fikih muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, sejarah, tasawuf, ilmu bumi, manthik dan ilmu bintang/falak, ilmu tata negara, serta bahasa Arab.
Metode pengajaran yang digunakan merujuk pada metode yang dicontohkan Rasulullah, yaitu talaqqi dan bersanad. Metode ini dimaksudkan untuk memelihara keaslian ilmu dan makna dari ilmu yang dipelajari.
Dalam hal talaqqi, ada beberapa tahapan. Ada talaqqi yang diperuntukkan bagi tahap pemula (mubtadi), tahap sederhana (mutawassith), dan untuk tahap akhir (mutaakhir).
Selain itu, dikenal pula metode mukhabarah. Yaitu diskusi untuk membincangkan masalah keagamaan, baik diantara sesama kyai/teungku (tenaga pengajar) atau sesama peserta didik yang sudah tinggi pemahaman ilmunya.
Pendidikan Dayah tentunya menyiapkan murid yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ilmu agama Islam (bertafaqquh fi al-din) dengan bekal akhlaq yang mulia. Hal ini selaras dengan ikhtiar pendidikan Islam untuk mencetak manusia berakhlak mulia dan sebagai tempat pengkaderan pengembangan masyarakat di berbagai sektor.
Surau
Surau dikenal sebagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam masyarakat Minangkabau. Ia berperan penting dalam proses dakwah Islam, di mana melalui melalui Surau ini pondasi agama Islam tertanam kuat dalam masyarakat Minangkabau.
Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang murid Syekh Abdurrauf As-Singkili merupakan sosok ulama pertama yang berjasa menyebarkan agama Islam melalui surau. Ia bermukim di pesisir pantai, Ulakan, Padang Pariaman, menyiarkan agama Islam melalui kegaiatan pendidikan dan pengajaran.
Selain sebagai pusat pendidikan dan pengajaran, Surau juga menempati fungsi sosiokultural ditengah masyarakat Minangkabau. Ia menjadi tempat berkumpul, bermusyawarah, dan kegiatan para pemuda serta anak-anak.
Pendidikan Surau dimulai dengan pengajaran kepada anak-anak. Disini anak-anak dibekali ilmu agama dengan belajar membaca Al-Qur’an dan pengenalan dasar-dasar keislaman seperti rukum iman, rukun islam, hingga amalan-amalan dalam syariat Islam.
Untuk tingkatan selanjutan pendidikan Surau juga dilakukan dengan pengajaran kitab dan tarekat. Pada tingkat pengajaran kitab pelajaran yang diajarkan adalah ilmu sharaf, nahwu, tafsir, fiqh, dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Setelah itu, pengajaran dilanjutkan pada pendidikan tarekat dengan mengaji ilmu-ilmu tasawuf.
Oleh karena itu, Surau juga tumbuh menjadi pusat-pusat tarekat sufi di Minangkabau. Hal ini sudah tumbuh sejak masa Syekh Burhanuddin Ulakan.
Pendidikan Surau dipimpin oleh seorang guru yang disebut Tuanku Syekh. Ia biasanya memberikan pelajaran kepada murid-murid senior, sedangkan murid-murid lainnya yang baru masuk diajar oleh seorang guru.
Metode pembelajaran Surau dilakukan menggunakan dua metode, sorogan dan halaqah. Selain itu pembelajaran ditambah pula dengan metode ceramah.
Pesantren
Pesantren seperti halnya kita ketahui merupakan pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Dari pendidikan dan pengajaran, pesantren kemudian tumbuh menjadi basis kekuatan sosial dalam masyarakat.
Sejarah mencatat, pesantren adalah lembaga yang menaruh peran besar dalam perubahan sosial masyarakat. Ia tumbuh menyatu ditengah-tengah lingkungan masyarakat dan menyebarkan dakwah Islam melalui pendidikan.
Pesantren merupakan ujung tombak dakwah Islam. Bahkan pendidikan adalah jalur utama proses Islamisasi di Indonesia.
Pesantren mencetak para santri kader ulama yang unggul, menguasai ilmu agama sekaligus berperan dalam bidang kemasyarakatan. Santri dididik untuk dekat dengan umat, dan mengambil dalam permasalahan-permasalahan umat.
Model pembelajaran pesantren lekat dengan metode sorogan, yaitu santri duduk dihadapan kiyai dan membaca kitab-kitab yang diajarkan. Selain juga dikenal metode wetonan, dimana seorang kiyai menjelaskan pelajaran kepada para santri yang mengelilinginya.
Para santri dibekali ilmu agama dengan mempelajari sejumlah kitab-kitab pokok tentang agama Islam, baik tentang fiqh, hadits, ulumul qur’an, akhlaq, hingga mengenai adab.
Memasuki abad 19 hingga abad 20 pesantren tampil menjadi basis kekuatan utama perlawanan terhadap penjajah. Hal ini terus berlangsung hingga menjelang kemerdekaan dan pada saat periode perang kemerdekaan. Para kiyai dan santri turut berjasa mengobarkan semangat rakyat melawan penjajah demi menegakkan kemerdekaan Indonesia.