Tanggal 15-16 Juni 2023 Sultanate Institute menerima kunjungan peneliti sejarah sekaligus penulis buku Walisongo dan Fatahillah (1490 -1570) Pahlawan Aliansi Nusantara Yang Tidak Ditulis Melawan Penjajahan Portugis, H. Sariat Arifia dari Jakarta serta KH. Aslim Akmal dari Kudus. Keduanya dikenal sebagai peneliti sejarah berbasis penelusuran sumber-sumber artefaktual dan aktivitas studi kawasan. Dalam kunjungan ini, agenda utama adalah untuk melakukan ekspedisi terkait jejak hubungan Fatahillah dengan Kesultanan Pajang yang kini secara administratif masuk kedalam wilayah Solo Raya.
Pertemuan hari pertama berlangsung dengan hangat di Museum Abad Satu Hijriah Surakarta. H. Sariat Arifia dan K.H. Aslim Akmal berkesempatan untuk melihat koleksi musem yang menyimpan berbagai bukti interaksi Nusantara dengan dunia Islam pada masa awal, tepatnya pada periode abad 7 – 10 M. Selain melihat koleksi museum, kunjungan ini juga dilanjutkan dengan diskusi mengenai jalur dakwah Islam. Dari diskusi tersebut maka dapat dibuktikan bahwa hubungan Islam dan Nusantara memang sudah terjalin sejak awal dan langsung berasal dari sumber otoritas tertinggi.
Pada hari kedua, Ahad 16 Juni 2023, rombongan melakukan ekspedisi ke beberapa tempat bersejarah yang berkaitan dengan proses Islamisasi di wilayah Surakarta serta eksistensi Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang. Kunjungan dimulai dari Masjid Laweyan Surakarta, ditemani oleh salah satu takmir masjid yang diketahui bahwa masjid ini merupakan masjid paling awal di Kota Solo. Masjid Pajang dibangun pada tahun 1546 M bertepatan dengan masa akhir Kesultanan Demak dan awal eksistensi Kesultanan Pajang.
Sisi lain yang membedakan dengan konsep masjid kuno Kesultanan Islam di Jawa adalah pola arsitektur yang lebih sederhana, ukurannya kecil hanya mampu menampung +- 150 jamaah dan juga tidak ada atap meru (atap susun tiga) layaknya Masjid Agung Demak, Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dan lain sebagainya. Lebih uniknya lagi masjid ini berada dipinggir aliran Kali (sungai) Jenes dan tidak berada di pusat kota.
Menurut keterangan takmir dan berdasarkan cerita tutur masyarakat setempat, memang pada awalnya Masjid Laweyan didirikan bukan sebagai masjid Kesultanan melainkan mushala biasa yang digunakan Ki Ageng Henis untuk beribadah dan mengajar santri. Sedangkan terkait posisinya yang berada di pinggir sungai, hal ini tak lepas dari kemudahan akses transportasi, karena pada masa itu masyarakat masih bergantung pada aliran sungai untuk bepergian antar daerah.
Masih di sekitar masjid, terdapat situs penting yang tak lain adalah kompleks pemakaman Ki Ageng Henis. Tokoh ini diketahui sebagai leluhur Raja-raja Mataram. Ki Ageng Henis hidup di masa Demak akhir. Ia juga dikenal sebagai salah satu guru dari Jaka Tingkir sebelum merantau ke Demak. Sebagaimana ahli agama, tokoh inilah yang diyakini mendirikan Masjid Laweyan sebagai pusat aktivitas dakwahnya di wilayah pedalaman. Dari segi kehidupan poiltik tanah Jawa, Ki Ageng Henis dan keturunannya dikenal sebagai pendukung eksistensi Jaka Tingkir dalam mendirikan Kesultanan Pajang. Seperti anaknya Ki Ageng Pemanahan dan cucunya Sutawijaya adalah sosok-sosok penting kepercayaan Jaka Tingkir.
Pada kompleks pemakaman Ki Ageng Henis ini banyak didapati nisan-nisan kuno yang berasal dari abad 16 M. Sebagian besar nisan merupakan tipe nisan Hanyokorokusuman, selain terdapat pula beberapa nisan tipe Pasai. Untuk nisan tipe Pasai, jumlahnya tidak terlalu banyak namun cukup bisa diidentifikasi sebagai makam kuno yang sezaman dengan masa hidup Ki Ageng Henis.
Salah satu nisan yang menarik adalah nisan tipe Pasai yang tidak berinskripsi namun terdapat ukiran mihrab. Menurut Kyai Aslim Akmal, hal ini menandakan bahwa almarhum adalah seorang tokoh ulama atau santri pinunjul (santri utama). Di sisi lain, banyak juga makam-makam bertipe Pasai dengan ukiran bulan purnama yang menandakan almarhum sebagai seroang muslim pengikut Tarekat Syattariyah. Di antara semua nisan yang ada, hal yang cukup mengecewakan adalah kondisi nisan Ki Ageng Henis sendiri yang sudah dilakukan pemugaran, jadi nisan aslinya sudah tidak bisa dianalisis secara memadai.
Selepas mengunjungi Kompleks Makam Ki Ageng Henis, perjalanan dilanjutkan menuju situs Kraton Pajang. Situs ini secara administratif terletak di Desa Makam Haji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Tidak banyak informasi yang bisa digali dari kunjungan ini. Kondisi situs sudah sangat tidak asli karena banyak didirikan bangunan baru.
Adapun temuan primer sebagai petunjuk hanya bisa kita ketahui melalui beberapa pecahan keramik terakota, batu besar cekung yang dirawat dalam bangunan kecil yang dinamakan “museum”. Namun jika kita menyimak hasil ekskavasi kompleks Kraton Pajang yang dilakukan Prof. Hasan Muarif Ambary tahun 1980, maka lokasi ini memang diduga kuat sebagai bekas kraton Kesultanan Pajang. Namun karena masa pemerintahan yang tidak lama sehingga wilayah ini tidak sempat berkembang. Oleh karena itu, temuan benda-benda arkeologis juga sangat terbatas.
Berjarak ±35 km ke arah utara Kota Surakarta, tepatnya di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, tim Espedisi Sultanante Institute bersama H. Sariat dan K. H. Aslim Akmal berhenti di Kompleks pemakaman kuno yang diyakini sebagai Makam Sultan Hadiwijaya.
Dari pengamatan tim, dalam kompleks makam utama didapati banyak makam dengan batu nisan tipe Hanyokrokusuman yang dibuat dari batuan kapur putih seperti makam-makam kuno di kompleks Walisongo. Menurut informasi masyarakat setempat, dalam kompleks makam utama terdapat makam Sultan Hadiwijaya, Panegran Benawa, Ki Ageng Pengging dan keluarga dekat lainnya.
Selain bentuk batu nisan, tim ekspedisi juga mengidentifikasi jumlah susunan makam, di mana diyakini bahwa makam dengan susun lebih tinggi menandakan tingkat kehormatannya. Sementara itu pengamatan di luar kompleks utama diketahui terdapat beberapa makam yang berjajar rapi dengan nisan tipe Pasai tanpa inskripsi dan ukiran mihrab, meskipun ada dua di antaranya terdapat ukiran bulan purnama. Hal ini tentu menjadi petunjuk bahwa almarhum adalah penganut tarekat Syattariyah.
Perjalanan kemudian diakhiri dengan mengunjungi kompleks Kraton Surakarta. H. Sariat Arifia menyoroti beberapa Meriam yang terdapat di kompleks Kraton Surakarta. Menariknya, jumlah Meriam di kawasan ini terhitung banyak dibandingkan meriam milik kesultanan Islam lain di pulau Jawa.
Selain itu terdapat pula meriam yang dibuat pada masa kesultanan Demak yaitu Kyai Pancawura yang berukuran besar dan meriam Setomi. Meriam ini mempunyai sejarah panjang, karena merupakan salah satu senjata andalan Sultan Agung di Mataram. Meriam Nyai Setomi mempunyai pasangan, yakni meriam Kiai Setomo yang kini berada di Museum Nasional Jakarta. Kedua meriam itu digunakan Sultan Agung untuk menggempur VOC di Batavia pada tahun 1628-1629.