“Arkeologi Islam seperti mati suri setelah Hasan Muarif Ambary dan Uka Tjandrasasmita (seorang guru dan murid yang saling mengakui) wafat. Gagasan-gagasan tentang arkeologi Islam seperti dibawa ke liang lahat”.
Tegas Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Oman Fathurrahman, dalam pernyataan pembukanya pada Webinar Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023 di Gedung R. P. Soejono BRIN, Pasar Minggu.
Prolognya tersebut disampaikan langsung dihadapan para arkeolog yang kini secara institusi tergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Secara lebih mendalam, apa yang disampaikan Prof. Oman mengandung pesan yang amat penting mengingat absennya regenerasi arkeolog yang secara memadai menaruh perhatian khusus terhadap peninggalan sejarah Islam.
Regenerasi ini mandek pasca Hasan Muarif Ambary dan Uka Tjandrasasmita. Kemandekan ini juga tidak cukup mendorong sejumlah kampus khususnya perguruan tinggi Islam untuk mengambil alih sekaligus melanjutkan penelitian dan pengkajian arkeologi Islam dengan melahirkan gagasan-gagasan baru nan segar.
“Di sejumlah kampus khususnya universitas Islam seperti UIN juga tidak ada diskursus yang signifikan untuk membicarakan terkait hal ini”, terang pengampu kajian manuskrip kuno Nusantara Ngariksa tersebut.
Atas perhatiannya terhadap kemandekan penelitian arkeologi Islam di Indonesia ini, dalam kesempatan Webinar Hardiknas bertema “Textcavation: Integrasi Pendekatan Arkeologi-Filologi dalam Penelitian Sejarah”, Prof. Oman membuka diskusi berkaitan dengan “Arkeo-Filologi Islam”.
Topik ini menjadi pembahasan inti, di mana arkeologi dan filologi merupakan suatu integrasi pendekatan yang mutlak dalam rangka merekonstruksi sejarah muslim di Kepulauan Nusantara.
Integrasi pendekatan arkeologi dan filologi dalam rekonstruksi sejarah Islam juga merupakan satu rumusan yang digagas oleh Hasan Muarif Ambary dalam bukunya Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia serta oleh Uka Tjandrasasmita dalam bukunya Arkeologi Islam Nusantara.
Data-data arkeologis berupa benda-benda artefaktual membutuhkan data-data filologis yaitu sumber-sumber tertulis dalam manuskrip dan naskah-naskah dalam menemukan konteksnya sebagai peristiwa sejarah.
Lebih lanjut, arkeo-filologi bahkan menjadi satu paduan pendekatan kajian yang memanfaatkan dua data secara kritis dan sistematis dalam merekonstruksi kebudayaan manusia masa lampau. Berkaitan dengan hal ini, warisan sejarah Islam justru sangat kaya dalam data-data artefaktual seperti nisan, bangunan arsitektural, benda-benda artefaktual bukti pengaruh peradaban Islam seperti koin, kaca, keramik, kalam dan artefak lain serta manuskrip-manuskrip kuno.
Oleh karena itu, Prof. Oman sekaligus mendorong agar kajian arkeologi Islam kembali digiatkan dengan mengintegrasikannya dengan kajian filologi. Hal ini ditegaskannya sembari menyebut, bahwa penelitian-penelitian sejarah dengan pendekatan arkeo-filologi Islam dapat dikatakan mengalami kekosongan.
Dalam pemaparannya ia mengutip salah satu pernyataan bahwa, “…of these thousands of Islamic archeological remains in Indonesia, including situs, artefacts, monuments, and alot of other items, only a small fraction has been researched by Islamic archaeologists. The study of manuscripts as a guide to the research on these objects still remains unsatisfied”.
Melalui sejumlah gerakan, Prof. Oman juga dengan serius telah menggiatkan kajian filologi Islam dengan menggerakkan sekaligus mengampu secara langsung Kajian Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa). Selain itu, ia turut mengupayakan proses alih media atau digitalisasi manuskrip-manuskrip.
Bahkan ribuan manuskrip kini telah dapat diakses dengan lebih mudah melalui digitalisasi manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional atau yang dikenal dengan Khastara (Khasanah Pustaka Nusantara).
Sehingga ketersediaan akses ini sangat memungkinkan untuk melahirkan karya-karya baru secara lebih memadai untuk menyuguhkan rekonstruksi sejarah Islam melalui pendekatan arkeologi-filologi. Upaya ini bukan hanya untuk sekedar menambah kebaruan historiografi dalam konteks akademik, melainkan juga sebagai sarana edukasi bagi publik dan masyarakat yang lebih luas.