Stefan Heidemann dalam artikelnya Islamic Coins as a Historical Source mengatakan terdapat kesenjangan sumber primer dalam historiografi Islam masa awal, setidaknya hingga abad ke-15 M.
Sebagian besar sumber sejarah tentang Islam sebelum abad ke-15 M tergolong sebagai sumber sekunder, yang tidak sezaman atau ditulis setelah peristiwa terjadi. Selain sumber sekunder, penulisan sejarah Islam sebelum abad ke-15 M juga didasarkan pada literatur yang ditulis jauh setelahnya.
Namun pendapat lain mengatakan hal yang sebaliknya sekaligus membantah anggapan Heidemann. Sejarah Islam sejak masa awal nyatanya sangat kaya akan sumber primer. Hal ini dijelaskan oleh Azyumardi Azra dalam karyanya Historiografi Islam Kontemporer Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah.
Sejak masa awal, historiografi atau penulisan sejarah Islam telah berlangsung seiring dengan penulisan hadits. Peran dan pengaruh hadits sangat penting dalam perkembangan historiografi Islam. Perkembangan studi sejarah pun muncul bersamaan dengan perkembangan studi hadits, dan hadits inilah yang merupakan sumber primer paling penting dalam sejarah Islam.
Metode penulisan sejarah yang dikenal dalam disiplin ilmu sejarah modern bahkan memiliki akar kesamaan yang kuat dengan metode penulisan hadits. Penulisan dan periwayatan hadits didasarkan pada metode yang ketat dimulai dari tadwin (pengumpulan), tashnif (klasifikasi), dan kitabah (penulisan).
Literatur hadits yang merupakan segala sesuatu yang diriwayatkan atas otoritas Nabi Muhammad mengenai perkataan, perbuatan, keputusan, persetujuannya secara diam atas perbuatan dan tingkah laku sahabat-sahabatnya, serta gambaran tentang kepribadiannya sendiri, bersumber dari dan berkembang dalam kehidupan Nabi Muhammad.
Pengumpulan dan penulisan hadits menjadi sumber-sumber penting bagi penulisan sejarah awal Islam. Berdasarkan jenis penulisannya, terdapat 3 bentuk historiografi yang berkembang pada masa awal Islam. Bentuk-bentuk historiografi pada masa awal ini menjadi landasan penting bagi perkembangan historiografi Islam pada masa puncaknya.
Bentuk historiografi pertama ialah Maghazi, yang berasal dari kata ghazwah berarti ekspedisi militer. Historiografi ini dari sudut pandang sejarah mengartikan penulisan peristiwa-peristiwa perang dan penyerangan militer. Maghazi merupakan studi paling awal tentang sejarah kehidupan Nabi yang dilakukan oleh beberapa sahabat terkemuka.
Bentuk historiografi kedua adalah Shirah, yang merupakan satu istilah dalam historiografi masa awal Islam yang dicetuskan oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri. Ia merupakan salah seorang ahli maghazi, yang juga menciptakan bentuk baru historiografi Islam masa awal. Ia memperkenalkan cara penulisan shirah Nabi dengan penulisan yang memiliki struktur baku sekaligus memberikan garis kerangka baru dalam penulisan maghazi dan shirah.
Bentuk historiografi masa awal Islam ketiga adalah asma’ ar-Rijal. Historiografi ini adalah bentuk penulisan sejarah yang memuat tentang biografi para sahabat, tabi’un, dan tabi’ al-tabi’in. Secara harfiah, asma’ ar-Rijal dapat diartikan sebagai “nama-nama para tokoh”.
Historiografi asma’ ar-Rijal adalah karya-karya yang memuat deksripsi tentang genealogi, kisah hidup, biografi perawi, pendapat tokoh dan otoritas penting tentang seorang tokoh, serta kritik terhadapnya. Historiografi ini juga menjelaskan tentang pendidikan seorang tokoh, guru-gurunya, tempat-tempat yang dikungjunginya dalam menuntut ilmu, serta hadits yang diriwayatkannya.
Artefak Koin Mata Uang sebagai Sumber Sejarah
Berdasarkan perkembangan historiografi modern paling berpengaruh, yaitu madzhab Annales, bahwa penulisan sejarah berdasarkan pendekatan politik dengan sudut pandang kota, keluarga penguasa, atau penguasa itu sendiri dinilai memiliki makna yang bias.
Penulisan sejarah berdasarkan orang besar ini juga cenderung dicurigai sebagai penulisan sejarah yang eksklusif seraya mengabsahkan bahwa sejarah hanya milik mereka yang menang.
Historiografi Islam dalam hal ini selain sumber pertulisan pada dokumen, juga memiliki bukti-bukti material yang berlimpah yang mendukung sumber-sumber primer tersebut. Salah satu artefak penting yang dapat memperkaya khazanah pengetahuan sumber sejarah Islam adalah koin/mata uang Islam (dinar dan dirham).
Pada dekade tahun 1990 sumber pertulisan melalui studi numismatik Islam ini kembali menjadi perhatian akademis yang penting. Teks-teks inskripsi pada koin yang dicetak selama enam setengah abad pertama Islam menuliskan keterangan tentang nama khalifah, gubernur, pangeran, wazir, hingga waktu dan lokasi pencetakan.
Koin Islam dicetak dengan menamai kota tempat pembuatan koin, terkadang bahkan kawasan perkotaan, biasanya tahun, dan terkadang pulan bulan serta harinya.
Dilihat dari sudut pandang lain, desain dan evolusi penggunaan koin mata uang Islam mengungkapkan banyak hal tentang masyarakat yang membuatnya. Nilai instrinsik koin ditentukan juga oleh kekuatan pasar, dengan keseimbangan terhadap komoditas.
Dua mata uang yang berbeda selalu ada berdampingan, melayani kebutuhan yang berbeda dalam kelas sosial yang berbeda. Uang bernilai tinggi, biasanya koin emas atau perak murni, dan uang koin kecil, biasanya koin perak atau uang logam, atau tembaga yang direndahkan.
Koin emas, dan, sampai batas tertentu, koin perak, merupakan mata uang utama untuk pedagang grosir dan pedagang jarak jauh serta untuk administrasi fiskal dan pengeluaran negara.
Koin tersebut juga merupakan uang pejabat tinggi negara dan militer, yang membutuhkannya untuk menyimpan kekayaan, mentransfernya dengan mudah dalam jarak jauh, dan melakukan pembayaran dalam jumlah besar.
Koin bernilai tinggi dapat diperdagangkan antar wilayah, dan bersaing dengan koin serupa lainnya. Batas-batas zona mata uang yang terdefinisi dengan baik secara geografis hampir tidak ada. Jika memang ada, maka itu karena alasan ekonomi dan langkah-langkah fiskal.
Jenis mata uang kedua memenuhi kebutuhan untuk pembelian sehari-hari. Mata uang ini adalah uang para pedagang kecil, pengrajin, pekerja di pasar, dan penduduk perkotaan lainnya.
Penduduk perkotaan bergantung pada mata pencaharian mereka di mana pendapatan biasanya berasal dari kegiatan mereka di dalam batas-batas kota, dan dengan demikian pada pembelian di pasar-pasar perkotaan.
Koin dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Ekonomi
Mata uang dalam Islam sangat penting peran dan pengaruhnya terhadap perkembangan aktivitas serta petumbuhan ekonomi berdasarkan hukum yang mengaturnya. Selama abad ketiga/sembilan, rumusan hukum dan regulasi untuk uang menjadi sepenuhnya berkembang, yang paling penting adalah teori nilai dan larangan riba (keuntungan yang tidak sah menurut syar’i).
Hukum Islam melarang dua jumlah logam mulia yang sama untuk dihargai secara berbeda dalam satu transaksi. Hal ini adalah inti dari larangan riba. Teori hukum Islam menetapkan nilai uang bersifat identik dengan nilai intrinsik dari emas batangan. Perak dan emas adalah komoditas yang dapat digunakan secara legal untuk transaksi apa pun sebagai ‘harga mutlak’.
Sistem mata uang Islam terdiri dari dinar emas yang diatur dengan berat 4,2 g, dirham perak yang diatur dengan berat 2,8-2,9 g, dan koin tembaga yang tidak diatur yang memiliki tanda. Sistem mata uang ini menjadi model standar untuk mata uang di negara Hukum Islam.
Reformasi fiskal yang amat penting dalam sistem mata uang Islam dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dengan mencetak mata uang koin Islam pertama. Setelah pendetakan mata uang sendiri, mata uang emas Bizantium dan perak Sassaniyah yang sebelumnya digunakan lenyap digantikan dengan koin berinskripsi Arab.
Pada pertengahan Abad ke-8, Basrah, Kufah, Baghdad Madinatussalam dan juga Rayy menjadi pusat pencetakan koin dirham penting. Terdapat perbedaan umum dalam mencirikan koin yang dicetak pada masa Umayyah dan Abbasiyah.
Pada masa Umayyah, koin dicetak dengan inskripsi bertuliskan Surat Al-Ikhlas. Sementara ciri khas koin pada masa Abbasiyah dicetak dengan inskripsi bertuliskan Muhammad Rasulullah.