Tradisi kaligrafi tumbuh seiring dengan diperlukannya penulisan teks Al-Qur’an. Untuk kebutuhan tersebut, sejak awal abad ke-7 M Islam menyempurnakan tradisi tulis di kalangan masyarakat Arab.
Seiring dengan proses penyempurnaan tersebut, minat tradisi tulis-menulis kalangan muslim ikut berkembang. Muncul para penulis Al-Qur’an yang kemudian mengembangkan tradisi ini dengan beragam gaya dan bentuk. Dari sinilah berkembang gaya penulisan kaligrafi dalam peradaban Islam.
Kaligrafi yang semula berangkat dari kebutuhan akan penulisan Al-Qur’an, kemudian berkembang menjadi salah satu unsur penting ekspresi estetik seni peradaban Islam. Inovasi ragam gaya dan bentuk kaligrafi dipakai dalam sejumlah karya ornamentasi dan dekorasi. Sehingga kaligrafi banyak ditemukan dalam berbagai goresan artistik temuan arkeologis, seperti produk tekstil, keramik, koin, epitaf, perkakas, dan sejumlah monumen arsitektural.
Al-Qur’an berpengaruh menjadikan kaligrafi sebagai bentuk seni paling penting dalam budaya Islam. Pengaruh dan keutamaannya ditemukan di setiap wilayah dunia muslim, pada setiap abad dalam sejarah Islam, pada setiap cabang produksi atau media estetis, dan pada setiap tipe objek seni yang dapat dibayangkan. Diantara semua kategori seni Islam, kaligrafi adalah yang paling umum, paling penting, paling banyak diapresiasi, dan paling dihormati kaum muslim.
Keindahan Visual Ragam Bentuk Kaligrafi
Satu gaya penulisan paling awal dalam tradisi kaligrafi adalah kufi. Gaya ini berkembang di Irak pada paruh kedua abad ke-8 M. Al-Faruqi menyebutnya berbentuk siku, dan namanya dihubungkan dengan salah satu Kota Islam terawal yaitu Kufah.
Sejak itu kufi menjadi masyhur dalam tradisi tulis peradaban Islam. Ia ditemukan dalam sejumlah dokumen maupun artefak masa awal Islam. kufi dalam perkembangannya kemudian menampilkan beragam bentuk. Seperti yang dikelompokkan oleh Al-Faruqi, bentuk-bentuk tersebut adalah kufi awal, kufi timur, kufi bengkok, kufi bunga, kufi berjalin, dan kufi hidup.
Megan Waterman dalam Introduction to Arabic Calligraphy memuat uraian jenis-jenis kaligrafi lainnya. Dimana pada abad ke-8 M jenis kaligrafi naskhi muncul dikembangkan oleh Ibnu Muqlah. Bentuk kaligrafi ini dicirikan dengan kejelasan, kesederhanaan, dan kemudahan membacanya. Tulisannya lebih menampilkan gaya bulatan atau lengkungan dibanding kufi yang identik dengan bentuk siku. Naskhi kemudian lebih populer digunakan dalam tradisi penulisan, ornamen manuskrip, dan dekorasi arsitektural sejak abad ke-11 M.
Kaligrafi naskhi selanjutnya disempurnakan oleh dua kaligrafer masyhur Ibn Al-Awwab (w. 423/1032) dan Yaqut bin Abdullah Al-Mu’tashimi (w. 698/1298). Keduanya memberi sentuhan bentuk kaligrafi naskhi yang lebih anggun. Ibn Al-Awwab mengawali penulisan salinan Al-Qur’an dengan kaligrafi naskhi. Dengan inisiatif ini, kaligrafi naskhi kemudian lebih banyak dipilih untuk penulisan Al-Qur’an menggantikan kaligrafi kufi. Begitu pula dengan penggunaan naskhi pada sejumlah besar ornamentasi dan dekorasi objek di banyak wilayah dunia muslim.
Dari Al-Awwab dan Yaqut pula, penulisan kaligrafi mencapai jenis-jenis yang beragam. Jenis-jenis kaligrafi ini bahkan menjadi contoh model penulisan kaligrafi. Dibentuk enam gaya utama jenis kaligrafi yang dikenal dengan sebutan sittah. Keenam jenis tersebut ialah tsulus, naskhi, muhaqqaq, riqa’i, rayhani, dan tawqi.
Disamping enam gaya utama jenis kaligrafi, sejumlah jenis kaligrafi juga muncul berdasarkan kawasan penggunanya. Jenis kaligrafi ini digunakan secara terbatas hanya pada kawasan tertentu saja. Pertama adalah jenis maghribi. Jenis kaligrafi yang banyak dipakai di wilayah Spanyol, Afrika Utara dan Tengah. Kaligrafi yang berkembang pada abad ke-11 M ini memiliki ciri persilangan antara kualitas siku kufi dan bentuk bulat naskhi. Maghribi memiliki empat subgaya dalam penulisannya, yaitu qayrawani, andalusi atau qurthubi, fasi, dan sudani.
Jenis kaligrafi kedua yang dipakai secara regional adalah ta’liq, nasta’liq, dan syikastah. Ketiganya dikembangkan oleh para kaligrafer Iran pada abad ke-13 hingga abad ke-15 M. Kaligrafi ini digunakan di wilayah Iran, Asia Tengah, serta India Utara. Jenis Nasta’liq dan syikastah lebih dikenal sebagai subgaya dari ta’liq sebagai induknya. Bentuk kaligrafi ini dicirikan dengan bentuk miring yang terlihat seperti “menggantung”. Tidak seperti kaligrafi lainnya yang digunakan untuk menyalin Al-Qur’an, ta’liq lebih dikenal banyak digunakan dalam menyalin karya-karya sastra.
Sedangkan yang ketiga, jenis kaligrafi regional ini adalah diwani. Kaligrafi ini merupakan satu bentuk kaligrafi yang banyak dipakai di dunia muslim khususnya oleh para kaligrafer Kesultanan Utsmaniyah. Diwani berkembang pada abad ke-15 M dan disebut masih termasuk subgaya dari jenis ta’liq. Diwani utamanya digunakan untuk dokumen resmi pemerintahan, pengumuman, dan segel tanda tangan resmi untuk setiap Sultan Utsmaniyah.
Tradisi kaligrafi dengan kompleksitas bentuknya menjadi unsur penting ungkapan estetik seni peradaban Islam. Ismail R. Al-Faruqi dalam Atlas Budaya Islam menguraikan kaligrafi sebagai ekspresi seni berkembang di kalangan muslim awal dengan kecepatan dan daya cipta yang mengagumkan. Karya-karya tersebut tercermin baik dalam penulisan Al-Qur’an maupun sebagai ragam bentuk ornamentasi dan dekorasi objek.
Keindahan visual yang ditampilkan dalam bentuk-bentuk tulisannya menjadikan kaligrafi sebagai unsur seni utama dalam Islam. Bentuk awal dan inovasi para kaligrafer menginspirasi banyak kaligrafer maupun seniman selanjutnya untuk mengembangkan model kaligrafi yang lebih hidup. Al-Faruqi mengelompokkan lima model kaligrafi kontemporer diantaranya kaligrafi tradisional, figural, ekspresionis, simbolis, dan abstraksionis murni.