Perkembangan historiografi atau penulisan sejarah Islam berlangsung sejak masa awal dakwah dan penyebarannya. Perkembangan sejarah sejak masa awal Islam ini merupakan bagian integral dari perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam umumnya.
Perkembangan histiografi Islam tidak terlepas dari peran dan pengaruh hadits. historiografi Islam berkaitan sangat erat dengan perkembangan dispilin hadits. Metode penulisan sejarah juga memiliki kesamaan dengan metode penulisan hadits, yang dilakukan dengan metode tadwin (pengumpulan), tashnif (klasifikasi), dan kitabah (penulisan). Perkembangan studi sejarah pun muncul bersamaan dengan perkembangan studi hadits.
Literatur hadits yang merupakan segala sesuatu yang diriwayatkan atas otoritas Nabi Muhammad mengenai perkataan, perbuatan, keputusan, persetujuannya secara diam atas perbuatan dan tingkah laku sahabat-sahabatnya, serta gambaran tentang kepribadiannya sendiri, bersumber dari dan berkembang dalam kehidupan Nabi Muhammad.
Pengumpulan dan penulisan hadits bahkan menjadi sumber-sumber penting bagi penulisan sejarah awal Islam. Azyumardi Azra dalam bukunya Historiografi Islam Kontemporer Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah menjelaskan, bahwa setidaknya terdapat 3 bentuk historiografi yang berkembang pada masa awal Islam. Bentuk-bentuk historiografi pada masa awal ini menjadi landasan penting bagi perkembangan historiografi Islam pada masa puncaknya.
Bentuk historiografi pertama ialah maghazi. Maghazi berasal dari kata ghazwah yang berarti ekspedisi militer. Historiografi ini dari sudut pandang sejarah berarti perang dan penyerangan militer. Maghazi merupakan studi paling awal tentang sejarah kehidupan Nabi yang dilakukan oleh beberapa sahabat terkemuka.
Penulis pertama maghazi adalah Aban bin Utsman bin Affan (w. 105 H/723 M). Ia memiliki reputasi sebagai muhaddits dan fakih yang pada tahun 71 H/689 M diangkat menjadi gurbernur Madinah oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Penulisan maghazi yang lebih sempurna dikembangkan oleh Urwah bin Al-Zubayr (lahir tahun 23 H/643 M dan wafat tahun 94 H/712 M). Urwah seringkali dipandang sebagai pendiri studi maghazi berdasarkan otoritasnya dalam penulisan maghazi. Urwah juga sangat terpandang sebagai seorang ahli hadits, sebab ia adalah salah seorang dari “tujuh fukaha” terkemuka di Madinah.
Namun amat disayangkan karya-karyanya hanya tinggal dalam bentuk kutipan-kutipan yang dimuat dalam sejumlah karya para sejarawan seperti Al-Thabari, Ibnu Ishaq, Al-Waqidi, Ibnu Sayydi Al-Nas, dan Ibnu Katsir.
Kutipan maghazi karya Urwah bin Al-Zubayr mencakup berbagai aspek kehidupan Nabi Muhammad, mulai dari permulaan Nabi menerima wahyu Al-Qur’an, beberapa serangan dan perang yang dilakukan Nabi, dan sejumlah masalah pribadi Nabi Muhammad.
Penulis maghazi berikutnya adalah Syurahbil bin Sa’ad (w. 123 H/741 M). Ia merupakan mawla dari Bani Khatmah dan Wahb bin Munabbih serta seorang keturunan Persia Selatan yang menetap di Yaman.
Selain Urwah dan Syurahbil, terdapat tiga ahli maghazi yang memiliki pengaruh penting pada perkembangan studi maghazi. Mereka adalah Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, Ashim bin Umar bin Qatadah, dan Muhammad bin Muslim bin Syihab Al Zuhri.
Ketiganya termasuk kelompok muhadditsun yang memberikan perhatian khusus pada studi maghazi. Karya-karya mereka mengukuhkan kerangka penulisan maghazi dan sumber penulisan yang mereka gunakan menjadi sumber penting yang digunakan pula oleh Ibnu Ishaq dan Al-Waqidi.
Abdullah bin Abu Bakr bin Hazm adalah seorang qadhi di Madinah dan seorang perawi hadits yang memiliki keahlian khusus pada studi maghazi. Ia mewariskan kitab Al-Maghazi kepada kemenakannya Abdul Malik bin Muhammad (w. 176 H/792 M), namun sayang sekali kitab ini tidak sampai kepada kita kecuali kutipan dalam karya Ibnu Ishaq dan Al-Waqidi.
Menurut Al-Thabari, Abdullah bin Abu Bakr bin Hazm adalah orang pertama yang menetapkan urutan kronologis peristiwa-peristiwa di masa Nabi. Ia juga menyusun daftar perang yang dilakukan Nabi dalam urutan kronologis, di mana data ini dipakai oleh Ibnu Ishaq dalam karya-karyanya.
Ashim bin Umar bin Qatadah adalah seorang perawi hadits. Melalui kepakarannya dalam studi maghazi, ia pernah ditugaskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menyampaikan tentang riwayat perang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan amal mulia para sahabat kepada kaum muslimin khususnya di Damaskus. Karya Ashim juga menjadi salah satu sumber sejarah dalam penulisan karya-karya Ibnu Ishaq dan Al-Waqidi.
Bentuk historiografi kedua adalah Shirah, yang merupakan satu istilah dalam historiografi masa awal Islam yang dicetuskan oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri. Ia merupakan salah seorang ahli maghazi, yang juga menciptakan bentuk baru historiografi Islam masa awal. Ia memperkenalkan cara penulisan shirah Nabi dengan penulisan yang memiliki struktur baku sekaligus memberikan garis kerangka baru dalam penulisan maghazi dan shirah.
Karya Al-Zuhri secara parsial masih dapat dijumpai melalui karya-karya Ibnu Ishaq, Al-Waqidi, Al-Thabari, Al-Baladzuri, dan Ibnu Sayyid Al-Nas. Karya shirah Al-Zuhri dimulai dengan informasi masa pra Islam yang relevan bagi kehidupan Nabi Muhammad, aspek-aspek penting kehidupan Nabi pada periode Mekkah dan hijrahnya ke Madinah, kegiatan militer, penaklukan Mekkah, hingga masa-masa terakhir Nabi Muhammad. Urutan penjelasan Al-Zuhri tersebut dituliskannya dengan tata urutan kronologis yang ketat.
Penulisan shirah oleh Al-Zuhri mencerminkan ciri khasnya sebagai seorang muhaddits. Sebagian besar sumber penulisannya diambil dari hadits, yang merupakan bagian integral dalam historiografi. Al-Zuhri menyandarkan diri pada isnad sebagai metode untuk memilah riwayat dan sumber sejarah dalam karyanya.
Al-Zuhri memiliki beberapa murid yang turut mengembangkan studi maghazi maupun shirah. Di antaranya ialah Musa bin Uqbah (w. 141 H/758 M), Ma’mar bin Rasyid (w. 154 H/771 M), dan Muhammad bin Ishaq (w. 151 H/761 M).
Selain itu, terdapat pula penulis maghazi dan shirah lainnya seperti Abu Masy’ar Al-Sindi (w. 170 H/787 M), Muhammad bin Umar Al-Waqidi (w. 207 H/823 M), Ali bin Muhammad Al-Mada’in (w. 225 H/840 M), dan Muhammad bin Sa’d (w. 230 H/844 M).
Bentuk historiografi masa awal Islam ketiga adalah asma’ ar-Rijal. Historiografi ini adalah bentuk penulisan sejarah yang memuat tentang biografi para sahabat, tabi’un, dan tabi’ al-tabi’in. Secara harfiah, asma’ ar-Rijal dapat diartikan sebagai “nama-nama para tokoh”.
Historiografi asma’ ar-Rijal adalah karya-karya yang memuat deksripsi tentang genealogi, kisah hidup, biografi perawi, pendapat tokoh dan otoritas penting tentang seorang tokoh, serta kritik terhadapnya. Historiografi ini juga menjelaskan tentang pendidikan seorang tokoh, guru-gurunya, tempat-tempat yang dikungjunginya dalam menuntut ilmu, serta hadits yang diriwayatkannya.
Penulisan asma’ ar-Rijal telah berlangsung sejak abad ke-2 H dan mengalami perkembangan pada masa-masa setelahnya. Muncul sejumlah muhaddits yang ahli dalam penulisan asma’ ar-Rijal seperti Ibnu Sa’d Ibnu Al-Khayyat, dan Ahmad bin Zubayr bin Al-Khaytama.
Salah satu karya utama asma’ ar-Rijal adalah kitab Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Kitab ini mengandung catatan biografis singkat para perawi terpenting pada masa terpenting pula dalam hadits. Kitab ini juga menjadi sumber penting bagi Al-Baladzuri, Al-Thabari, Al-Khatib, Al-Baghdadi, Ibnu Katsir, Al-Nawawi, dan Ibnu Hajar.
Karya lain dalam historiografi asma’ ar-Rijal adalah kitab Al-Ta’rikh Al-Kabir karya Al-Bukhari, perawi yang sangat terkenal otoritasnya dalam ilmu hadits. Sejumlah murid Imam Bukhari juga menulis karya asma’ ar-Rijal seperti Ibnu Al-Atsir dengan karyanya Usd Al-Ghabah dan Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan karyanya Al-Ishabah fi Tamyiz Al-Shahabah dan Tahdzib Al-Tahdzib.
Perkembangan historiografi awal Islam mencapai puncaknya pada masa para sejarawan terkemuka seperti Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Baladzuri, Muhammad Jarir Abu Ja’far Al-Thabari, dan Abu Al-Hasan ‘Ali bin Al-Husayn bin Ali bin Abdullah Al-Mas’udi. Pada masa ini penulisan sejarah mulai bersentuhan dengan beragam pendekatan, seperti sosiologi, geografi, maupun antropologi.