Wasith merupakan salah satu kota penting yang dibangun pada masa Daulah Umawiyah. Kota ini tumbuh menjadi kota pusat perdagangan sekaligus pusat perkembangan ilmu pengetahuan.
Kota Wasith dibangun pada tahun 83 H/706 M oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur Irak masa Kekhalifahan Umawiyah. Hajjaj juga merupakan komandan pasukan militer Daulah Umawiyah di wilayah timur, yang berjasa dalam upaya pembebasan wilayah Sind pada tahun 90 H/711 M.
Pembebasan Sind sangat penting artinya bagi futuhat Islam maupun pertumbuhan aktivitas pelayaran dan perdagangan dunia. Sebab pembebasan Sind dapat membuka jalur pelayaran ke arah timur dengan keberadaan kota pelabuhan strategis Daybul dan Manshurah.
Selama abad pertengahan, Wasith tumbuh menjadi kota pusat perdagangan dunia. Kota yang terletak di wilayah yang sangat strategis di tepi Sungai Tigris ini berperan menjadi penghubung utama perdagangan ke seluruh bagian wilayah Irak. Tak hanya itu, Wasith bahkan menjadi salah satu pusat galangan kapal penting dalam peradaban Islam.
Tak hanya itu, Wasith juga menjadi lokasi tempat pencetakan mata uang pertama dalam Islam. Koin-koin dinar dirham ini pertama kali dicetak pada masa kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/ 685-705 M). Koin mata uang yang dicetak di Wasith ini bahkan ditemukan di Situs Bongal, Tapanuli Tengah, dengan inskripsi yang menunjukkan bahwa koin ini dicetak pada tahun 85 H/704 M.
Temuan artefaktual ini menunjukkan bahwa Wasith merupakan kota yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi. Kota ini menjadi tempat pencetakan koin mata uang yang menjadi alat tukar dalam peradaban Islam. Temuan koin ini juga menjadi bukti interaksi pelayaran dan perdagangan dari pusat-pusat dunia Islam dengan kawasan Kepulauan Nusantara. Pelayaran Islam bahkan berjasa membentuk jaringan niaga internasional antar kawasan-kawasan di dunia.
Selain itu kota Wasith juga berada di antara dua kota penting dalam sejarah peradaban Islam, yaitu Kufah dan Bashrah. Pakar hadits Dr. Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadits an-Nabawi menyebut nama Wasith berasal dari letaknya yang berada di tengah-tengah (tawassuth) antara Bashrah dan Kufah.
Kota Pusat Intelektual
Selain menjadi kota pusat perdagangan, Wasith juga tumbuh menjadi kota pusat intelektual. Wasith menjadi salah satu kota yang menandai puncak perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.
Di kota ini terdapat banyak madrasah tempat orang-orang menuntut ilmu. Sebagian besar masyarakat di sekitar Wasith datang untuk belajar Ilmu Al-Qur’an. Tak heran jika sebagian penduduknya ialah para penghafal Al-Qur’an.
Ibnu Battutah, seorang pelayar berpengaruh asal Maroko menceritakan pengalamannya mengunjungi kota Wasith. Dalam kitabnya al-Rihlah ia menyebut Wasith adalah sebuah kota yang indah, yang dipenuhi dengan kebun dan pepohonan. Penduduknya adalah manusia pilihan di kalangan bangsa Irak, atau bahkan mereka adalah penduduk terbaik yang dimiliki Irak.
Sebagian penduduk Kota Wasith adalah penghafal Al-Qur’an. Mereka mampu membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang sempurna sesuai dengan hukum tajwid yang benar. Penduduku di sekitar Irak berbondong-bondong datang ke kota ini untuk belajar ilmu Al-Qur’an. Beberapa orang dari kafilah Ibnu Battutah juga menyodorkan tulisan Al-Qur’an untuk dikoreksi oleh para syaikh di sana.
Wasith juga memiliki banyak madrasah yang besar dan bagus. Tak hanya itu, terdapat sebanyak 200 khalwah atau kamar-kamar tempat tinggal para penuntut ilmu, yang dihuni oleh para pendatang dari luar kota.
Terdapat seorang syaikh berpengaruh di kota Wasith yang memimpin majelis-majelis ilmu. Ia adalah Syaikh Taqiyuddin Abdul Muhsin Al-Wasithi, yang juga tinggal di madrasah mengajarkan ilmu Al-Qur’an bersama guru-guru lainnya.